Entah mengapa, saya menyukai babaran pendek ini, tetapi saya tidak tahu mengapa. Terdengar sangat mendalam. Mungkin hanya sekedar kata-kata filosofis yang enak didengar, atau mungkin berkeselarasan dengan sesuatu yang lebih dalam samar-samar terasa oleh saya. Sesuatu untuk saya renungkan…
Kutipan dibawah ini adalah dari Dilgo Khyentse Rinpoche (1910 – 28 September 1991) – seorang master Buddhisme Tibet, seorang cendekiawan, penyair, guru, dan diyakini sebagai salah satu guru yang telah tercerahkan. Beliau mengajar banyak guru terkemuka, termasuk Dalai Lama ke-14.
“Segala yang kita persepsikan, semua fenomena di keseluruhan samsara dan nirvana, muncul semata-mata sebagai permainan dari kreativitas alami pikiran. ‘Kejernihan’ pikiran – penampakan fenomena yang jelas dari persepsi kita – adalah pancaran dari sifat hampa dari pikiran. Kehampaan adalah hakekat dari kejernihan, dan kejernihan adalah perwujudan dari kehampaan. Mereka tak terpisahkan.”
“Pikiran, seperti pantulan bulan di permukaan danau yang tenang, tampak cemerlang, tetapi anda tidak dapat menggenggamnya. Ia hadir dengan jelas, namun pada saat yang sama sepenuhnya tak-berwujud. Dalam kesejatiannya, yang merupakan kesatuan tak terpisahkan dari kehampaan dan kejernihan, tidak ada yang dapat mengaburkannya dan ia tidak dapat merintangi apa pun, tidak seperti objek fisik, seperti batu, yang memiliki keberadaan fisik yang menempati ruang dan memisah dari objek lain. Pada intinya, pikiran tak-berwujud dan ada dimana-mana.”
Kyabje Dilgo Khyentse Rinpoche – The Hundred Verses of Advice – Collected Works Vol II halaman 459, Shambhala
— 0 —
For some reason, I like this short teaching, but I do not know why. It sounds so profound. Perhaps it is simply philosophical words that are pleasant to hear, or maybe it resonates with something more profound that I faintly feel within myself. It’s something for me to contemplate…
The quote below is from Dilgo Khyentse Rinpoche (1910 – 28 September 1991), a master of Tibetan Buddhism, scholar, poet, and teacher who is believed to be one of the enlightened masters. He taught many prominent teachers, including the 14th Dalai Lama.
“Everything we perceive, all phenomena throughout samsara and nirvana, arises simply as the play of the mind’s natural creativity. This ‘clarity’ of the mind – the distinct appearance of phenomena to our perception – is the radiance of the mind’s empty nature. Emptiness is the very essence of clarity, and clarity is the expression of emptiness. They are indivisible.”
“The mind, like a reflection of the moon in the still surface of a lake, is brilliantly apparent, but you cannot take hold of it. It is vividly present and at the same time utterly intangible. By its very nature, which is the indivisible union of emptiness and clarity, nothing can obscure it and it can obstruct nothing, unlike a solid object, such as a rock, with a physical presence occupying space and excluding other objects. In essence, the mind is insubstantial and omnipresent.”
Kyabje Dilgo Khyentse Rinpoche – The Hundred Verses of Advice – Collected Works Vol II p 459, Shambhala
Satu kisah tentang perjuangan hidup seorang ibu muda di satu sisi dan kedermawanan seseorang yang tidak dikenal di sisi lain.
Ibu muda 28 tahun, Xiao Lin dari Chongqing ini membawa dua anaknya berdagang makanan dengan gerobak di tengah musim dingin untuk bertahan hidup dan mengumpulkan biaya untuk putranya yang menderita penyakit jantung bawaan. Sementara ayah dari puteranya mengahiri hidupnya karena tidak tahan menanggung beban hidup.
Ketangguhan wanita muda ini mengagumkan. Ungkapan yang dia pakai: “陰霾是留給自己的” (yīn mái shì liú gěi zìjǐ de) ‘Mendung itu disimpan untuk diri sendiri’ dibalut senyum dan tawa, sedikit banyak mencerminkan kedewasaannya menghadapi badai kehidupan. Dia cenderung akan mudah untuk bahagia dalam kondisi apapun…
Dari luar, kita memang tidak pernah tahu apa yang sedang dihadapi oleh seseorang.
Anak-anaknya yang masih kecil seakan mengerti keadaan ibunya. Putrinya digendongan tidak tampak rewel di tengah udara yang dingin. Putranya sempat menyeka airmata ibunya dan sangat sopan.
Penderitaan yang dalam membuat kita lebih mudah melihat realitas hidup dengan lebih nyata, dan dapat mentransformasi batin menjadi lebih eling, melepas, dan arif. Kelihatan Xiao Lin ini melewati itu semua dengan baik. Sayangnya tidak semua orang bisa melewatinya, salah satunya mungkin suaminya itu. Depresi yang dalam pada satu titik akan mengkalutkan semua pikiran kita yang akan terus menggulung dan menyebabkan kita tidak bisa melihat jalan keluar, tapi jalan pintas. Bukan karena dia tidak bisa berpikir, tapi justru tidak berhenti berpikir, didera oleh rasa bersalah, kecemasan masa depan, dan tidak cukup kesadaran untuk menghentikannya atau menerima dan melepaskannya. Very unfortunate…
Meskipun ini satu konten dimana pembuatnya bisa mendapatkan keuntungan finansial, namun menyisihkan 50,000 Yuan (setara Rp.110jt) untuk membantu ibu muda ini dan anaknya adalah kedermawanan sekaligus kewelas-asihan. Keharuan dari pemberi yang tidak mau memperlihatkan diri ini tidak dapat disembunyikan saat ibu muda dan anaknya memberi penghormatan. I hate to admit that I was crying…
Info terakhir, para dermawan didunia maya mengumpulkan lebih dari 300,000 Yuan (sekitar Rp660jt) untuk kelanjutan operasi jantung putranya.
Ajahn Brahm begitu dicintai oleh murid-muridnya. Di ulang tahunnya yang ke-70 tahun ini, murid-muridnya di seluruh dunia lintas bangsa dari berbagai kalangan baik monastik (bhikkhu/bhikkhuni) maupun orang awam, baik buddhis dan non-buddhis, bersama-sama merayakannya. Berbagai program diselenggarakan, diantaranya adalah lelang barang bekas pakai Ajahn Brahm untuk penggalangan dana pembangunan pusat meditasi di Melbourne, penerbitan buku, dan retret meditasi cinta kasih (metta) online yang dipandu langsung oleh bhikkhu/bhikkhuni murid Ajahn Brahm dari berbagai belahan dunia selama 6 Hari, dari tanggal 1 hingga 6 Augustus 2021.
Puncak perayaannya diselenggarakan hari ini, Sabtu, tanggal 7 Augustus 2021 di Jhana Grove Meditation Centre di Serpentine, Western Australia. Berikut adalah tautan acara perayaan yang disiarkan langsung.
Saya tidak sempat hadir di tempat tapi saya coba mengikuti sebisa mungkin lewat streaming dibawah ini. Satu video klip yang dipersiapkan secara ‘rahasia’ memaparkan kisah perjalanan dan sumbangsih Ajahn Brahm dari orang-orang yang telah terinspirasi oleh beliau terrasuk yang dari Indonesia, dapat ditonton di bawah ini. Begitu banyak kasih tak-berbatas dibabarkan dan telah menginspirasi dan mencerahkan banyak insan dalam mengarungi kehidupan ini. Salut dan kagum kepada panitia yang merupakan kolaborasi murid-muridnya dari berbagai belahan dunia.
Happy Birthday Ajahn Brahm! Semoga sehat dan panjang umur dan terus menginspirasi dengan kewelas-asihannya.
Ajahn Brahmavamso (yang dipanggil Ajahn Brahm) hari ini genap berusia 70 tahun. Beliau adalah seorang bhikkhu (biarawan) Buddhis asal Inggris yang telah menjalani kehidupan kebiarawanan hampir 47 tahun dalam tradisi Theravada. Lahir pada tanggal 7 Agustus 1951 dengan nama Peter Betts dari keluarga kelas pekerja di London. Peter muda sudah tertarik pada meditasi sejak usia dini. Tumbuh menjadi seorang pemuda cerdas, Peter belajar bidang fisika teoritis di Universitas Cambridge dan kemudian menjadi pengajar.
Ajahn Brahm adalah murid dari seorang bhikkhu yang sangat dihormati di Thailand, Ajahn Chah yang bermukim di luar kota Ubon Ratchathani, bagian timur-laut Bangkok. Saya berkesempatan dua kali mengunjungi kompleks biara hutan Ajahn Chah, Wat Nong Pah Pong dan Wat Pa Nanachat sewaktu saya bekerja di tambang Sepon di Laos sekitar tahun 2002-2003.
Satu buku karangan Ajahn Brahm (dalam bahasa Inggris) dibagikan secara cuma-cuma. Saya juga barusan mengunggahnya untuk dibaca. Buku kecil ini berisi pemahaman dasar tentang Buddhisme yang disampaikan dalam cerita-cerita pengalaman Ajahn Brahm – yang menjadi ciri khasnya. Buku ini dapat diunggah di: Opening-Up-To-Kindfulness-19-July-2021DOWNLOAD
— 0 —
Saya tentu bukan siapa-siapa bagi seorang Ajahn Brahm yang memiliki begitu banyak murid dari semua kalangan yang tersebar di seluruh dunia. Dan saya juga tidak berharap bahwa Ajahn Brahm mengenal saya karena begitu banyak orang yang datang menemui beliau setiap waktu. Kalaupun saya berkunjung ke Bodhinyana Monastery di Serpentine – biara hutan tempat beliau bermukim atau Dhammaloka Monastery di kota Perth, saya biasanya hanya duduk tidak di barisan depan ágak jauh dari perhatian. Saya lebih suka berdiam sembari menikmati keheningan suasana.
Meskipun demikian, kelihatannya Ajahn tahu kalau saya orang Indonesia. Setiap kali saya menyampaikan dana makanan dalam tradisi pindapata, Ajahn Brahm selalu menyapa dengan sapaan ‘Selamat Pagi…’.
Ajahn Brahm memang dekat dengan Indonesia. Beliau melakukan kunjungan tahunan ke Indonesia (diorganisir oleh Yayasan Ehipassiko yang didirikan oleh Handaka Vijjananda) mungkin lebih dari sepuluh tahun terakhir, yang terhenti karena pembatasan pandemi Covid 19. Buku beliau yang berjudul Cacing dan Kotoran Kesayangannya (Opening the Door of Your Heart) sempat menjadi salah satu buku terlaris di Indonesia.
Menurut saya, yang sangat mengesankan dari seorang Ajahn Brahm adalah kewelas-asihan dan kerendahan hatinya. Meski telah menjadi bhikku yang paling senior dan sangat sibuk, beliau selalu ramah dan memperlakukan setiap orang dengan sangat baik tanpa membeda-bedakan.
Pada saat satu tahun peringatan wafatnya ibu saya pada April 2016, saya memohon kepada Ajahn Brahm untuk bersedia melakukan doa pelimpahan jasa untuk mendiang ibu saya. Beliau dengan spontan malah menawarkan untuk melakukannya di Pangkalpinang saat kunjungan beliau ke sana bertepatan dengan hari peringatan 1 tahun dan menganjurkan saya menghubungi Handaka Vijjananda, teman yang telah 10 tahun lebih tidak pernah bertemu. Atas bantuan Handaka, Ajahn Brahm meluangkan waktunya di tengah talkshow untuk melakukan kegiatan doa ini. (https://letting-go.blog/2021/08/07/a-year-of-passing/)
Tidak berapa lama yang lalu saya pernah menanyakan kesediaan Ajahn untuk bisa bertemu dengan Konjen RI di Perth. Waktu itu, Ibu Konjen ingin bertemu dengan masyarakat Buddhis Indonesia yang tingal di Perth. Saya terpikir untuk melakukan pertemuan di Biara Bodhinyana. Atas bantuan Bhikkhu Ananda, Ajahn dengan senang hati bersedia menyediakan waktunya yang sangat padat itu. Sayangnya, pertemuan itu tidak terjadi karena kesulitan mengatur waktu pertemuan karena kesibukan masing-masing dan juga masa lockdown Covid.
Beberapa kali saya harus minta izin kepada Ajahn Brahm waktu hendak mengundang Bhante Ananda keluar dari biara. Pernah diizinkan dua kali ‘membawa’ Bhante Ananda menghadiri undangan perayaan Natal masyarakat Indonesia di Perth. Bhante Ananda sendiri sering memuji kesabaran, kewelas-asihan, dan keteladanan gurunya ini.
Saya sangat beruntung sempat mengikuti pelatihan meditasi dibawah bimbingan beliau di pertengahan 2018. Pelatihan berjalan sangat santai dan menyenangkan. Wejangan yang disampaikan sangat menyegarkan dan mencerahkan dengan gaya penyampaian yang lepas, dilengkapi dengan perumpamaan dan lelucon-leluconnya. Ajahn Brahm piawai memilih gaya penyampaian dan kedalaman isi menyesuaikan dengan tingkat pemahaman pendengarnya.
Bear Meditation dengan Ajahn Brahm (foto: Shally Mavieto)
Di usia yang tidak muda lagi, Ajahn Brahm memiliki ingatan yang sangat kuat dan pikiran yang jernih dalam menyampaikan dan merunut serangkaian bahasan yang beranak-pinak dan kembali ke pokok pembahasan dan ditutup dengan rangkuman yang mudah dipahami.
Saya tidak melihat raut muka lelah Ajahn Brahm yang berbicara sebanyak 3 sesi perhari masing-masing 1-1.5 jam per-sesi selama 9 harı, ditambah dengan sesi konsultasi personal peserta hampir setiap hari; bahkan pada hari-hari Ajahn Brahm terserang flu sekalipun. Selalu tetap terlihat senyuman khas menghias wajahnya dengan semangat dan keceriaan yang hampir konstan di setiap saat.
Pikiran yang tidak bergejolak dan batin gang mawas memberikan kejernihan batin dan menyisakan energi kebahagiaan yang luar biasa dan bisa sangat membantu dalam menyelesaikan banyak masalah.
Ajahn Brahm
Saya pernah mencoba menuliskan pernik-pernik latihan meditasi yang saya ikut meskipun tidak tuntas. Berikut adalah tautannya:
Semalam saya ‘dikerjain’ dengan satu acara kejutan ulang tahunku. Semula aku kira hanya makan malam keluarga bertiga dengan isteri dan putri kami di sebuah restoran Asia. Ternyata ada ‘persekongkolan’ antara istriku dengan berapa teman dekat tanpa sepengetahuanku. Saat kami sampai di restauran, ketika menuju ke meja, aku sekilas aku melihat salah satu teman di situ, dan saya pikir wah.. kebetulan sekali. Tapi saat aku menyapu pandangan ke sekelilingnya, aku dapati kok banyak yang dikenal. Untuk sesaat, aku masih agak bingung, hingga mereka mulai menyanyikan lagu ‘Happy Birthday‘.
Aku sempat terharu. Aku merasa sangat beruntung memiliki keluarga yang menyayangi dan banyak teman baik di sekelilingku. Saat ini, kami sangat beruntung bermukim di Australia yang relatif sangat aman terhadap pandemi Covid 19, khususnya di Perth, Australia Barat. Meski barusan ada lockdown, sekarang sudah dilonggarkan. Kami menikmati makan malam dan bercerita banyak.
Sementara di akhir-akhir ini di Indonesia, mungkin hampir semua kita menerima kabar dukacita dari orang-orang yang kita tahu atau yang dekat dengan kita, secara beruntun… Dulu kita dengar hanya sekedar dari berita – itu tidak banyak mempengaruhi emosi kita. Tapi sekarang, kemalangan ini lebih dekat dan terasa sangat nyata. Semoga semua ketidakberuntungan ini cepat berlalu. Pada akhirnya, inipun akan berlalu.
Di masa kecilku di Kampung Lumut yang bersahaja, ulang tahun bukanlah suatu yang lazim dirayakan dengan satu pesta. Yang ada hanyalah ibuku merebus beberapa telur di pagi hari untuk dibagikan bersama adik-adikku dan ditambah masakan yang lebih ‘mewah’ dari biasanya untuk makan malam keluarga. Masakan yang lebih ‘mewah’ itu biasanya dengan lauk ayam dari ternak sendiri. Tidak ada kue tar ataupun acara tiup lilin, apalagi mendapat kado ulang tahun. Kesederhanaan masa kecilku di kampung sedikit banyak terlukis dalam tulisan ini: https://letting-go.blog/2020/05/17/beberapa-sahabat-masa-kecilku/ dan https://letting-go.blog/2019/11/25/sekilas-masa-kecilku-di-kampung-pangkal-niur/)
Mungkin oleh karena itu, aku tidak pernah merasa merayakan ulang tahun itu suatu keharusan untuk dirayakan. Namun kehadiran teman-teman baik sangat berarti. Dan secara pribadi, hari ulang tahun mungkin adalah momen yang baik untuk sedikit merenung.
— 0 —
Sekarang aku sudah berusia 55 tahun. Dalam tradisi Tionghoa sudah dihitung berusia 56 tahun karena dihitung sejak dalam kandungan. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Usia ini mengingatkanku pada ayahku yang wafat di tahun 1994 pada usia yang sama dengan usiaku sekarang. Usia yang terasa masih ‘sangat’ muda. Aku mungkin bias karena aku berada diusia ini sekarang. Satu tahun sebelumnya di tahun 1993, adik laki-lakiku pada usianya yang 20 tahun pergi meninggalkan kami, saat aku baru menyelesaikan studi dan mulai bekerja di tahun kedua sebagai pekerja tambang di Kalimantan Timur. Sebagai upaya mendoakan mendiang ayah dan mendiang adikku, aku sempat menerjemahkan satu buku kecil ‘Why Religious Tolerance’ karya mendiang Dr. Sri K Dhammananda – seorang biarawan sekaligus cendekiawan Buddhis (https://letting-go.blog/2018/06/19/mengapa-umat-beragama-bertoleransi-why-religious-tolerance/).
Setelah aku menamatkan SMA di tahun 1985, sempat ada jeda 1 tahun sebelum melanjutkan ke perguruan tinggi untuk jurusan pendidikan Keguruan di bidang studi Matematika di Universitas Sriwijaya di Palembang, dan baru tahun berikutnya (1987) aku mengambil studi teknik pertambangan di universitas yang sama.
Profesi sebagai pekerja tambang membawa aku berkesempatan bekerja dan berkunjung ke banyak tempat di Indonesia, Laos, Australia, Amerika, dan Ghana, Afrika. Seperti lazimnya dunia pertambangan, lapangan pekerjaanku sebagian besar ada di daerah terpencil di tengah hutan jauh dari keramaian. Hampir seluruh pengalaman kerjaku di pertambangan emas dan tembaga, dan hanya ditahun-tahun awal bekerja di pertambangan batubara (https://letting-go.blog/2020/10/18/sekilas-siklus-tambang-emas/).
Di Indonesia sendiri penugasan pertamaku di Kalimantan Timur, kemudian di Sulawesi Utara, dan terakhir di Sumbawa sebelum mengambil kesempatan bekerja sebagai tenaga kerja asing selama 3 tahun di satu tambang emas dan tembaga di belantara Laos di dekat perbatasan dengan Vietnam yang terkenal dengan Jalur Ho Chi Minh (Ho Chi Minh Tail). Jalur Ho Chi Minh adalah rute pasokan militer yang membentang dari Vietnam Utara melalui Laos dan Kamboja ke Vietnam Selatan selama Perang Vietnam. Jalur ini dibombardir oleh Angkatan Udara Amerika dalam operasi militer rahasia pada kurun maktu tahun 1965 hingga 1972, yang meninggalkan banyak bom-bom yang tidak sempat meledak (UXO – unexploded ordinance) – yang harus dijinakkan dan dibersihkan dalam kegiatan penambangan.
Aku banyak melihat kehidupan masyarakat lingkar tambang yang sangat sederhana kalau tidak mau dikatakan miskin, dan bagaimana suatu industri pertambangan berkontribusi membuka keterpencilan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat setempat.
Setelah itu, aku berkesempatan bekerja di salah satu tambang emas terbesar di dunia di Australia Barat lebih dari 10 tahun sebelum menerima penugasan ke Ghana, Afrika selama 2 tahun. Di tengah kesibukan pekerjaan yang sangat padat, aku dan istri sempat mengunjungi beberapa tempat diantaranya adalah Museum Istana Manhyia (Manhyia Palace Museum) dan peninggalan kastil perbudakan di Elmina (https://letting-go.blog/2019/09/15/kastil-elmina-saksi-sejarah-kelam-perbudakan/).
Sayang, masa tinggal kami di Accra, ibukota Ghana hanya Sekitar setahun dan harus kembali ke Perth di akhir Mei 2020 dan bekerja dari rumah karena pandemi Covid 19.
Di akhir penugasan Afrika, aku mendapat kesempatan untuk memilih lanjutan penugasan di Perth atau mengambil pesangon – pilihan yang ditawarkan sebagai bagian dari penugasan expatriat. Dengan segala pertimbangan, aku memilih yang kedua di akhir Maret 2021. Aku merasa beruntung mendapatkan kesempatan ini diwaktu yang tepat.
Ini kali pertama mendapat kesempatan untuk berhenti bekerja saat ada di puncak karir setelah 29 tahun bekerja terus menerus dengan intensitas tinggi berkelana dari satu tambang ke tambang lain. Meski banyak pertimbangan dan perenungan dalam mengambil keputusan ini, aku tidak merasa terlalu sulit mengambil keputusan ini.
Teman-teman sempat mengingatkan bahwa aku mungkin akan segera bosan atau mengalami ‘post-power syndrome‘ sejenis kehilangan semangat hidup atau jati-diri karena berperasaan bukan siapa-siapa lagi. Saya coba untuk menyadarinya, tapi terus-terang aku tidak merasa mengalami kedua hal ini. Aku malah khawatir akan terlalu menikmati ‘Do Nothing – tidak melakukan apa-apa’ ini.
Aku harus bilang bahwa aku gembira atas kenyataan bahwa aku tidak merasakan sindrom-sindrom yang lazim dialami oleh banyak orang saat tidak lagi bekerja atau kehilangan pekerjaannya. Aku beruntung punya kesempatan untuk memilih di waktu yang tepat pada kondisi yang cukup menguntungkan.
Aku rasa hal yang juga sangat membantu adalah mulai tumbuhnya kesadaran untuk melepas, merasa inipun sudah cukuplah, dan bahwa tidak merasa perlu untuk menjadi siapa-siapa lagi – I am nobody.
Masih terlalu dini untuk memastikannya, aku kemungkinan akan kembali ke dunia kerja, tetapi dengan dorongan dan harapan yang mungkin sangat berbeda.
Ketika Anda mendengarkan Dhamma, anda harus membuka hati dan menempatkan diri di tengah. Jangan mencoba menghimpun apa yang anda dengar atau berusaha keras untuk menyimpan apa yang anda dengar melalui ingatan. Biarkan saja Dhamma mengalir ke dalam hati anda saat ianya muncul, dan biarkan diri anda terus terbuka terhadap arus dalam momen saat ini. Apa yang siap disimpan akan terjadi, dan itu akan terjadi dengan sendirinya, bukan melalui usaha keras dari sisi anda.
Demikian pula ketika anda membabarkan Dhamma, anda tidak boleh memaksakan diri. Itu harus terjadi dengan sendirinya dan harus mengalir secara spontan dari saat dan keadaan sekarang. Setiap orang memiliki tingkat kemampuan menerima yang berbeda, dan ketika anda berada di sana pada tingkat yang sama, itu terjadi begitu saja, Dhamma itu mengalir. Sang Buddha memiliki kemampuan untuk mengetahui perangai dan kemampuan menerima seseorang. Beliau menggunakan metode pengajaran spontan yang sama. Bukan karena dia memiliki kekuatan diluar manusia biasa untuk mengajar, melainkan karena dia peka terhadap kebutuhan spiritual orang-orang yang datang kepadanya, jadi dia mengajar mereka sesuai dengan itu.
(Ajahn Chah)
— 0 —
ENGLISH
When you listen to the Dhamma you must open up your heart and compose yourself in the center. Don’t try to accumulate what you hear or make a painstaking effort to retain what you hear through memory. Just let the Dhamma flow into your heart as it reveals itself, and keep yourself continuously open to its flow in the present moment. What is ready to be retained will be so, and it will happen of its own accord, not through any determined effort on your part.
Similarly when you expound the Dhamma, you must not force yourself. It should happen on its own and should flow spontaneously from the present moment and circumstances. People have different levels of receptive ability, and when you’re there at that same level, it just happens, the Dhamma flows. The Buddha had the ability to know people’s temperaments and receptive abilities.He used this very same method of spontaneous teaching. It’s not that he possessed any special superhuman power to teach, but rather that he was sensitive to the spiritual needs of the people who came to him, and so he taught them accordingly.
Saat berlatih meditasi, kita mengambil obyek, seperti pernapasan masuk dan keluar, sebagai landasan kita. Ini menjadi fokus perhatian dan perenungan kita.
Kita memperhatikan pernapasan. Memperhatikan pernapasan berarti mengikuti pernapasan dengan kesadaran, mencatat alunannya, masuk dan keluarnya. Kita meletakkan kesadaran pada pernapasan, mengikuti napas masuk dan keluar secara alami dan melepaskan semua yang lainnya.
Sebagai hasil dari menetap pada satu objek kesadaran, pikiran kita menjadi jernih. Jika kita membiarkan pikiran memikirkan ini, itu dan lainnya, ada banyak obyek kesadaran; pikiran tidak bersatu, tidak beristirahat.
Kumpulan Ajaran Ajahn Chah, Aruna Publications, 2011.
Dalam ajaran yang saya yakini, ada anjuran perenungan terhadap ketidak-kekalan. Entah kenapa saya cukup menyukainya dan sering merenungkannya dulu sebagai pengantar meditasi. Saya hanya merasa perenungan ini membawa kita kembali pada kenyataan yang lebih membumi dan hakiki – dan membawa ketenangan yang mengheningkan. Mungkin karena itu, dianjurkan untuk kerap kali direnungkan – bhinhapaccavekkhana.
Aku akan menderita usia tua, aku belum mengatasi usia tua. Aku akan menderita sakit, aku belum mengatasi penyakit. Aku akan menderita kematian, aku belum mengatasi kematian. Segala milikku yang kucintai dan kusenangi akan berubah, akan terpisah dariku.
Aku adalah pemilik perbuatanku sendiri Pewaris perbuatanku sendiri Lahir dari perbuatanku sendiri Berhubungan dengan perbuatanku sendiri Terlindung oleh perbuatanku sendiri Apapun perbuatan yang kuperbuat Baik atau buruk Itulah yang akan kuwarisi. Hendaklah ini kerap kali direnungkan.
Saya menemukan satu tulisan kecil tentang makna perenungan ini oleh Ajahn Sundara, seorang biarawati buddhis berkebangsaan Prancis, yang saya rasa cukup mendalam. Berikut adalah terjemahannya.
—0—
Aku akan menderita usia tua, aku belum mengatasi usia tua. Aku akan menderita sakit, aku belum mengatasi penyakit. Aku akan menderita kematian, aku belum mengatasi kematian.
Perenungan ini membantu kita mendinginkan pikiran dan membawanya ke tingkat di mana kita berhadap-hadapan kenyataan alih-alih dunia khayalan. Inilah yang membawa saya pada dharma (ajaran kebenaran): keinginan untuk menghadapi tiga kenyataan dari keberadaan, khususnya kematian, kesadaran bahwa kematian dapat terjadi kapan saja.
Inilah keseluruhan aspek dari suatu latihan yang berkaitan dengan perenungan sederhana seperti itu – merenungkan ketidak kekalan hidup, ketidakpastian keberadaan kita. Perenungan bahwa kita sehat sekarang tetapi suatu hari kita mungkin sakit; suatu hari kita mungkin tidak lagi memiliki semua keistimewa yang kita miliki saat ini, keistimewa memperoleh kesehatan yang baik, tubuh yang kuat, dan kekuatan dan kejernihan pikiran.
Saat kita tidak merenungkan dengan cara ini, kita kemungkinan besar akan terperangkap dalam khayalan masa depan dan dalam merencanakan masa depan, dalam mengatur hidup kita, dalam khawatir atau bersemangat tentang apa yang bisa terjadi, atau menjadi depresi. Pikiran menciptakan berbagai macam perasaan dan suasana hati ketika lupa bahwa hidup kita bisa berakhir kapan saja. Sebaliknya, perenungan ini, ingatan kita tentang penuaan, penyakit dan kematian ini dapat membantu kita untuk menghargai hidup kita dengan lebih positif.
— Ajahn Sundara, The Body
— 0 —
I am of the nature to age; I have not gone beyond ageing. I am of the nature to sicken; I have not gone beyond sickness. I am of the nature to die; I have not gone beyond dying.
This reflection helps us cool down the mind and bring it to a level where we face facts rather than a world of fantasy. This is what brought me to the dhamma: wanting to face those three facts of existence, and death in particular, the awareness that death can happen at any time.
There is a whole aspect of the practice which has to do with simple reflections like that – reflecting on the transience of life, on the uncertainty of our existence. Reflecting that we are fit now but one day we may be sick; one day we might no longer have all the privileges we have at present, the privileges of good health, strength in the body and strength and clarity of mind.
When we do not reflect in this way we are likely to be caught up in the illusion of the future and in planning for that future, organizing our life, worrying or getting excited about what could happen, or becoming depressed. The mind creates a whole range of feelings and moods when it forgets that our life could terminate at any time. So paradoxically, this reflection, this recollection of ageing, sickness and death can help us to appreciate our life more positively.
Bukan Ajahn Brahm kalau tidak membawa sesuatu atau memfasilitasi ide-ide kreatif yang out-of-the-box. Atas ide Bhante Bodhidhaja, video tentang meditasi yang analogikan dengan pesan keselamatan dalam penerbangan yang selalu kita dengar dari kru kabin sebelum tinggal landas. Bhante ada sebutan untuk biarawan Buddhis. Video ini menjadi kocak dan menghibur, dan pada saat yang sama dengan akurat menerangkan prinsip-perinsip meditasi.
Code penerbangan ‘JG-000’ jelas mengacu pada Jhana Grove, kompleks pusat meditasi di Serpentine, Australia Barat yang di kelola oleh Ajahn Brahm. Saya beruntung sempat mengikuti retret meditasi 9 hari yang diajarkan oleh beliau pada pertengahan tahun 2018. Nomor penerbangan ‘000’ kemungkinan mengacu pada pelepasan, kesunyataan, atau sejenisnya.
Video dimulai dengan pesan dari kapten Awakening Air dari ruang kemudi.
‘Ini kapten anda Ajahn Brahm berbicara, Awakening Air mengucapkan selamat datang dalam penerbangan JG000 yang tidak kemana-mana. Kita akan mengarungi kebebasan, keheningan, dan kedamaian.’
Pesan-pesan berikutnya yang diselaraskan dengan panduan meditasi dibuat sangat kreatif dan menghibur, beberapa diantaranya:
‘Pada saat masuk kedalam pesawat, mohon jangan membawa koper masa lalu anda, tinggallah di masa lalu sebagaimana seharusnya’.
‘Juga jangan membawa tas penuh dengan ‘ketakutan dan harapan’ bersama anda kedalam kabin pesawat, karena akan mengacaukan pikiranmu dan memperlambat proses masuk kedalam pesawat’.
Pada saat tanda ‘kelembutan’ dinyalakan, kembalilah pada ‘saat kini – present moment’, cobalah santai, lingkupi anda dengan kelembutan dan kebaikan’.
Sangat menarik, kreatifitas mereka menampilan Inter-Tainment – program hiburan dalam pesawat, peragaan-peragaan ala kadarnya yang diperankan oleh pengunjung yang sering saya lihat saat berkunjung kesana, dan juga saat keadaan ’emergency’ pendaratan di air.
Dan pernyataan di akhir menunjukkan betapa moderatnya pesan keselamatan perjalanan ‘penerbangan’ ini:
On behalf of the whole crew we thank you for not choosing Awakening Air but rather slowly conditioned by Kamma, your teachers and spiritual friends to come along for the ride. We wish you a pleasant journey.
Atas nama seluruh kru, kami mengucapkan terimakasih karena tidak memilih terbang bersama ‘Awakening Air’ tetapi lebih memilih secara perlahan dikondisikan oleh karma, guru dan kawan spiritual anda dalam mengarungi perjalanan ini. Semoga perjalanan anda menyenangkan.
Awakening Air
Dibawah ini adalah tautan videonya. Selamat menikmati.
Tidak terasa, saya bisa aktif berolahraga jalan selama 24 jam menempuh jarak sekitar 120 km dalam 3 minggu terakhir ini, lebih dari 1 jam rata-rata per-hari. Ini gara-gara ikut tantangan berolahraga bersama teman-teman Gang ABG (Anak Baru Gocap – baca: orang tua usia diatas 50 tahun). Ini tidak lazim karena saya belum pernah berjalan selama dan sejauh itu sebelumnya, dengan rutin hampir setiap hari.
Saya tidak meminati olahraga apapun. Saat kecil dan remaja, diwaktu teman-teman sebaya bermain basket, olahraga paling populer di kampung, saya lebih banyak berdiam diri dan bersekolah. Mungkin ‘tulang’ saya tidak bagus… Di sekolah menengah dulu, pelajaran olahraga menjadi momok terutama saat pengambilan nilai praktek, seperti lompat tinggi, lompat jauh, tolak peluru, lari jarak pendek, dll. Saya sebenarnya suka berenang karena sering mandi di kali atau kolong bekas tambang timah tidak jauh dari rumah. Tapi tidak ada pengambilan nilai untuk berenang karena di sekolah tidak ada kolam renangnya. Lagian kalau ada belum tentu nilai saya bisa bagus kerena saya hanya lancar berenang di kali/kolong bukan di kolam renang, dengan gaya bebas yang sebebas-bebasnya.
Teman-teman ABG sebenarnya adalah komunitas teman-teman Katolik. Dimana anggota kehormatannya adalah Romo Hari Suparwito SJ, seorang pastur dari ordo Societas Jesu, yang mengambil studi doktoral (S3) di Perth, yang sekarang berada ke Indonesia, dan juga ikut tantangan olahraga ini dengan kayuhan sepedanya yang bisa sampai 4 – 5 jam sehari. Hanya saya satu-satunya non-katolik di dalam group. Sepertinya saya adalah domba yang tersesat di jalan yang benar.
Tantangan berolahraga ini diprakarsai oleh Hasan dan Feby yang memang pelari dan pemain bulu tangkis. Tantangan diberi nama ABG Xmas Belly Challenge 2021, tanggal 4 – 24 Januari. Cita-citanya: togetherness and teamwork to encourage others to be more active and healthy – kebersamaan dan kerja team untuk menyemangati yang lain agar lebih aktif dan sehat. Cita-cita yang mulia…
Tantangan diukur dengan jumlah waktu berolahraga yang direkam dengan Stava. Jenis olahraga bisa dari jalan/hiking, lari, sepeda, treadmill, yang akan dihitung waktunya. Uniknya, sistim penilaian diantara anggota satu team dibuat tidak berimbang. Anggota team yang paling sedikit waktunya akan mendapat bobot 75% dalam penghitungan nilai, sementara dua anggota lainnya hanya berbobot 25%. Tujuannya agar anggota yang aktif bisa mendorong (dalam arti yang sebenarnya…) anggota yang kurang aktif.
Sistim ini berhasil membuat orang-orang yang kurang aktif seperti saya untuk turun gunung (nggak ingat kalau dulu pernah naik gunung…), kalau tidak mau di-encourage (baca: ‘diomelin’) oleh anggota team yang kebetulan emak-emak, salah-salah bisa klar hidup loe…. Dari teman-teman di ABG yang berminat, terbentuklah 6 team dengan masing-masing beranggotakan 3 orang. Team saya adalah Linda and Inda. Linda adalah pelari dengan motto ‘listen to my feet’ dan ‘tiada hari tanpa lari‘, sementara Inda yang dikenal ‘endurance‘-nya kalau jalan bisa lama, panjang, dan sering. Saya hanya mengimbanginya saja, agar tidak ada perbedaan waktu yang lebar, sehingga nilai bisa optimal. Maka lengkaplah kedigdayaan team kami…
Lucas yang tinggal di Kota Kinabalu, Malaysia ikut dalam tantangan ini, dan dengan rajin sekali menyiarkan hasil perhitungan nilai sementara, sehari bisa 2 kali diperbaharui, Ini nambah seru persaingan, terutama pada minggu terakhir, minggu ke 3. Saling mengejar, menyemangati, dan mengolok menjadikan group whatsapp meriah.
Penutupan acara dilakukan alam acara jalan bersama di tanggal 26 January, bertepatan dengan Australian Day, berjalan/berlari didaerah Deep Water Point Reserve, Mt Pleasant, sepanjang loop 7 km. Wajah-wajah ceria dan tanpa beban tampak sekali menghiasi wajah setiap orang, mungkin karena setelah 3 minggu cukup tegang…
Setelah ngopi dan sarapan di Dome, semua berkumpul. Sayang, Vivien harus pulang duluan. Vivien masuk ke dalam team di minggu ke tiga mewakili/menggantikan Hengki yang tidak bisa meneruskan tantangan ini karena kesibukan dan kondisi kaki.
Berikut ini pengumuman hasil akhir ABG Xmas Belly Challenge yang tidak boleh diganggu-gugat, oleh Hasan:
Team 2 (Linda/Lim/Inda) dengan konsistensinya keluar sebagai juara, memimpin dari awal. Surpisingly, waktu kumulatif hampir dikejar oleh Team 5 (Gatot/Ming/Nany) di minggu ke-3. Team 6 (Agnes/Beth/Imel) juga membuat kejutan dengan merangsek ke posisi 3, the power of ibuk2. Sementara Team 3 (Lucas/Christine/Andri) harus merelakan podium. Team 4 (now Feby/Tina/Vien) berhasil mendongkrak posisi buncit di minggu 1 & 2 sehingga Team 1 (Romo/Ir/Elsa) harus puas di posisi juru kunci.
Hasil resmi hitungan akhir ABG Xmas Belly Challenge, sumber: WAG ABG 25 Jan 2021
Hore.. team kami juara beregu! Disamping juara team, ada 2 juara perorangan yang yang dianugrahkan, yaitu untuk kemajuan yang konsisten dari minggu ke minggu, juaranya adalah Nany yang meningkatan jam nya dari 4 jam ke 7 jam dan 13 di minggu terakhir. Beberapa yang lainnya seperti Christine dan Feby sangat meningkat jamnya namun tidak konsisten dari minggu ke minggu. Penghargaan perorangan lainnya adalah untuk Elisabeth yang baru datang dari luar negeri (Indonesia) yang tetap bersemangat mengikuti tantangan ini dari kamar karantinanya di hotel selama 2 minggu.
Beberapa teman tidak ikut tantangan ini karena berbagai kesibukan, diantaranya Hendarmin dan Ling-Ling. Mereka ikut menyemangati kegiatan ini lewat penyediaan voucher Tim’s Thai, restaurant masakan Thailand milik mereka.
foto wajib sebelum jalanHasan dan Feby the runnersGatot another runnerfoto wajib di tengah jalanpagi sejuk di swan riverjuara pertamaNani – juara best effort and improvementElisabeth – juara resilience di tengah karantinasaling angkat tangan foto wajib setelah jalan – wajah-wajah ceria
kumpul bersama berakhirnya ABG Xmas Belly Challenge – Australian Day 26 January 2021
Kami berbagi cerita dan pengalaman selama mengeluti tantangan selama 3 minggu ini. Beragam cerita mengalir, dari yang kocak hingga yang serius, dari menceritakan pengalaman hingga curhatan. Hasan, Feby, dan Gatot yang sudah mahir berlari berbagi pangalaman dan ilmu tentang hal-hal yang perlu dilakukan jika ingin meningkatkan intensitas latihan cardio-nya. Tak kurang cerita tentang perjuangan ‘mengatasi’ kemalasan sendiri. Ternyata setelah dijalani, bisa juga. Ada pepatah bijak, thinking about it is hard, doing it is easy – memikirkannya berat, mengerjakannya mudah.
Semua tampak ceria dan bahagia… Katanya, kebahagiaan selalu ada tepat di sini, di saat kini, jangan lagi dicari kemana-mana, hanya perlu disadari…
I have arrived
I am home
My destination is in each step
Thich Nhat Hanh
— 0 —
Disamping olahraga sendiri-sendiri, juga acara jalan barengan setiap minggu, biasanya Sabtu, kadang Minggu, mulai jam 6 pagi. Irianto adalah kepala regunya yang menentukan jam berkumpul dan merencanakan rute, termasuk melihat kalau ada tidak tersedianya WC umum, dll. Tina membantu mencarikan tempat ngumpul untuk ngopi yang nyaman setelah jalan. Satu kali kami pernah mengambil rute di sekeliling di biara Bodhinyana monastery dan Jhana Grove Meditation Centre-nya Ajahn Brahm di Serpentine.
Kami hanya ingin menikmati hal-hal yang sederhana seperti keindahan alam dan udara bersih yang tersedia oleh alam di Australia Barat ini lewat taman-taman dan jalur-jalur hiking yang begitu banyak dan beragam. Pasangan yang rutin berjalan pagi ini adalah Irianto & Inda, Agung & Tina, Gatot & Agnes, dan Christine & saya. Saya dan Christine sebenarnya baru bergabung sejak 2 bulan terakhir. Motto team ini adalah ‘low expectation‘ atau tidak berharap banyak. Berjalan hanya sekedar menikmati jalan-jalan, tidak ada target tertentu yang harus dicapai atau dikejar, kadang jalan jauh kadang dekat. Kalau rutenya nyasar yah balik lagi, sering terjadi karena jalan di hutan – meski sudah dipandu oleh applikasi AllTrail ber GPS.
Selain alam dan udara segar, saya juga sangat menikmati obrolan kami sepanjang perjalanan dan saat ngopi/sarapan. Topik yang beragam dan kadang tidak lazim, mulai dari pengetahuan fisika, home assistant, bisnis, artificial intelegence, hingga spiritualitas. Obrolan tentang fisika kwantum, sistim smart home dengan monitor dan kontrol jarak jauh, ide dan pembangunan platform pemasaran online untuk jaringan bisnis atau restoran, hingga akademi kebahagiaan – tentang faktor-faktor untuk menjadi atau merasakan kebahagiaan.
Latar belakang kami memang berbeda-beda, untuk itu topik obrolan juga bercampur-aduk. Gatot dan saya adalah kelas pekerja di perminyakan dan pertambangan. Irianto adalah pengajar di Murdoch University, Perth, yang juga mantan kepala sekolah sekolah menengah Santo Aloysius di Bandung, sekaligus guru mata pelajaran fisika. Sedangkan Agung adalah salah satu founder jaringan restoran seafood D’Cost di Indonesia, yang terkenal dengan inovasi bisnisnya.
Agung dengan minatnya di IT (information technology) dan AI (artificial intelegence) membantu teman-teman yang berminat di home assistant (HAss.IO) untuk membuat sendiri jaringan smart home yang relatif murah. Saya juga ikut tapi belum bergerak kemana-mana alias masih berjalan di tempat. Saya punya Rasberry Pi dan beberapa perangkat dasar untuk memulai. Saya tertarik dengan home assistant karena dulu suka dengan prakarya elektronik sewaktu di SMA, dan merasa bisa dijadikan mainan yang bisa dinikmati di hari tua agar tidak cepat pikun karena melibatkan banyak perencanaan, kreatifitas, termasuk scripting/programming. Lagian biayanya terbilang murah.
Nama-nama Albert Einstein, Stephen Hawkins, Thomas Alfa Edison, Nicolas Tesla, Elon Musk berseliweran saat ngobrol tentang fisika dan teknologi. Nama dan bukunya Anthony de Mello (Way to Love), Ajahn Brahm (Cacing dan Kotoran Kesayangannya – Opening the Door of Your Heart), dan Eckhart Tolle (The Power of Now) menjadi obrolan yang mencerahkan.
Akhir-akhir ini, jalan pagi mingguan ini cukup diminati, menarik lebih banyak peserta baru, Nany & Chandra, Ratinda, dan Elisabeth. Kelihatannya Nani berhasil meng-encourage (mengenai artinya, silakan mengacu ke Paragraf 6 di atas) Chandra untuk bangun sekitar jam 5 pagi di akhir pekan untuk berjalan lebih dari 7km. The power of emak-emak.
Agnes menjadi fotografer kami dalam perjalanan. Tanpa Agnes, bisa dipastikan tidak banyak dokumentasi dan tidak ada foto-foto kami yang beredar di media sosial. Pernah muncul dalam obrolan kami tentang bagaimana tanggapan dari anak-anak kami melihat tingkah polah atau foto-foto narcis orang tua mereka. Sangat mungkin mereka risih…
Saya sendiri suka mengambil foto-foto dengan ponsel sepanjang perjalanan karena keindahan dan keunikan alam. Meskipun saya tahu itu bukan cara terbaik untuk menikmati keindahan alam. But, I can’t resist. Tapi setidaknya saya berusaha tidak menjadi obsesif, hanya sekedarnya saja. Tidak sampai dibela-belain menghabiskan waktu untuk bisa mengambil suatu foto dari sudut, frame, dan komposisi yang ‘sempurna’, atau ditambah waktu untuk mengolahnya menjadi foto yang kelihatan lebih indah (dari aslinya), terus baru dipandangi. Bukankah akan lebih baik kita menghabiskan waktu untuk menikmati pemandangan pada saat ada tepat di depan mata.
Ada satu cerita Zen tentang seorang Guru Zen yang mengajak salah satu muridnya setiap kali dia pergi ke kaki gunung untuk menikmati pemandangan di senja hari. Mereka hanya boleh menikmati pemandangan dalam keheningan, tanpa kata-kata. Satu hari, murid yang diajak oleh Guru Zen ini tidak bisa menahan meluapkan emosinya melihat keindahan alam luar biasa yang ada di depan matanya sehingga dia bergumam: “alangkah indahnya…” Sejak itu dia tidak pernah lagi diajak oleh gurunya. Saat kita melukiskan suatu keindahan dengan kata-kata atau membatinkannya dalam pikiran, kita tidak lagi sedang menikmati keindahan itu tetapi memperhatikan kata-kata dan pikiran kita. Katanya, kata-kata atau pikiran yang menggambarkan keindahan itu bukanlah keindahan itu sendiri …
Peringatan: perlu dicatat bahwa gambar-gambar di atas ini tidak lebih dari kumpulan jutaan titik-titik noda (pixel) beraneka-warna, yang muncul pada gadget anda, tertangkap oleh mata, diproyeksikan oleh retina ke pusat syaraf penglihatan, diteruskan ke syaraf di otak, kemudian pikiran mempersepsikannya sesuai dengan pengkondisian pikiran itu sendiri, yang kemudian mungkin dipersepsikan sebagai sesuatu yang indah dan menyenangkan…
Terima kasih atas persahabatan dari teman-teman ABG. Semoga kita semua saling mendukung untuk hidup yang lebih sehat agar dapat menikmati dan mempertahankan kesehatan ini selama mungkin.
This too will pass… inipun akan berlalu…
Happy Australian Day – Aussie Aussie Aussie, Oi Oi Oi
Saya mengenal Pak Tjiptadinata dan Bu Roselina belum lama, sekitar tahun 2017, di satu acara kegiatan masyarakat Indonesia di Perth, Australia Barat. Perkenalan ini berlanjut dengan kegiatan bersama dimana Pak Tjipta (panggilan saya untuk beliau) dan Bu Roselina menyelenggarakan sejenis kegiatan sosial memperkenalkan Reiki (bio-energy) kepada masyarakat Indonesia di Perth. Beliau berdua adalah grand master Reiki yang mendirikan Waskita Reiki Foundation di Indonesia. Seingat saya, kami masih bertemu beberapa kali dan makan malam di satu rumah makan, sebelum saya pindah kerja ke Ghana, Afrika Barat, di awal tahun 2019. Sesekali kami masih berhubungan lewat Whatsapp. Saya dan isteri kembali ke Perth dari Ghana pada pertengahan 2020. Sejak itu, saya bekerja dari rumah karena selama pandemi Covid-19 ini.
Beberapa hari lalu, salah satu teman saya tertarik dengan suatu teknik jalan sehat yang katanya diajarkan oleh seseorang di Perth. Ternyata itu adalah anak sulung dari Pak Tjipta yang saya kenal. Ketika saya hubungi, Pak Tjipta dan Bu Roselina bersedia meluangkan waktu untuk bertemu dengan kami. Kamipun mengatur acara jalan pagi kami untuk diadakan tidak jauh dari tempat kediaman Pak Tjipta. Bersama teman-teman, kami punya acara rutin jalan pagi bersama di akhir pekan.
Formasi pejalan dan pelari ABG (Anak Baru Gocap) dan Pak Tjiptadinanta dan Bu Roselina – 17 Januari 2021
Pagi ini, hari Minggu, 17 Januari 2021, kami bertemu dan ngopi bareng dengan Pak Tjipta dan Bu Roselina yang usai dari gereja, di salah satu kedai kopi di utara Perth. Semua teman-teman baru pertama kali bertemu dengan Pak Tjipta dan Bu Roselina. Namun ternyata kami bisa bercerita, bercanda tawa, bertukar pikiran dengan bebas sambil menikmati sarapan. Perbedaan usia diantara kami tidak menjadi penghalang atau pembatas untuk bercerita bebas. Saya dan teman-teman lebih kurang adalah seangkatan dengan anak Pak Tjipta dan Bu Roselina. Teman-teman banyak menanyakan prinsip bio-energy dan pola jalan sehat yang diajarkan. Disamping itu, kami juga bercerita tentang permasalahan kehidupan secara umum, bagaimana menjalani pola hidup sehat agar lebih bisa menikmati hidup dan berbahagia, dan juga kesempatan untuk melihat kehidupan ini dari sisi kelucuannya.
Ada tiga jenis orang yang tidak mempunyai masalah dalam kehidupan ini, orang yang sudah mati, orang yang pikun, dan orang yang gila.
Effendi Tjiptadinata
Pak Tjipta yang sudah paripurna dalam mengarungi badai kehidupan memberi ‘wejangan’ kepada kami yang muda-muda ini (mau nya…) bahwa ada tiga jenis orang yang tidak mempunyai masalah dalam kehidupan ini, orang yang sudah mati, orang yang pikun, dan orang yang gila. Kelihatannya kami semua sepakat untuk memilih tetap punya masalah dalam hidup ini… Bagaimanapun juga, mentertawakan diri sendiri adalah salah satu cara sehat dalam menjalani kehidupan ini.
Sarapan dan ngobrol seru bersama di Cafe Elixir, Wanneroo – 21 Januari 2021
Yang saya kagumi dari Pak Tjipta dan Bu Roselina adalah ketulusan untuk berbagi dan perhatian pada sesama (caring). Beliau bisa bergaul dengan banyak kalangan dan lapisan masyarakat, dan dikenal luas khususnya di dunia praktisi Reiki. Satu yang tidak bisa saya lupakan adalah perhatian dari Pak Tjipta dan Bu Roselina kepada adik saya penyandang kanker di tahun 2018. Pada saat itu masih awal perkenalan kami, tapi tanpa keraguan beliau berdua menawarkan untuk membantu melakukan penyaluran energi jarak jauh untuk adik saya. Demikian juga, saat beliau berdua kebetulan berkunjung ke Jakarta, beliau berdua menyempatkan diri mampir dan bertemu adik saya untuk membantu yang mereka bisa. Meski saya tidaklah begitu mengerti tentang bio-energy ini, tapi saya menyakini bahwa ketulusan dan kepedulian (caring) adalah daya penyembuh.
Pak Tjipta and Bu Roselina sekarang sama-sama berumur 77 tahun. Bulan Januari 2021 ini adalah ulang tahun perkawinan yang ke 56 tahun. Suatu berkah yang disyukuri bisa menikmati kesehatan prima pada usia ini. Pemeriksaan kesehatan mereka terakhir masih sangat baik, sehingga Pak Tjipta masih diberi izin mengemudi. Batas umum usia untuk mengemudi di Australia adalah 75 tahun. Sekarang, kegiatan beliau berdua adalah berkumpul keluarga dan bertemu dengan orang-orang seperti pagi ini, jalan-jalan berdua dengan mobil Nissan SUVnya menikmati hidup. Beliau berdua sedang menunggu kelahiran cicit pertama.
Pak Tjiptadinata dan Bu Roselina, Selamat Ulang Tahun Perkawinan ke 56. Semoga senantiasa sehat dan bahagia…