Perenungan di Usia 55 Tahun

Semalam saya ‘dikerjain’ dengan satu acara kejutan ulang tahunku. Semula aku kira hanya makan malam keluarga bertiga dengan isteri dan putri kami di sebuah restoran Asia. Ternyata ada ‘persekongkolan’ antara istriku dengan berapa teman dekat tanpa sepengetahuanku. Saat kami sampai di restauran, ketika menuju ke meja, aku sekilas aku melihat salah satu teman di situ, dan saya pikir wah.. kebetulan sekali. Tapi saat aku menyapu pandangan ke sekelilingnya, aku dapati kok banyak yang dikenal. Untuk sesaat, aku masih agak bingung, hingga mereka mulai menyanyikan lagu ‘Happy Birthday‘.

Aku sempat terharu. Aku merasa sangat beruntung memiliki keluarga yang menyayangi dan banyak teman baik di sekelilingku. Saat ini, kami sangat beruntung bermukim di Australia yang relatif sangat aman terhadap pandemi Covid 19, khususnya di Perth, Australia Barat. Meski barusan ada lockdown, sekarang sudah dilonggarkan. Kami menikmati makan malam dan bercerita banyak.

Sementara di akhir-akhir ini di Indonesia, mungkin hampir semua kita menerima kabar dukacita dari orang-orang yang kita tahu atau yang dekat dengan kita, secara beruntun… Dulu kita dengar hanya sekedar dari berita – itu tidak banyak mempengaruhi emosi kita. Tapi sekarang, kemalangan ini lebih dekat dan terasa sangat nyata. Semoga semua ketidakberuntungan ini cepat berlalu. Pada akhirnya, inipun akan berlalu.

Di masa kecilku di Kampung Lumut yang bersahaja, ulang tahun bukanlah suatu yang lazim dirayakan dengan satu pesta. Yang ada hanyalah ibuku merebus beberapa telur di pagi hari untuk dibagikan bersama adik-adikku dan ditambah masakan yang lebih ‘mewah’ dari biasanya untuk makan malam keluarga. Masakan yang lebih ‘mewah’ itu biasanya dengan lauk ayam dari ternak sendiri. Tidak ada kue tar ataupun acara tiup lilin, apalagi mendapat kado ulang tahun. Kesederhanaan masa kecilku di kampung sedikit banyak terlukis dalam tulisan ini: https://letting-go.blog/2020/05/17/beberapa-sahabat-masa-kecilku/ dan https://letting-go.blog/2019/11/25/sekilas-masa-kecilku-di-kampung-pangkal-niur/)

Mungkin oleh karena itu, aku tidak pernah merasa merayakan ulang tahun itu suatu keharusan untuk dirayakan. Namun kehadiran teman-teman baik sangat berarti. Dan secara pribadi, hari ulang tahun mungkin adalah momen yang baik untuk sedikit merenung.

— 0 —

Sekarang aku sudah berusia 55 tahun. Dalam tradisi Tionghoa sudah dihitung berusia 56 tahun karena dihitung sejak dalam kandungan. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Usia ini mengingatkanku pada ayahku yang wafat di tahun 1994 pada usia yang sama dengan usiaku sekarang. Usia yang terasa masih ‘sangat’ muda. Aku mungkin bias karena aku berada diusia ini sekarang. Satu tahun sebelumnya di tahun 1993, adik laki-lakiku pada usianya yang 20 tahun pergi meninggalkan kami, saat aku baru menyelesaikan studi dan mulai bekerja di tahun kedua sebagai pekerja tambang di Kalimantan Timur. Sebagai upaya mendoakan mendiang ayah dan mendiang adikku, aku sempat menerjemahkan satu buku kecil ‘Why Religious Tolerance’ karya mendiang Dr. Sri K Dhammananda – seorang biarawan sekaligus cendekiawan Buddhis (https://letting-go.blog/2018/06/19/mengapa-umat-beragama-bertoleransi-why-religious-tolerance/).

Setelah aku menamatkan SMA di tahun 1985, sempat ada jeda 1 tahun sebelum melanjutkan ke perguruan tinggi untuk jurusan pendidikan Keguruan di bidang studi Matematika di Universitas Sriwijaya di Palembang, dan baru tahun berikutnya (1987) aku mengambil studi teknik pertambangan di universitas yang sama.

Profesi sebagai pekerja tambang membawa aku berkesempatan bekerja dan berkunjung ke banyak tempat di Indonesia, Laos, Australia, Amerika, dan Ghana, Afrika. Seperti lazimnya dunia pertambangan, lapangan pekerjaanku sebagian besar ada di daerah terpencil di tengah hutan jauh dari keramaian. Hampir seluruh pengalaman kerjaku di pertambangan emas dan tembaga, dan hanya ditahun-tahun awal bekerja di pertambangan batubara (https://letting-go.blog/2020/10/18/sekilas-siklus-tambang-emas/).

Di Indonesia sendiri penugasan pertamaku di Kalimantan Timur, kemudian di Sulawesi Utara, dan terakhir di Sumbawa sebelum mengambil kesempatan bekerja sebagai tenaga kerja asing selama 3 tahun di satu tambang emas dan tembaga di belantara Laos di dekat perbatasan dengan Vietnam yang terkenal dengan Jalur Ho Chi Minh (Ho Chi Minh Tail). Jalur Ho Chi Minh adalah rute pasokan militer yang membentang dari Vietnam Utara melalui Laos dan Kamboja ke Vietnam Selatan selama Perang Vietnam. Jalur ini dibombardir oleh Angkatan Udara Amerika dalam operasi militer rahasia pada kurun maktu tahun 1965 hingga 1972, yang meninggalkan banyak bom-bom yang tidak sempat meledak (UXO – unexploded ordinance) – yang harus dijinakkan dan dibersihkan dalam kegiatan penambangan.

Aku banyak melihat kehidupan masyarakat lingkar tambang yang sangat sederhana kalau tidak mau dikatakan miskin, dan bagaimana suatu industri pertambangan berkontribusi membuka keterpencilan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat setempat.

Setelah itu, aku berkesempatan bekerja di salah satu tambang emas terbesar di dunia di Australia Barat lebih dari 10 tahun sebelum menerima penugasan ke Ghana, Afrika selama 2 tahun. Di tengah kesibukan pekerjaan yang sangat padat, aku dan istri sempat mengunjungi beberapa tempat diantaranya adalah Museum Istana Manhyia (Manhyia Palace Museum) dan peninggalan kastil perbudakan di Elmina (https://letting-go.blog/2019/09/15/kastil-elmina-saksi-sejarah-kelam-perbudakan/).

Sayang, masa tinggal kami di Accra, ibukota Ghana hanya Sekitar setahun dan harus kembali ke Perth di akhir Mei 2020 dan bekerja dari rumah karena pandemi Covid 19.

Di akhir penugasan Afrika, aku mendapat kesempatan untuk memilih lanjutan penugasan di Perth atau mengambil pesangon – pilihan yang ditawarkan sebagai bagian dari penugasan expatriat. Dengan segala pertimbangan, aku memilih yang kedua di akhir Maret 2021. Aku merasa beruntung mendapatkan kesempatan ini diwaktu yang tepat.

Ini kali pertama mendapat kesempatan untuk berhenti bekerja saat ada di puncak karir setelah 29 tahun bekerja terus menerus dengan intensitas tinggi berkelana dari satu tambang ke tambang lain. Meski banyak pertimbangan dan perenungan dalam mengambil keputusan ini, aku tidak merasa terlalu sulit mengambil keputusan ini.

Keinginan mengambil jeda ini adalah untuk menurunkan intensitas kegiatan untuk beristirahat, meluangkan waktu melihat prioritas akan apa yang ingin dilakukan ke depannya, dan mengerjakan hal-hal yang ingin aku kerjakan tetapi tidak punya waktu untuk mengerjakannya. Baru-baru ini, bersama teman-teman, kami melakukan perayaan Peh Cun / Bachang festival yang meliputi pameran dan bazaar makanan di pagi dan siang hari, dan makan malam dengan pertunjukan budaya peranakan yang dihadiri oleh 200 tamu (https://www.facebook.com/media/set/?vanity=fiophotography&set=a.1670929403116501), kegiatan serupa kami selenggarakan untuk Imlek 2017 (https://www.facebook.com/media/set/?vanity=imlek15meh&set=a.1733798326931873 and https://www.facebook.com/media/set/?vanity=imlek15meh&set=a.1734000586911647).

Teman-teman sempat mengingatkan bahwa aku mungkin akan segera bosan atau mengalami ‘post-power syndrome‘ sejenis kehilangan semangat hidup atau jati-diri karena berperasaan bukan siapa-siapa lagi. Saya coba untuk menyadarinya, tapi terus-terang aku tidak merasa mengalami kedua hal ini. Aku malah khawatir akan terlalu menikmati ‘Do Nothing – tidak melakukan apa-apa’ ini.

Aku harus bilang bahwa aku gembira atas kenyataan bahwa aku tidak merasakan sindrom-sindrom yang lazim dialami oleh banyak orang saat tidak lagi bekerja atau kehilangan pekerjaannya. Aku beruntung punya kesempatan untuk memilih di waktu yang tepat pada kondisi yang cukup menguntungkan.

Aku rasa hal yang juga sangat membantu adalah mulai tumbuhnya kesadaran untuk melepas, merasa inipun sudah cukuplah, dan bahwa tidak merasa perlu untuk menjadi siapa-siapa lagi – I am nobody.

Masih terlalu dini untuk memastikannya, aku kemungkinan akan kembali ke dunia kerja, tetapi dengan dorongan dan harapan yang mungkin sangat berbeda.

Perth, 10 Juli 2021

Mining – a Part of My Life

Time is passing. Most of us might not even realize it. I would like to enjoy the time as much as I can, from moment to moment. My work has brought me a lot of colorful moments, not necessarily easy ones but I appreciate most of them as they are parts of my life.

As the time might be a continuous flow, I try to recall/capture the moments and put them here for me to remember before all the memories are fading away, for my family to appreciate what I have been doing in my profession, for my friends who are/were walking along with me in this path of life and for others who might benefit from it.

All things are changing constantly, nature, our body, and our mind. Nothing is permanent. Capturing the moment of the changing can be quite interesting and enjoyable.

Baci Ceremony
Blessed by Soutchai’s Grandmother in a Lao/Thai traditional Baci ceremony, in my farewell on 27 August 2006, Villaboully Village, Savannakhet, Lao PDR.

Perth, Western Australia

Posted in Facebook Note on 22 December 2008.

https://www.facebook.com/notes/lim-eka-setiawan/mining-a-part-of-my-life/40729959034/