Di sela kerja yang sangat sibuk, ada sedikit kesempatan di akhir minggu bersama istri mengunjungi kota kecil Elmina, di sebelah barat daya kota Accra, Ghana – untuk sekedar berlibur. Perjalanan darat 3.5 jam dari kota Accra.
Pertama, kami mengunjungi Kastil (istana) Elmina hari ini (14 September 2019). Kastil ini didirikan oleh Portugis pada tahun 1482 sebagai pos perdagangan pertama didirikan di Teluk Guinea yang kemudian menjadi salah satu persinggahan utama jalur perdagangan perbudakan Atlantik (Atlantic Slave Trading). Belanda merebut kastil ini dari Portugis di tahun 1637. Perdagangan perbudakan terus berlangsung oleh Belanda hingga tahun 1814. Di tahun 1872, kastil di ambil alih oleh Inggris. Gold Coast, yang sekarang menjadi Ghana memperoleh kemerdekaan dari Inggris di tahun 1957. Kastil Elmina ditetapkan sebagai situs sejarah dunia oleh UNESCO. – disadur dari Wikipedia.
Kami berkenalan dengan pemandu kami, Kojo. Dia pasti lahir hari Senin. Kamipun memperkenalkan diri dengan nama lokal kami sesuai dengan hari lahir. Di Ghana, nama orang sering disesuaikan dengan nama hari kelahiran. Saya bisa dipanggil Kwame karena lahir pada hari Sabtu.

Ditemani Kojo, kami mulai berjalan memasuki satu lapangan luas di dalam kastil yang di kelilingi oleh bagunan dua lantai. Lantai bawah adalah tempat dimana para budak pria dan wanita disekap. Budak-budak ini tidak hanya dari Ghana, tetapi dari berbagai tempat di Afrika. Elmina adalah kastil persinggahan menunggu pengapalan ke Amerika yang dilakukan 3 bulan sekali saat kapal pengangkut kembali dari pelayaran. Jadi rata-rata para budak tinggal 3 bulan di kastil ini.
Sedangkan lantai 2 adalah tempat tinggal penguasa kastil yang setingkat gubernur dari bangsa Eropah, pengurus kastil, pedagang budak, misionari (ada tempat ibadah di dalam kastil), dan tentara (kastil ini juga berfungsi sebagai benteng pertahanan yang dijaga oleh tentara),

Kami mengunjungi bangsal perempuan dulu. Ada sekitar 400 perempuan disekap di sini di 3 ruangan kosong yang pengap dengan lantai batu yang dingin. Ada perasaan keheningan yang aneh saat menelusuri ruangan kosong pengap ini, bahkan sebelum mendengar cerita dari Kojo.
Cerita Kojo mulai mengalir. Ruangan terbesar yang kami masuki memuat 150 orang yang sudah pasti harus tidur berdempetan di lantai. Tidak ada jamban, mereka harus menggunakan wadah kaleng untuk buang air di ruangan itu juga.

Dia juga menunjukkan tempat tangga naik ke lantai 2, dimana para perempuan yang dipilih harus merayap naik dari lorong sempit dan memanjat tangga sempit (mungkin untuk alasan keamanan) sampai kediaman diatas untuk memuaskan nafsu para penguasa dan diturunkan lagi setelah selesai. Kojo menggunakan kata ‘rape’, diperkosa.
Juga mengenai bagaimana budak perempuan ini dihukum di lapangan terbuka dengan diikatkan dengan besi pemberat ditengah lapangan harus berjemur matahari dan kehujanan tanpa makan.

Ada satu ruang sekap yang dijadikan tempat ‘retret’ bagi pengunjung yang ingin merasakan derita leluhur mereka pada masa itu, dimana mereka menghabiskan satu malam tidur dalam ruang sekap ini dalam kondisi yang mirip pada masa perbudakan. Mereka memakai sarung dari karung (tepung?) dan rantai besi yang mengikat tangan dan kaki mereka.
Saya tanya kenapa ada seperti karangan bunga. Kojo menjelaskan, itu adalah karangan bunga yang ditaruh oleh pengunjung untuk memberi penghormatan pada leluhur mereka.

Pada waktu pengapalan tiba, mereka digiring menuju lorong kecil yang pengap menuju kapal yang akan membawa mereka sebagai barang dagangan ke negara tujuan, yang sebagian besar dari mereka tidak pernah pulang kembali ke tanah kelahiran mereka sampai akhir hayat mereka.
Ada satu ruangan kecil sebelum mereka harus berjalan menuju ke kapal. Ada banyak karangan bunga yang diletakkan di sini, yang dilakukan oleh para keturunan mereka yang datang kembali dari jauh seperti Amerika, untuk mengenang derita leluhur mereka ratusan tahun silam. Sebagian mereka melakukan ritual kecil bahkan menurut keyakinan lokal mereka sebelum agama misionaris mereka kenal.
Ini pintu sempit terakhir sebelum mereka masuk ke kapal. Mereka namakan ini “Never Return Gate”, gerbang tak-akan-pernah kembali…

Banyak lagi kisah pilu yang kami dengar, tentang pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan dan perlakuan tak berprikemanusiaan lainnya.
Sementara, di lantai 2, kehidupan mewah para penguasa. Ruangan besar, pemandangan ke laut dengan hembusan udara sejuk semilir.
Mengunjungi musium seperti ini bukanlah ‘liburan’ seperti yang dibayangkan dan bukanlah pengalaman yang nyaman. Nanum, ada dorongan untuk melihat langsung saksi sejarah bagaimana di satu masa dalam perjalanan manusia, ada sekelompok manusia memperlakukan kelompok manusia yang lain dengan sedemikian tidak beradabnya. Dan sedihnya, sejarah terus berulang hingga kini, dan kita tidak pernah belajar.
Saya tanyakan kepada Kojo bagaimana perasaan dia. Dia cenderung mengganggap semuanya sudah berlalu. Bagi saya, dengan derita yang leluhur mereka alami, mereka sangat berbesar hati menerima semua ini. Saya juga menambahkan bahwa hikmah dari semua ini adalah sekarang orang Afrika sudah menyebar keseluruh dunia. Tapi saya tidak yakin kalau ini sepadan dengan derita yang mereka alami.
Namun saya dapat merasakan ada sikap skeptis saat dia menghubungkan misi misonaris pada masa perbudakan dengan derita yang mereka alami akibat perbudakan.
Dilantai 2, satu ayat tentang indahnya kediaman surgawi terpajang diatas pintu ruang ibadah. Ato Ashun, penulis buku Elmina, Kastil dan Perdagangan Perbudakan menulis dalam bukunya (hal. 56): “Ironisnya, tepat dibawah ruang ibadah adalah ruang sekap budak perempuan”.
Saya yang tidak punya hubungan emosi dengan mereka hanya bisa membayangkan kulit luar dari penderitaan mereka. Sulit dibayangkan derita dan ketidak-berdayaan yang mereka alami pada saat itu.
Batin manusia punya kemampuan untuk bertransformasi dan merasionalkan derita dan melepas (letting go) pada saat menghadapi derita yang dalam, baik lewat pembenaran religius maupun pencerahan batin. Mereka biasanya menjadi manusia yang lebih baik. Tanpa itu, penderitaan itu akan menjadi tak terperi…
Saya melihat masyarakat Ghana sangat religius, sekitar 70% kristen dan 30% muslim, tempat ibadah dimana-mana, sangat banyak para pengkotbah populer. Saya dibagikan buku kegiatan ibadah mereka oleh teman kantor. Namun saya juga dengan mudah menemukan beberapa teman Afrika yang ‘free thinker’.
Kebebasan beragama dijamin dengan baik. Salah satu teman kantor orang Afrika malah penganut Nichiren Shoshu yang katanya Buddhisme Jepang. Saya pernah berkunjung ke tempat ibadahnya. Saya cukup heran karena pengikutnya cukup banyak dan sudah berdiri 40 tahun yang lalu. Pendetanya dari Jepang. Baru-baru ini teman saya tadi memberitahu sekarang ada pendetanya yang dari Indonesia ditugaskan di Ghana ini.
Saat berjalam keluar gerbang, ada satu plakat di dinding berisi doa dan renungan:
Terpatri dalam ingatan selamanya
akan nestapa leluhur kami
semoga mereka yang meninggal, beristirahat dalam damai
semoga mereka yang kembali, menemukan akar mereka
semoga manusia tidak pernah lagi melakukan ketidak-adilan yang sedemikian terhadap kemanusiaan
kami, adalah janji yang akan tetap hidup untuk memperjuangkan ini
Elmina Castle, Ghana


-
Dinding ruang kumuh dengan banyak kelelawar diatasnya

Keren tulisannya pak, saya menikmati membacanya … semoga pak Lim bisa ketemu waktu luang untuk menulis artikel lagi …
LikeLiked by 1 person
Terima kasih banyak Pretty sudah mampir dan baca. Saya akan coba.
LikeLike
wah… saya baru tahu tentang ini Pak Eka, ketika ikut acara webinar dengan Pertiwi – Minggu 19 Juli 2020, terima kasih infonya Pak Eka
LikeLiked by 1 person
Terima kasih banyak Pak Hengky sudi baca. Sesi yang bagus dari Pertiwi.
LikeLike