Persahabatan yang terjalin di masa kecil tidak pernah hilang. Kami menjalani masa kecil dan awal remaja di kampung Lumut yang sangat sederhana, meninggalkan banyak kenangan bersama. Saat beranjak remaja, kami berpisah satu-satu meninggalkan kampung halaman merantau keluar pulau Bangka untuk menempuh jalan hidup masing-masing. Masa itu sekitar tahun 80-an. Aku yang yang paling terakhir meninggalkan kampung setelah menyelesaikan sekolah lanjutan hingga SMA di Belinyu. Aku meninggalkan kampung di akhir tahun 1985 untuk meneruskan pendidikan di Palembang.

Kami masih saling berkiriman surat pada masa-masa itu. Setelah masing-masing dengan kesibukan dan kehidupan sendiri-sendiri, kami sudah jarang sekali berhubungan kecuali saat bertemu kembali saat pulang kampung bersama. Namum persahabatan kami tidak pernah terputus. Begitu bertemu kembali (atau berhubungan lewat telpon), keceriaan, perhatian, dan kehangatan persahabatan selalu ada disana. Kita tidak pernah mempermasalahkan kenapa si Anu tidak pernah menghubungi sekian lama.
Bagiku persahabatan sejati memang seharusnya tidak mengikat tapi membebaskan; hanya ada ketulusan, perhatian dan saling memahami.
Tentu aku punya banyak kawan baik sekampung lainnya yang telah memberi warna dalam kehidupanku, hanya saja kali ini aku ingin bercerita sebatas tentang kawan yang satu ‘gang’, Ajau, Akwet, Achion, Akiu, dan Akong. Kami bersahabat di waktu kecil, dengan karakter unik masing-masing, melakukan banyak hal bersama, dan langgeng sampai saat ini meski jarang sekali bertemu.
Di tahun 2015 kami sempat berkumpul meski tidak lengkap, saat pulang bersama di Tahun Baru Imlek. Sekarang, peluang itu sudah tidak memungkinkan, paling tidak untuk beberapa waktu sampai pandemik COVID-19 berlalu. Ini malah memberi kesempatan bagi kami untuk ngobrol lewat video call lewat applikasi seperti Whatsapp.

Kami coba untuk kali pertama beberapa minggu yang lalu, dan hari ini untuk kedua kalinya. Banyak sekali yang kami obrolkan, kali ini panjang obrolan kami hingga 3 jam, aku di siang hari dan mereka di malam hari karena perbedaan waktu 7 jam. Kami coba merajut ingatan kolektif kami tentang masa-masa kecil, kejadian unik dan lucu, tempat dan waktu yang kami lewati bersama, dan mendengarkan beberapa lagu lama yang membantu kami mengenang masa-masa lalu. Terasa sekali banyak potongan ingatan yang tercecer setelah kurun waktu lebih dari 30 hingga 40 tahun berlalu.
Tentu kami ngobrol dalam bahasa Khek (Hakka) Bangka, bahasa ibu kami di kampung, yang sering kali diujarkan dengan nada keras, kadang seperti orang bertengkar kalau tidak biasa mendengarnya, tapi seru. Meski jarang sekali dipakai, aku tidak pernah lupa bahasa ibuku. Aku masih cukup lancar dan bahkan mungkin lebih terjaga keasliannya karena tidak banyak terbaur dengan bahasa lain. Ada beberapa perbendaharaan kata yang aku gunakan tidak lagi begitu lazim dipakai, tapi sudah disisipi dengan kosa kata Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu. Yang aku kurang mahir adalah perbendaharaan umpatan-umpatan yang kadang sering dipakai kalau ngobrol di antara kawan-kawan. Agak risih juga mendengarnya, kadang menggelikan dan menghibur …
Cerita mengalir mulai dari mandi di kolong bekas tambang, tempat-tempat berkumpul kami, sokongan beli gula, kopi dan makanan saat kumpul, bikin pondok di atas pohon, memancing, berburu, nonton di misbar, juga termasuk kenakalan-kenakalan kami yang kadang di luar batas, seperti mencuri di kebun orang, dan merokok. Tentu, juga bercerita tentang perjalanan hidup yang sarat dengan perjuangan, jatuh bangun, dan upaya menerima dan mulai melepas. Mengingat usia, tak jarang diselipi obrolan tentang bagaimana tip masing-masing menjaga kesehatan, sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiran waktu kami kecil dulu.
Dari semua kawan-kawan, hanya aku yang belum banyak tergantung dengan kacamata. Semuanya sudah tidak bisa membaca dari layar HP tanpa kacamata. Itupun dengan sedikit bersusah payah menjauh dekatkan obyek agar mendapat fokus pengelihatan yang tepat. Tapi, aku yang paling gemuk, kata mereka aku kegemukan. Dulu aku paling ceking. Harus dikurusin, biar lebih sehat. Semua ini menjadi bahan tertawaan kami. Bagaimanapun juga, harus diakui menertawakan diri sendiri adalah salah satu cara hidup lebih sehat. Jauh lebih baik daripada menertawakan orang lain.
Kami sempat coba mengingat siapa orang-orang di kampung dulu yang seumuran kami sekarang waktu kami remaja. Beberapa orang yang kami sebut memang rasanya sudah tua dalam ingatan remaja kami. Jadi seumuran kami sekarang ini, harusnya sudah cukup berumur. Ini menjadi cara melihat realita sebagai bentuk dari mawas diri kami. Mudah-mudah kami semua bisa menua dengan bahagia tanpa harus mengingkari kenyataan.
Kami sebenarnya masing-masing punya karakter yang sangat berbeda dan unik. Pun sebenarnya kami tidak semuanya sekelas waktu sekolah. Jenjang pendidikan formal kamipun berbeda-beda, dari pendidikan formal SD, SMP, dan hanya aku yang menempuh pendidikan formal lanjutan. Ada diantara kami yang hanya sempat mengenal literasi dasar baca tulis karena harus putus sekolah dari SD karena ekonomi keluarga pada masa itu.
Yang aku ingat, kami tidak pernah memaksakan agar kami sama atau menyukai hal yang sama. Barangkali ini yang membuat persahabatan ini mengalir dan langgeng. Aku tidak pernah menyukai memancing atau berburu binatang, tapi aku bisa mendengar cerita keasyikan mereka belapun (berburu babi hutan). Bagi beberapa kawan, menulis dan membaca (termasuk membaca tulisan ini) mungkin merupakan hukuman.

Ajau (Bong Cin Jau) punya karakter penuh perhatian, cermat dalam mengambil keputusan, pekerja keras, sangat setia kawan, dan paling punya jiwa seni diantara kami, dia bisa main gitar. Rumah Ajau di Jaseha (ada 5 atau 6 bagian kampung punya nama masing-masing) menjadi salah satu pos kumpul kami. Aku masih sering bertemu Ajau setelah merantau karena sama-sama di Palembang, sebelum aku merantau lebih jauh setelah selesai sekolah. Ajau ikut bekerja ditempat pamannya di industri rumah tangga pembuatan kerupuk dan roti kacang (theusa piang) lebih dari sepuluh tahun sebelum kemudian membuat usaha sendiri sampai sekarang. Setiap kali aku pulang ke Palembang, aku menyempatkan untuk bertemu dengan Ajau dan keluarganya. Kami bisa bercerita berjam-jam. Saat memperdengarkan lagu-lagu kecil kami, Ajau bisa mengingat dan menceritakan kembali dengan terperinci masa dan tempat kenangan lagu itu membawa kami. Ajau antusias saat aku ajak dia menghubungi kawan-kawan kami yang lain.
Akwet (Tham Kian Kwet) paling jangkung diantara kami, sering di panggil Kolo Kwet (si jangkung) di kampung. Di kampung orang sering dikasih nama lain berhubungan dengan fisik, karakter atau bisa apa aja. Akwet memilih kembali ke kampung setelah merantau sekian lama di Lampung dan Jakarta, berkeluarga dan membantu usaha orang-tuanya, dan merawat mereka di hari tua mereka. Akwet yang aku kenal adalah seorang penyabar, menjadi pengingat dan penyeimbang saat kelakuan kami yang kadang nakal di luar batas. Setiap mudik, aku selalu mencari Akwet untuk bercerita disela kesibukan dia dengan keluarga dan usahanya. Akwet sempat menemani aku jalan-jalan ke kampung Pangkal Niur di tahun 2015 mencari teman-teman kecilku waktu tinggal disana.
Achion (Tham Khin Chion) masih sepupuan dengan Akwet, berkarakter keras dan tegas. Nama kecilnya (nickname) Phulu Chion (tempat air bentuk labu yang sering terlihat di filim silat klasik). Entah bagaimana dia bisa dapat nama ini. Achion boleh dibilang adalah kepala ‘gang’ kami. Kini dia bekerja dan bersama keluarga tinggal di Bekasi. Sama dengan Ajau, Achion sempat merantau di Palembang di tahun 80-an bekerja di tempat paman Ajau di industri rumah tangga pembuatan kerupuk. Achion datang ke resepsi pernikahanku di Palembang di tahun 1995 saat dia sudah di Jakarta. Aku sempat mencari dia di rumahnya di Bekasi sekitar tahun 2010-an. Terakhir ketemu di 2015 di Bangka.
Akiu atau Fo Kiu, (Jong Kiu Su) seorang yang flamboyan, boleh dibilang Don Juan-nya kampung Lumut, melengkapi ‘kedigdayaan’ gang kami di kampung. Akiu sekelas waktu di kelas 6 SD. Akiu yang paling duluan merantau diantara kami, saya lupa tahun berapa, tapi mungkin sekitar tahun1981. Seingat aku, dia bekerja perusahaan pembuatan tas di waktu awal merantau di Jakarta. Di awal-awal merantau, Akiu masih sering mudik waktu hari raya seperti Imlek. Kami semua berkumpul dan jalan-jalan ala pemuda kampung waktu itu. Akiu pernah mengalami satu kecelakaan motor di tikungan tajam Batu Tunu, Belinyu, sekitar tahun 1983-an, Sekarang tinggal di Depok bersama keluarga. Sudah 15 tahun lebih kami tidak pernah bertemu.
Akong (Cong Sun Kong) seorang yang periang, punya banyak ide dan pintar melucu, suka meniru tingkah laku orang lain untuk candaan. Nicknamenya Bu Kong (si hitam), nggak hitam-hitam amat sih. Akong juga memilih pulang kampung setelah sekian lama merantau di Jakarta, berkeluarga dan merawat orangtua hingga akhir hayat mereka. Setiap mudik aku selalu mencari dia dan Akwet untuk bercerita.
Bagaimana kesan mereka tentang aku? Entahlah. Itu tidaklah penting. Oh ya, dulu saya pernah dipangil dengan Botak Hung (si Botak). Aku sendiri nggak tahu atau ingat kenapa dipanggil si botak, tidak pernah ingat kalau pernah botak pada waktu kecil. Rambut akupun lebat sampai sekarang, hanya mulai memutih. Sejauh ini, hanya pernah botak sekali di kemudian hari saat menjalani pelatihan pabbajja samanera (novice monk) di tahun 1991 di Kotabumi.

Masing-masing kami menjalani kehidupan dengan semua liku-liku kehidupannya. Seperti hakekat semua hal, tidak ada yang tetap, semuanya berubah. Persahabatan inipun tidak selamanya mulus, ada kerenggangan di satu masa karena masalah pribadi. Namun terakhir mencair dan kembali membaik. Ada kebesaran hati disana, untuk menerima dan melepas. Aku sendiri kagum dengan kebesaran hati yang ditunjukkan, sungguh tidak ringan. Rasanya kami sudah cukup berumur untuk memahami banyak pelajaran dari kehidupan, dan terus belajar darinya.
Kami tidak pernah saling membandingkan ‘pencapaian atau keberhasilan’ masing-masing. Semua punya perjalanan unik masing-masing yang tidak bisa saling diperbandingkan. Kami masih tetap bersahabat setelah sekian puluh tahun, dengan cara unik kami. Bagiku persahabatan sejati memang seharusnya tidak mengikat tapi membebaskan; hanya ada ketulusan, perhatian dan saling memahami.
Setiap kali bercerita, selalu ada kerinduan akan kampung halaman dan keinginan untuk suatu saat berkumpul di kampung.
Accra, Ghana, Afrika Barat – Bekasi – Depok – Lumut
17 May 2020
One thought on “Beberapa Sahabat Masa Kecilku”