Kearifan dari Masa Silam

Terakhir ini ada fenomena unik tentang biarawan Buddhist (bhikkhu) yang melakukan jalan kaki dari Thailand hingga Indonesia menempuh lebih dari 2.000 km ke Candi Borobudur untuk mengenapkan perayaan Waisak.

Laku spiritual Thudong ini sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu, diyakini sejak Abad 3 SM pada masa Kerajaan Raja Asoka di India – yang dikenal sangat toleran dan anti-kekerasan. Bhikkhu-bhikkhu Thudong ini bertekat melakukan latihan keras (Bahasa Pali: Dhutanga) lewat mengembara, bertapa, menyendiri, dan meditatisi untuk mencari pemahaman lebih dalam tentang ajaran Buddha. 

Ada 13 aturan laku pertapaan yang harus mereka patuhi – dengan bekal hanya jubah, kaos dan sandal. Mereka melakukan pertapaan dan pengembaraan di hutan-hutan untuk membersihkan kekotoran batin mereka (diantaranya keterikatan duniawi, kemarahan, kebodohan/ignorance) dan mengatasi rasa takut akan binatang buas, sakit, cidera fisik, dan mahluk tak-tampak di hutan.

Mereka hanya makan 1 kali sehari sebelum jam 12, dari pemberian orang sepanjang perjalanan. Yang juga unik, mereka tidur tidak merebah tapi duduk, sadar setiap saat hingga terlelap. Mereka juga bermalam di kuburan untuk membantu perenungan ketidak-kekalan. Konon ada yang bisa hidup berdampingan dengan binatang buas seperti harimau atau ular cobra selama perjalanan mereka. Itu diyakini sebagai kekuatan tekat dan kemampuan mereka memancarkan cinta kasih tak-berbatas kepada semua mahluk, sehingga binatang buas ini merasa nyaman dan tidak melihat mereka sebagai mangsa.

Dari perspektif ini, jalan kaki ribuan kilometer tentu sangat melelahkan apalagi ada diantara mereka yang cukup berumur, tapi mungkin tingkat kesulitannya tidak setinggi kalau di hutan belantara.  Mungkin juga karena keseimbangan batin lewat latihan meditasi menyisakan banyak energi.

Luar biasa sekali sambutan dan penerimaan dari masyarakat umum yang mayoritas saudara-saudara Muslim dan dari ormas-ormas Islam. Meski mereka tidak menharapkan sanjungan, sambutan hangat dan tulus, juga dukungan dari masyarakan tetap menyemangati dan mengharukan mereka.

Dari pemberitaan di media mainstream dan media sosial, seakan ini suatu fenomena yang dirindukan, tentang nilai tepo seliro dan ikut berbahagia dengan dengan kebahagiaan orang lain – yang seakan sudah memudar sekarang ini. Banyak yang terharu dan melihat sikap spontanitas masyarakat yang begitu ramah dan membantu adalah pancaran nilai kearifan lokal dan budi luhur yang terus terjaga.

Mungkin penampilan para bhikkhu yang unik dan bersahaja dalam laku spiritual menghubungkan mereka dengan gambaran nilai-nilai spiritual dari masa silam yang masih mengakar dalam sanubari mereka – peradaban besar masa silam yang meninggalkan situs-situs dan karya adiluhung seperti Prambanan, Borobudur, Mendut, dll., dan juga tutur Kisah Mahabharata yang semuanya bersinkretis menjadi khas nilai kearifan Nusantara.

Di masa silan, ada Mpu Tantular, seorang penyair buddhis yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit di Abad 14, menuliskan satu untaian kata indah penuh kasih dan tolerasi dalam syair/kekawin Sutasoma, Bhinneka Tunggal Ika – Satu Dalam Keberagaman – semboyan yang diusulkan oleh Mohammad Yamin untuk menjadi pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk ini.

Melihat semua ini, harapan untuk Indonesia yang lebih toleran terhadap keberagaman dan kehidupan yang lebih damai semakin besar. Semoga🙏

Selamat Trisuci Waisak 2567.

Semoga berkah kedamaian dan kebahagian melimpah kepada semua 🙏🙏🙏

Perth, 02 June 2023

Beberapa tautan berita perjalanan mereka.

The Way to Love – Anthony de Mello

Meski sering mendengar namanya sejak lama, baru kali ini saya membaca buku terakhirnya, The Way to Love. Saya beli buku elektroniknya di akhir Desember 2021. Ini berkat anjuran teman dekat saya yang sama-sama meminati hal-hal yang berkaitan dengan pengenalan ke dalam diri. Teman saya ini, yang seorang Katolik, pengagum berat Anthony de Mello.

Anthony de Mello adalah seorang pastor Katolik dari Ordo Jesuit (Society of Jesus – Societas Iesu – SJ) yang cukup kontroversial dengan pandangan dan ajarannya di kalangan umat Katolik sendiri. Kelihatannya pendangan spiritual beliau sangat dipengaruhi spiritualitas ketimuran tempat beliau berasal, yaitu India – spiritualitas yang berakar pada kebenaran universal.

Saya belum baca habis bukunya. Lebih tepatnya, saya baru baca dua tulisannya, yaitu tulisan pertama: Laba Rugi; dan yang terakhir: Bersiaplah. Dan saya terjemahkan keduanya disini.

Kedua-dua tulisannya sangat mencerahkan, dan saya tidak bisa membayangkan kedalaman batin penulisnya, mungkin sudah tidak berdasar…

Karena saya membaca berulang-ulang kedua tulisan ini, makanya saya belum juga selesai membaca bukunya 🙂

Laba Rugi, tentang secuil pengalaman spiritual akan kebahagiaan yang sederhana dan hakiki yang bersumber dari pelepasan akan kemelekatan pada keinginan duniawi yang sering mengombang-ambingkan kita. Anthony dapat menyampaikannya dengan perbandingan yang begitu sederhana dan lugas.

Bersiaplah, tentang pengalaman kekudusan atau kesucian ‘puncak’ yang telah mengatasi dualisme dan telah berakhirnya keinginan…

Cukup bagi anda untuk terjaga dan sadar. Karena dalam keadaan ini matamu akan melihat Juru Selamat. Tidak ada yang lain, benar-benar tidak ada yang lain sama sekali. Bukan rasa aman, bukan cinta, bukan rasa memiliki, bukan keindahan, bukan kekuatan, bukan kekudusan—tidak ada lagi yang penting.

Anthony de Mello

Saya merasa paparan tentang keutamaan pengembangan kesadaran di tulisan terakhir (Bersiaplah) Anthony de Mello sangat mendekati pemahaman di ajaran yang saya kenal. Seorang biarawan Buddhis sepuh, Bhante Sri Pannavaro Mahathera menjelaskan keutamaan kesadaran dan latihannya dalam bahasa yang sangat mudah dimengerti dan mencerahkan, dalam wawancaranya dengan Sujiwo Tejo (tautan diakhir tulisan ini).

Apa saja yang muncul pada pikiran, kita sadari. Tujuannya supaya suatu saat yang ada hanya kesadaran murni, yang tidak dikotori oleh perasaan suka, duka, pikiran baik atau buruk, hanya just being aware, hanya just sadar. Saat kesadaran murni terjadi kita bebas dari penderitaan.

Bhante Sri Pannavaro Mahathera

Beliau menambahkan:

Dan itu bisa dicapai oleh siapa saja, tidak harus jadi bhikkhu, tidak harus menjadi umat Buddha, tidak ada mantra yang diperlukan, tidak ada ritual yang diperlukan, tidak ada dupa yang perlu dibakar, tidak ada sesajen yang dipersiapkan. Kuncinya adalah hadirkan kesadaran anda untuk menyadari aktifitas fisik dan aktifitas mental.

— 0 —

LABA RUGI

Anthony de Mello, SJ, The Way to Love.

Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan jiwanya? – Matius 16:26

Coba ingat jenis perasaan yang anda rasakan ketika seseorang memuji anda, ketika anda disetujui, diterima, dan dipuji. Dan bandingkan itu dengan jenis perasaan yang muncul di dalam diri anda ketika anda melihat matahari terbenam atau matahari terbit atau fenomena alam pada umumnya, atau ketika anda membaca buku atau menonton film yang benar-benar anda nikmati. Dapatkan rasa dari perasaan ini dan bandingkan dengan yang pertama, yaitu perasaan yang muncul di dalam diri anda ketika anda dipuji. Pahamilah bahwa jenis perasaan pertama berasal dari pemuliaan diri, promosi diri. Ini adalah perasaan duniawi. Yang kedua datang dari kelimpahan diri, perasaan dalam jiwa.

Ini ada kontras lainnya: Ingat jenis perasaan yang anda miliki ketika anda berhasil, ketika anda selesai mengerjakan sesuatu, ketika anda mencapai puncak, ketika anda memenangkan permainan atau taruhan atau perdebatan. Dan bandingkan dengan jenis perasaan yang anda dapatkan ketika anda benar-benar menikmati pekerjaan yang anda lakukan, anda menikmati tindakan yang anda lakukan saat ini. Dan sekali lagi perhatikan perbedaan kualitatif antara perasaan duniawi dan perasaan jiwa.

Kontras lainnya: Ingat apa yang anda rasakan ketika anda memiliki kekuasaan, anda adalah bos, orang-orang memandang anda, menerima perintah dari anda; atau ketika anda terkenal. Dan bandingkan perasaan duniawi itu dengan perasaan keintiman, persahabatan—saat-saat anda benar-benar menikmati diri sendiri bersama teman atau dengan kelompok di mana ada keceriaan dan canda.

Setelah melakukan ini, cobalah untuk memahami sifat sebenarnya dari perasaan duniawi, yaitu, perasaan promosi diri, pemuliaan diri. Mereka tidak alami, mereka diciptakan oleh masyarakat dan budaya anda untuk membuat anda produktif dan membuat anda terkendali. Perasaan ini tidak menghasilkan kekayaan batin dan kebahagiaan yang dihasilkan ketika seseorang merenungkan alam atau menikmati kebersamaan dengan teman atau pekerjaannya. Mereka dimaksudkan untuk menghasilkan sensasi, kesenangan —dan kekosongan.

Kemudian amati diri anda dalam satu hari atau seminggu dan pikirkan berapa banyak tindakan anda yang dilakukan, berapa banyak aktivitas yang dilakukan yang tidak terkontaminasi oleh keinginan untuk sensasi ini, kesenangan yang hanya menghasilkan kekosongan, keinginan untuk perhatian, persetujuan , ketenaran, popularitas, kesuksesan atau kekuasaan. Dan lihatlah orang-orang di sekitar anda. Apakah ada satu pun dari mereka yang tidak kecanduan perasaan duniawi ini? Satu orang yang tidak dikendalikan dan lapar akan sensasi ini, menghabiskan setiap menit hidupnya secara sadar atau tidak sadar mencari sensasi ini? Ketika anda melihat ini, anda akan memahami bagaimana orang berusaha untuk mendapatkan dunia dan, dalam prosesnya, kehilangan jiwa mereka. Karena mereka menjalani hidup yang kosong dan tanpa jiwa.

Dan ini ada perumpamaan hidup untuk anda renungkan: Sekelompok wisatawan duduk di dalam bis yang melewati negara yang sangat indah; danau dan gunung dan ladang hijau dan sungai. Tapi tabir jendela bis ditarik ke bawah. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang ada di balik jendela bis.

Dan sepanjang perjalanan mereka menghabiskan waktu untuk bertengkar tentang siapa yang akan mendapat kursi kehormatan di bis, siapa yang akan diberi tepuk tangan, siapa yang akan dipertimbangkan dengan baik. Dan mereka tetap seperti itu sampai akhir perjalanan.

— 0 —

BERSIAPLAH

Anthony de Mello, SJ, The Way to Love.

Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga – Matius 24:44

Cepat atau lambat muncul dalam hati setiap manusia kerinduan akan kekudusan, kerohanian, Tuhan, sebut saja sesukamu. Seseorang mendengar para rohaniawan berbicara tentang keilahian yang dapat kita raih, yang akan membuat hidup kita bermakna dan indah dan kaya, kalau saja kita dapat menemukannya. Orang-orang memiliki semacam gagasan yang kabur tentang apakah ini dan mereka membaca buku dan berkonsultasi dengan guru, dalam upaya untuk mencari tahu apa yang mereka harus lakukan untuk mendapatkan hal yang sulit dipahami ini yang disebut Kekudusan atau Spiritualitas. Mereka mengambil segala macam metode, tata-cara, latihan spiritual, rumusan; kemudian setelah bertahun-tahun berusaha tanpa hasil, mereka menjadi putus asa dan bingung dan bertanya-tanya apa yang salah. Kebanyakan mereka menyalahkan diri mereka sendiri. Jika saja mereka berlatih tata-cara mereka lebih teratur, jika saja mereka lebih bersemangat atau lebih murah hati, mereka mungkin akan berhasil. Tapi keberhasilan apa? Mereka tidak memiliki gagasan yang jelas tentang apa sebenarnya kekudusan yang mereka cari ini, tetapi mereka tahu bahwa hidup mereka masih berantakan, mereka masih cemas dan merasa tidak aman dan takut, benci dan sulit mengampuni, menggenggam dan ambisius serta memperdaya orang lain. Jadi sekali lagi mereka memaksakan diri mereka dengan segenap kekuatan ke dalam usaha dan kerja yang mereka pikir dibutuhkan untuk mencapai tujuan mereka. 

Mereka tidak pernah berhenti sejenak untuk mempertimbangkan kenyataan sederhana ini: Usaha mereka tidak akan membawa apa-apa. Usaha mereka hanya akan memperburuk keadaan, karena keadaan menjadi lebih buruk ketika anda menggunakan api untuk memadamkan api. Usaha tidak mengarah pada pertumbuhan; usaha, apapun bentuknya, apakah itu kemauan keras atau kebiasaan atau tata-cara atau latihan spiritual, tidak membawa perubahan. Paling-paling itu menjurus pada pemaksaan dan penutup dari akar permasalahan.

Usaha dapat mengubah perilaku tetapi tidak mengubah orang tersebut. Coba pikirkan saja mentalitas seperti apa yang dikhianati ketika anda bertanya, “Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kekudusan?” Bukankah seperti bertanya, Berapa banyak uang yang harus saya keluarkan untuk membeli sesuatu? Pengorbanan apa yang harus saya lakukan? Disiplin apa yang harus saya lakukan? Meditasi apa yang harus saya kerjakan untuk mendapatkannya? Pikirkan seorang pria yang ingin memenangkan cinta seorang wanita dan berusaha untuk meningkatkan penampilannya atau membangun tubuhnya atau mengubah perilakunya dan berlatih teknik untuk memikatnya. 

Anda benar-benar memenangkan cinta orang lain bukan dengan berlatih teknik tetapi dengan menjadi diri sendiri. Dan itu tidak pernah bisa dicapai melalui usaha dan tata-cara. Demikian pula dengan Spiritualitas dan Kekudusan. Bukan apa yang anda lakukan yang membawanya kepada anda. Ini bukan barang yang bisa dibeli atau hadiah yang bisa dimenangkan. Yang penting adalah siapa anda, menjadi apa anda.

Kekudusan bukanlah pencapaian, itu adalah Rahmah. Rahmat yang disebut Kesadaran, rahmat yang disebut Melihat, Mengamati, Memahami. Hanya ketika anda menyalakan lampu kesadaran dan mengamati diri sendiri dan segala sesuatu di sekitar anda sepanjang hari, hanya ketika anda melihat diri anda terpantul dalam cermin kesadaran seperti anda melihat wajah anda tercermin dalam kaca, secara akurat, jelas, persis seperti apa adanya tanpa pengaburan atau penambahan sedikit pun, dan ketika anda mengamati pantulan ini tanpa penilaian atau penghukuman, anda akan mengalami segala macam perubahan luar biasa yang terjadi di dalam diri anda. Hanya ketika anda tidak mengendalikan perubahan tersebut, atau merencanakannya sebelumnya, atau memutuskan bagaimana dan kapan perubahan itu akan dilakukan. Hanya kesadaran yang tidak menghakimi inilah yang menyembuhkan dan mengubah serta membuat seseorang tumbuh. Namun dengan caranya sendiri dan pada waktunya sendiri.

Apa yang secara khusus harus Anda sadari? Reaksi anda dan hubungan anda. Setiap kali anda berada di hadapan seseorang, siapapun itu, atau dengan Alam atau dengan situasi tertentu, anda memiliki berbagai macam reaksi, positif dan negatif. Pelajari reaksi-reaksi itu, amati apa sebenarnya reaksi itu dan dari mana asalnya, tanpa menggurui atau rasa bersalah atau bahkan keinginan apa pun, apalagi usaha untuk mengubahnya. Hanya itu yang dibutuhkan seseorang agar kekudusan muncul. 

Tapi bukankah kesadaran itu sendiri adalah sebuah usaha? Tidak, jika anda pernah mencicipinya sekali saja. Karena dengan begitu anda akan memahami bahwa kesadaran adalah suatu kegembiraan, kegembiraan seorang anak kecil yang bergerak dengan takjub untuk menemukan dunia. Bahkan ketika kesadaran mengungkap hal-hal yang tidak menyenangkan dalam diri anda, itu tetap selalu membawa pembebasan dan kegembiraan. Kemudian Anda akan tahu bahwa hidup yang tanpa berkesadaran tidak layak untuk dijalani, terlalu penuh dengan kegelapan dan rasa sakit. 

Jika pada awalnya ada kelesuan dalam melatih kesadaran, jangan memaksakan diri. Itu akan menjadi usaha lagi. Sadarilah kelesuan anda dengan tanpa penghakiman atau penghukuman. Anda kemudian akan memahami bahwa kesadaran melibatkan usaha sebanyak yang dilakukan seorang pergi menemui kekasihnya, atau seseorang yang lapar memakan makanannya, atau seorang pendaki gunung mencapai puncak gunung yang didambakannya; begitu banyak tenaga yang dikeluarkan, bahkan begitu banyak kesulitan, tapi itu bukan usaha, itu adalah kegiatan yang menyenangkan! Dengan kata lain, kesadaran adalah kegiatan tanpa usaha.

Akankah kesadaran membawakan anda kekudusan yang anda dambakan? Bisa iya dan bisa tidak. Kenyatannya adalah anda tidak akan pernah tahu. Untuk kekudusan sejati, yang tidak dicapai melalui cara dan usaha dan pemaksaan; kekudusan sejati sepenuhnya tak-berkesadaran-diri. Anda tidak akan menyadari tentang keberadaannya di dalam diri anda. Selain itu anda tidak akan peduli, bahkan ambisi untuk menjadi kudus pun akan turun seiring anda menjalani hidup dari waktu ke waktu, hidup menjadi penuh dan bahagia dan tampak jelas melalui kesadaran. Cukup bagi anda untuk terjaga dan sadar. Karena dalam keadaan ini matamu akan melihat Juru Selamat. Tidak ada yang lain, benar-benar tidak ada yang lain sama sekali. Bukan rasa aman, bukan cinta, bukan rasa memiliki, bukan keindahan, bukan kekuatan, bukan kekudusan—tidak ada lagi yang penting.

— 0 —

Keutamaan pengembangan kesadaran di tulisan terakhir diatas sangat mendekati pemahaman di ajaran yang saya kenal. Seorang biarawan Buddhis sepuh, Bhante Pannavaro menjelaskan keutamaan kesadaran dan latihannya dalam bahasa yang sangat mudah dimengerti dan mencerahkan, dalam wawancaranya dengan Sujiwo Tejo (tautan di bawah ini).

Sarinya (45:30):

Apa saja yang muncul pada pikiran, kita sadari. Tujuannya supaya suatu saat yang ada hanya kesadaran murni, yang tidak dikotori oleh perasaan suka, duka, pikiran baik atau buruk, hanya just being aware, hanya just sadar. Saat kesadaran murni terjadi kita bebas dari penderitaan.

Dan itu bisa dicapai oleh siapa saja, tidak harus jadi bhikkhu, tidak harus menjadi umat Buddha, tidak ada mantra yang diperlukan, tidak ada ritual yang diperlukan, tidak ada dupa yang perlu dibakar, tidak ada sesajen yang dipersiapkan. Kuncinya adalah hadirkan kesadaran anda untuk menyadari aktifitas fisik dan aktifitas mental.

Boddington, 07 March 2022

Saya Tak Berada di Sini – Thich Nhat Hanh

Saya tidak banyak tahu tentang beliau meski sudah puluhan tahun mendengar nama beliau. Hanya kadang membaca beberapa berita, wawancara (salah satunya dengan Oprah Winfrey, tautannya di bawah ini), dan satu atau dua buku beliau, itupun tidak sampai tuntas. Dan kadang saya lupa dan sulit mengeja namanya, Thich Nhat Hanh.

Saya hanya tahu bahwa beliau menjadi seorang biarawan Buddhis sejak umur 16 tahun, pejuang kebebasan berkeyakinan di negaranya Vietnam dan perdamaian dunia, hidup pada masa paling sulit pergolakan peperangan di negaranya, seorang penyair, pengajar dan pelaku hidup kebersadaran (mindfulness).

Saya suka dengan salah satu frase pendek beliau, I have arrived, I am home yang terkenal itu, saya telah tiba, saya di rumah.

saya sudah sampai, saya di rumah

Beliau meninggal dunia pada tanggal 22 Januari 2022 tepat pada jam 12 tengah malam, pada usia 95 tahun, di Wihara Từ Hiếu, di Huế, Vietnam.

Ada satu pesan bagaimana beliau ingin ‘diperlakukan’ saat dia meninggal nanti, cuplikan dari salah satu bukunya, “At Home in the World: Stories & Essential Teachings from a Monk’s Life” (2015).

Saya merasa cuplikan ini begitu dalam, namun saya tidak sepenuhnya mengerti. Alih-alih mengulas dengan kata-kata saya yang hanya akan mendangkalkan maknanya, rasanya akan lebih bermanfaat diterjemahkan langsung sebagai pertinggal untuk saya di blog ini dan untuk yang tertarik untuk bisa diresapi – di napas, jalan, dan gerak kita dengan penuh kesadaran…

Semoga saya punya kesempatan merasakan keberadaan keberlanjutan Thay* dalam napas, jalan, dan gerak saya….

Saya tak ada di sini

Saya juga tak berada di luar sana

Saya dapat ditemukan dalam cara anda bernapas dan berjalan

Thich Nhat Hanh

*Thay adalah sebutan orang Vietnam untuk Thich Nhat Hanh, yang artinya Guru.

— 0 —

Saya Tak Ada di Sini

Oleh: Thich Nhat Hanh

Saya punya seorang murid di Vietnam yang ingin membangun stupa untuk abu saya ketika saya meninggal. Dia dan yang lainnya ingin menempelkan plakat bertuliskan, “Disinilah guruku tercinta.” Saya mengatakan kepada mereka untuk tidak menyia-nyiakan tanah biara.

“Jangan taruh saya di pot kecil dan taruh saya di sana” kata saya. “Saya tidak ingin terus seperti itu. Akan lebih baik untuk menyebarkan abunya di luar untuk membantu pohon tumbuh.”

Saya menyarankan jika mereka masih bersiteguh ingin membangun stupa, mereka bisa menggunakan plakat yang mengatakan, “Saya tak berada di sini.” Tetapi jika orang belum memahaminya, mereka dapat menambahkan plakat kedua, “Saya juga tak berada di luar sana.” Jika masih juga ada yang tidak mengerti, maka dapat menulis di plakat ketiga dan terakhir, “Saya dapat ditemukan dalam cara anda bernapas dan berjalan.”

Tubuh saya ini akan hancur, tetapi tindakan saya akan melanjutkan saya. Dalam kehidupan sehari-hari saya selalu berlatih untuk melihat keberlanjutan saya di sekitar saya. Kita tidak perlu menunggu sampai hancurnya tubuh ini untuk berkelanjutan — kita terus berkelanjutan di setiap saat.

Jika anda berpikir bahwa saya hanyalah tubuh ini, maka anda belum sepenuhnya melihat saya. Ketika anda melihat teman-teman saya, anda melihat keberlanjutan saya. Ketika anda melihat seseorang berjalan dengan belas kasih, anda tahu dia adalah keberlanjutan saya. 

Saya tidak mengerti mengapa kita harus mengatakan “Saya akan mati”, karena saya sudah dapat melihat diri saya di dalam diri anda, pada orang lain, dan pada generasi mendatang.

Bahkan saat awan tidak ada, akan berkelanjutan sebagai salju atau hujan. Tidak mungkin awan mati. Itu bisa menjadi hujan atau es, tetapi tidak bisa menjadi lenyap. Awan tidak perlu memiliki jiwa untuk berkelanjutan. Tidak ada awal dan tidak ada akhir. Aku tidak akan pernah mati. Akan ada kehancuran tubuh ini, tetapi itu tidak berarti kematian saya.

Saya akan terus berkelanjutan.

Dikutip dari Thich Nhat Hanh “Di Rumah di Dunia: Cerita & Ajaran Penting dari Kehidupan Seorang Biarawan” (2015)

— 0 —

Obrolan Oprah Winfrey dengan Thich Nhat Hanh yang mencerahkan.

— 0 —

I Am Not in Here

By Thich Nhat Hanh

I have a disciple in Vietnam who wants to build a stupa for my ashes when I die. He and others want to put a plaque with the words, “Here lies my beloved teacher.” I told them not to waste the temple land.“

Do not put me in a small pot and put me in there” I said. “I don’t want to continue like that. It would be better to scatter the ashes outside to help the trees to grow.”

I suggested that, if they still insist on building a stupa, they have the plaque say, “I am not in here.” But in case people don’t get it, they could add a second plaque, “I am not out there either.” If still people don’t understand, then you can write on the third and last plaque, “I may be found in your way of breathing and walking.”

This body of mine will disintegrate, but my actions will continue me. In my daily life I always practice to see my continuation all around me. We don’t need to wait until the total dissolution of this body to continue—we continue in every moment.

If you think that I am only this body, then you have not truly seen me. When you look at my friends, you see my continuation. When you see someone walking with compassion, you know he is my continuation.

I don’t see why we have to say “I will die,” because I can already see myself in you, in other people, and in future generations.

Even when the cloud is not there, it continues as snow or rain. It is impossible for a cloud to die. It can become rain or ice, but it cannot become nothing. The cloud does not need to have a soul in order to continue. There’s no beginning and no end. I will never die. There will be a dissolution of this body, but that does not mean my death.

I will continue, always.

Excerpted from Thich Nhat Hanh “At Home in the World: Stories & Essential Teachings from a Monk’s Life” (2015)

— 0 —

Perth, 30 Januari 2022

Happy Birthday Ajahn Brahm

Ajahn Brahm begitu dicintai oleh murid-muridnya. Di ulang tahunnya yang ke-70 tahun ini, murid-muridnya di seluruh dunia lintas bangsa dari berbagai kalangan baik monastik (bhikkhu/bhikkhuni) maupun orang awam, baik buddhis dan non-buddhis, bersama-sama merayakannya. Berbagai program diselenggarakan, diantaranya adalah lelang barang bekas pakai Ajahn Brahm untuk penggalangan dana pembangunan pusat meditasi di Melbourne, penerbitan buku, dan retret meditasi cinta kasih (metta) online yang dipandu langsung oleh bhikkhu/bhikkhuni murid Ajahn Brahm dari berbagai belahan dunia selama 6 Hari, dari tanggal 1 hingga 6 Augustus 2021.

Puncak perayaannya diselenggarakan hari ini, Sabtu, tanggal 7 Augustus 2021 di Jhana Grove Meditation Centre di Serpentine, Western Australia. Berikut adalah tautan acara perayaan yang disiarkan langsung.

Saya tidak sempat hadir di tempat tapi saya coba mengikuti sebisa mungkin lewat streaming dibawah ini. Satu video klip yang dipersiapkan secara ‘rahasia’ memaparkan kisah perjalanan dan sumbangsih Ajahn Brahm dari orang-orang yang telah terinspirasi oleh beliau terrasuk yang dari Indonesia, dapat ditonton di bawah ini. Begitu banyak kasih tak-berbatas dibabarkan dan telah menginspirasi dan mencerahkan banyak insan dalam mengarungi kehidupan ini. Salut dan kagum kepada panitia yang merupakan kolaborasi murid-muridnya dari berbagai belahan dunia.

Happy Birthday Ajahn Brahm! Semoga sehat dan panjang umur dan terus menginspirasi dengan kewelas-asihannya.

Ajahn Brahmavamso (yang dipanggil Ajahn Brahm) hari ini genap berusia 70 tahun. Beliau adalah seorang bhikkhu (biarawan) Buddhis asal Inggris yang telah menjalani kehidupan kebiarawanan hampir 47 tahun dalam tradisi Theravada. Lahir pada tanggal 7 Agustus 1951 dengan nama Peter Betts dari keluarga kelas pekerja di London. Peter muda sudah tertarik pada meditasi sejak usia dini. Tumbuh menjadi seorang pemuda cerdas, Peter belajar bidang fisika teoritis di Universitas Cambridge dan kemudian menjadi pengajar.

Peter mengenal Buddhisme diusia 16 tahun lewat buku yang dibelinya dari hadiah prestasi akademiknya. Dia pergi ke Thailand untuk belajar lebih dalam tentang Buddhisme dan memutuskan menjadi bhikkhu pada usia 23 tahun. Riwayat perjalanan hidup Ajahn Brahm dapat dibaca pada tautan ini: https://bswa.org/bswp/wp-content/uploads/2017/10/A-Tribute-to-Ajahn-Brahm-Emptiness_and_Stillness.pdf.

Ajahn Brahm adalah murid dari seorang bhikkhu yang sangat dihormati di Thailand, Ajahn Chah yang bermukim di luar kota Ubon Ratchathani, bagian timur-laut Bangkok. Saya berkesempatan dua kali mengunjungi kompleks biara hutan Ajahn Chah, Wat Nong Pah Pong dan Wat Pa Nanachat sewaktu saya bekerja di tambang Sepon di Laos sekitar tahun 2002-2003.

Satu buku karangan Ajahn Brahm (dalam bahasa Inggris) dibagikan secara cuma-cuma. Saya juga barusan mengunggahnya untuk dibaca. Buku kecil ini berisi pemahaman dasar tentang Buddhisme yang disampaikan dalam cerita-cerita pengalaman Ajahn Brahm – yang menjadi ciri khasnya. Buku ini dapat diunggah di: Opening-Up-To-Kindfulness-19-July-2021DOWNLOAD

— 0 —

Saya tentu bukan siapa-siapa bagi seorang Ajahn Brahm yang memiliki begitu banyak murid dari semua kalangan yang tersebar di seluruh dunia. Dan saya juga tidak berharap bahwa Ajahn Brahm mengenal saya karena begitu banyak orang yang datang menemui beliau setiap waktu. Kalaupun saya berkunjung ke Bodhinyana Monastery di Serpentine – biara hutan tempat beliau bermukim atau Dhammaloka Monastery di kota Perth, saya biasanya hanya duduk tidak di barisan depan ágak jauh dari perhatian. Saya lebih suka berdiam sembari menikmati keheningan suasana.

Meskipun demikian, kelihatannya Ajahn tahu kalau saya orang Indonesia. Setiap kali saya menyampaikan dana makanan dalam tradisi pindapata, Ajahn Brahm selalu menyapa dengan sapaan ‘Selamat Pagi…’. 

Ajahn Brahm memang dekat dengan Indonesia. Beliau melakukan kunjungan tahunan ke Indonesia (diorganisir oleh Yayasan Ehipassiko yang didirikan oleh Handaka Vijjananda) mungkin lebih dari sepuluh tahun terakhir, yang terhenti karena pembatasan pandemi Covid 19. Buku beliau yang berjudul Cacing dan Kotoran Kesayangannya (Opening the Door of Your Heart) sempat menjadi salah satu buku terlaris di Indonesia.

Menurut saya, yang sangat mengesankan dari seorang Ajahn Brahm adalah kewelas-asihan dan kerendahan hatinya. Meski telah menjadi bhikku yang paling senior dan sangat sibuk, beliau selalu ramah dan memperlakukan setiap orang dengan sangat baik tanpa membeda-bedakan.

Pada saat satu tahun peringatan wafatnya ibu saya pada April 2016, saya memohon kepada Ajahn Brahm untuk bersedia melakukan doa pelimpahan jasa untuk mendiang ibu saya. Beliau dengan spontan malah menawarkan untuk melakukannya di Pangkalpinang saat kunjungan beliau ke sana bertepatan dengan hari peringatan 1 tahun dan menganjurkan saya menghubungi Handaka Vijjananda, teman yang telah 10 tahun lebih tidak pernah bertemu. Atas bantuan Handaka, Ajahn Brahm meluangkan waktunya di tengah talkshow untuk melakukan kegiatan doa ini. (https://letting-go.blog/2021/08/07/a-year-of-passing/)

Tidak berapa lama yang lalu saya pernah menanyakan kesediaan Ajahn untuk bisa bertemu dengan Konjen RI di Perth. Waktu itu, Ibu Konjen ingin bertemu dengan masyarakat Buddhis Indonesia yang tingal di Perth. Saya terpikir untuk melakukan pertemuan di Biara Bodhinyana. Atas bantuan Bhikkhu Ananda, Ajahn dengan senang hati bersedia menyediakan waktunya yang sangat padat itu. Sayangnya, pertemuan itu tidak terjadi karena kesulitan mengatur waktu pertemuan karena kesibukan masing-masing dan juga masa lockdown Covid.

Beberapa kali saya harus minta izin kepada Ajahn Brahm waktu hendak mengundang Bhante Ananda keluar dari biara. Pernah diizinkan dua kali ‘membawa’ Bhante Ananda menghadiri undangan perayaan Natal masyarakat Indonesia di Perth. Bhante Ananda sendiri sering memuji kesabaran, kewelas-asihan, dan keteladanan gurunya ini.

Saya sangat beruntung sempat mengikuti pelatihan meditasi dibawah bimbingan beliau di pertengahan 2018. Pelatihan berjalan sangat santai dan menyenangkan. Wejangan yang disampaikan sangat menyegarkan dan mencerahkan dengan gaya penyampaian yang lepas, dilengkapi dengan perumpamaan dan lelucon-leluconnya. Ajahn Brahm piawai memilih gaya penyampaian dan kedalaman isi menyesuaikan dengan tingkat pemahaman pendengarnya. 

Ajahn Brahm
Bear Meditation dengan Ajahn Brahm (foto: Shally Mavieto)

Di usia yang tidak muda lagi, Ajahn Brahm memiliki ingatan yang sangat kuat dan pikiran yang jernih dalam menyampaikan dan merunut serangkaian bahasan yang beranak-pinak dan kembali ke pokok pembahasan dan ditutup dengan rangkuman yang mudah dipahami.

Saya tidak melihat raut muka lelah Ajahn Brahm yang berbicara sebanyak 3 sesi perhari masing-masing 1-1.5 jam per-sesi selama 9 harı, ditambah dengan sesi konsultasi personal peserta hampir setiap hari; bahkan pada hari-hari Ajahn Brahm terserang flu sekalipun. Selalu tetap terlihat senyuman khas menghias wajahnya dengan semangat dan keceriaan yang hampir konstan di setiap saat. 

Pikiran yang tidak bergejolak dan batin gang mawas memberikan kejernihan batin dan menyisakan energi kebahagiaan yang luar biasa dan bisa sangat membantu dalam menyelesaikan banyak masalah.

Ajahn Brahm

Saya pernah mencoba menuliskan pernik-pernik latihan meditasi yang saya ikut meskipun tidak tuntas. Berikut adalah tautannya:

  1. http://letting-go.blog/2018/08/12/pernik-pernik-pelatihan-meditasi-9-hari-oleh-ajahn-brahm-pertengahan-juli-2018/
  2. http://letting-go.blog/2018/08/16/pernik-pernik-pelatihan-meditasi-9-hari-oleh-ajahn-brahm-juli-2018-2/
  3. http://letting-go.blog/2018/08/25/pernik-pernik-pelatihan-meditasi-9-hari-oleh-ajahn-brahm-juli-2018-3/
  4. http://letting-go.blog/2018/09/18/pernik-pernik-pelatihan-meditasi-9-hari-oleh-ajahn-brahm-juli-2018-4/
  5. http://letting-go.blog/2018/10/08/pernik-pernik-pelatihan-meditasi-9-hari-oleh-ajahn-brahm-juli-2018-5/
  6. http://letting-go.blog/2018/10/10/pernik-pernik-pelatihan-meditasi-9-hari-oleh-ajahn-brahm-juli-2018-6/
  7. http://letting-go.blog/2018/10/24/pernik-pernik-pelatihan-meditasi-9-hari-oleh-ajahn-brahm-juli-2018-7/
  8. http://letting-go.blog/2018/12/18/pernik-pernik-pelatihan-meditasi-9-hari-oleh-ajahn-brahm-juli-2018-8/
  9. http://letting-go.blog/2019/12/11/pernik-pernik-pelatihan-meditasi-9-hari-oleh-ajahn-brahm-juli-2018-9/
  10. http://letting-go.blog/2019/12/14/pernik-pernik-pelatihan-meditasi-9-hari-oleh-ajahn-brahm-juli-2018-10/
  11. http://letting-go.blog/2019/12/21/meditasi-bersama-ajahn-brahm-11-apalah-arti-sebuah-nama/
  12. http://letting-go.blog/2020/05/31/mengganggu-kebisingan/

Perth, 7 Agustus 2021

 

A Year of Passing

Facebook tidak lagi meneruskan fasilitas blogging di Note. Untuk itu, saya pindahkan tulisan yang ditulis April 2016. Tulisan aslinya masih dalam Bahasa Inggris.

https://www.facebook.com/notes/lim-eka-setiawan/a-year-of-passing/10154091132429035/

— 0 —

Saat itu satu tahun peringatan wafatnya ibu saya (2016). Sewaktu di Perth, saya memohon kepada Ajahn Brahm untuk bersedia melakukan doa pelimpahan jasa untuk mendiang ibu saya. Beliau malah menawarkan untuk melakukannya di Pangkalpinang saat kunjungan beliau ke sana bertepatan dengan hari peringatan 1 tahun dan menganjurkan saya menghubungi Handaka. Ketika saya hubungi hanya lewat text, tanpa keraguan Handaka langsung mengiyakan permintaan bantuan saya dan terus berkoordinasi dengan tim panitianya di Pangkalpinang dalam waktu yang sangat dekat untuk meluangkan waktu Ajahn Brahm di tengah talkshow untuk melakukan kegiatan doa ini.

Saya sangat beruntung mendapat kesempatan yang langka ini.

— 0 —

This time a year ago my mum passed away at 79. I had a chance to be with her for the last time together with all my sisters and at her bedside witnessing the passing. Although I understand the nature of the event, it’s still a very sad natural event.

Now, we commemorate a year of the passing with family and relatives. We pay our utmost respect to our mum for her unconditioned caring and loving kindness we never paid off, and being grateful living our lives.

duduk-duduk di belakang rumah

I was extremely fortunate to find Ajahn Brahmavamso of Bodhinyana Monastery of Western Australia visiting my hometown in Bangka Island, Indonesia. After his talk, Ajahn Brahm kindly led us offering a dedication of merits to my late mum and to all sentient beings. My deep bows to Ajahn.

This great opportunity was made possible by Handaka Vijjananda, my friend I haven’t met for more than 10 years, and his team of Ehipassiko Foundation. Thanks all of you very much indeed for your kindness.

May all beings be happy…

Perth, April 2016

Selamat Jalan Meme/Phopho

Facebook tidak lagi meneruskan fasilitas blogging di Note. Untuk itu, saya pindahkan tulisan di Facebook Notes yang ditulis pada Mei 2015 di sini.

https://www.facebook.com/notes/10158816056443197/

— 0 —

Meski kita tahu ini tidak terhindarkan, berpisah dengan orangtua akan selalu membawa kesedihan. Ibu saya, yang kami panggil Meme oleh anak-anaknya and Phopho oleh cucu-cucunya, telah meninggal dunia dengan tenang hari Jumat, 24 April 2015, di usia yang cukup lanjut, 79 tahun. Kesedihan bahwa beliau tidak lagi berada diantara kami, dan kesedihan hilangnya satu ladang kebajikan bagi kami untuk berbakti. 

Yang membahagiakan adalah Meme dapat menikmati masa usia lanjutnya bersama anak-anak dan cucu-cucunya yang tumbuh saling menyayangi, disela kehawatiran-kehawatiran seperti layaknya kebanyakan orangtua. Saya tahu Meme merindukan Papa yang telah berpulang lebih dari dua puluh tahun lalu.

Saya beruntung punya kesempatan ikut merawat dan menjaga Meme di hari-hari terakhirnya, bersama adik-adik dan keluarga.  Kami berbagi tawa, canda juga kesedihan, mengenang perjuangan hidup yang telah dilalui dan merenungkan besarnya jasa dan kasih sayang kedua orang tua membesarkan kami bersaudara. Juga melihat dari dekat proses usia tua mengakhiri satu kehidupan di dunia, untuk direnungkan dalam sisa hidup saya. 

Selamat jalan Meme/Phopho, semoga terlahir di alam bahagia. Semoga tenteram dan berbahagia. 

Banyak doa, perhatian dan bantuan kami terima dari sanak keluarga, kerabat, teman-teman dan tim medis, bahkan orang-orang yang tidak kami kenal mendonorkan darah mereka. Terima kasih kami yang sebesar-besarnya. Semoga budi baik dan kebajikan ini membawa banyak berkah kebahagian. Semoga kita semua berbahagia.

Perth, 2 Mei 2015

Perenungan di Usia 55 Tahun

Semalam saya ‘dikerjain’ dengan satu acara kejutan ulang tahunku. Semula aku kira hanya makan malam keluarga bertiga dengan isteri dan putri kami di sebuah restoran Asia. Ternyata ada ‘persekongkolan’ antara istriku dengan berapa teman dekat tanpa sepengetahuanku. Saat kami sampai di restauran, ketika menuju ke meja, aku sekilas aku melihat salah satu teman di situ, dan saya pikir wah.. kebetulan sekali. Tapi saat aku menyapu pandangan ke sekelilingnya, aku dapati kok banyak yang dikenal. Untuk sesaat, aku masih agak bingung, hingga mereka mulai menyanyikan lagu ‘Happy Birthday‘.

Aku sempat terharu. Aku merasa sangat beruntung memiliki keluarga yang menyayangi dan banyak teman baik di sekelilingku. Saat ini, kami sangat beruntung bermukim di Australia yang relatif sangat aman terhadap pandemi Covid 19, khususnya di Perth, Australia Barat. Meski barusan ada lockdown, sekarang sudah dilonggarkan. Kami menikmati makan malam dan bercerita banyak.

Sementara di akhir-akhir ini di Indonesia, mungkin hampir semua kita menerima kabar dukacita dari orang-orang yang kita tahu atau yang dekat dengan kita, secara beruntun… Dulu kita dengar hanya sekedar dari berita – itu tidak banyak mempengaruhi emosi kita. Tapi sekarang, kemalangan ini lebih dekat dan terasa sangat nyata. Semoga semua ketidakberuntungan ini cepat berlalu. Pada akhirnya, inipun akan berlalu.

Di masa kecilku di Kampung Lumut yang bersahaja, ulang tahun bukanlah suatu yang lazim dirayakan dengan satu pesta. Yang ada hanyalah ibuku merebus beberapa telur di pagi hari untuk dibagikan bersama adik-adikku dan ditambah masakan yang lebih ‘mewah’ dari biasanya untuk makan malam keluarga. Masakan yang lebih ‘mewah’ itu biasanya dengan lauk ayam dari ternak sendiri. Tidak ada kue tar ataupun acara tiup lilin, apalagi mendapat kado ulang tahun. Kesederhanaan masa kecilku di kampung sedikit banyak terlukis dalam tulisan ini: https://letting-go.blog/2020/05/17/beberapa-sahabat-masa-kecilku/ dan https://letting-go.blog/2019/11/25/sekilas-masa-kecilku-di-kampung-pangkal-niur/)

Mungkin oleh karena itu, aku tidak pernah merasa merayakan ulang tahun itu suatu keharusan untuk dirayakan. Namun kehadiran teman-teman baik sangat berarti. Dan secara pribadi, hari ulang tahun mungkin adalah momen yang baik untuk sedikit merenung.

— 0 —

Sekarang aku sudah berusia 55 tahun. Dalam tradisi Tionghoa sudah dihitung berusia 56 tahun karena dihitung sejak dalam kandungan. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Usia ini mengingatkanku pada ayahku yang wafat di tahun 1994 pada usia yang sama dengan usiaku sekarang. Usia yang terasa masih ‘sangat’ muda. Aku mungkin bias karena aku berada diusia ini sekarang. Satu tahun sebelumnya di tahun 1993, adik laki-lakiku pada usianya yang 20 tahun pergi meninggalkan kami, saat aku baru menyelesaikan studi dan mulai bekerja di tahun kedua sebagai pekerja tambang di Kalimantan Timur. Sebagai upaya mendoakan mendiang ayah dan mendiang adikku, aku sempat menerjemahkan satu buku kecil ‘Why Religious Tolerance’ karya mendiang Dr. Sri K Dhammananda – seorang biarawan sekaligus cendekiawan Buddhis (https://letting-go.blog/2018/06/19/mengapa-umat-beragama-bertoleransi-why-religious-tolerance/).

Setelah aku menamatkan SMA di tahun 1985, sempat ada jeda 1 tahun sebelum melanjutkan ke perguruan tinggi untuk jurusan pendidikan Keguruan di bidang studi Matematika di Universitas Sriwijaya di Palembang, dan baru tahun berikutnya (1987) aku mengambil studi teknik pertambangan di universitas yang sama.

Profesi sebagai pekerja tambang membawa aku berkesempatan bekerja dan berkunjung ke banyak tempat di Indonesia, Laos, Australia, Amerika, dan Ghana, Afrika. Seperti lazimnya dunia pertambangan, lapangan pekerjaanku sebagian besar ada di daerah terpencil di tengah hutan jauh dari keramaian. Hampir seluruh pengalaman kerjaku di pertambangan emas dan tembaga, dan hanya ditahun-tahun awal bekerja di pertambangan batubara (https://letting-go.blog/2020/10/18/sekilas-siklus-tambang-emas/).

Di Indonesia sendiri penugasan pertamaku di Kalimantan Timur, kemudian di Sulawesi Utara, dan terakhir di Sumbawa sebelum mengambil kesempatan bekerja sebagai tenaga kerja asing selama 3 tahun di satu tambang emas dan tembaga di belantara Laos di dekat perbatasan dengan Vietnam yang terkenal dengan Jalur Ho Chi Minh (Ho Chi Minh Tail). Jalur Ho Chi Minh adalah rute pasokan militer yang membentang dari Vietnam Utara melalui Laos dan Kamboja ke Vietnam Selatan selama Perang Vietnam. Jalur ini dibombardir oleh Angkatan Udara Amerika dalam operasi militer rahasia pada kurun maktu tahun 1965 hingga 1972, yang meninggalkan banyak bom-bom yang tidak sempat meledak (UXO – unexploded ordinance) – yang harus dijinakkan dan dibersihkan dalam kegiatan penambangan.

Aku banyak melihat kehidupan masyarakat lingkar tambang yang sangat sederhana kalau tidak mau dikatakan miskin, dan bagaimana suatu industri pertambangan berkontribusi membuka keterpencilan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat setempat.

Setelah itu, aku berkesempatan bekerja di salah satu tambang emas terbesar di dunia di Australia Barat lebih dari 10 tahun sebelum menerima penugasan ke Ghana, Afrika selama 2 tahun. Di tengah kesibukan pekerjaan yang sangat padat, aku dan istri sempat mengunjungi beberapa tempat diantaranya adalah Museum Istana Manhyia (Manhyia Palace Museum) dan peninggalan kastil perbudakan di Elmina (https://letting-go.blog/2019/09/15/kastil-elmina-saksi-sejarah-kelam-perbudakan/).

Sayang, masa tinggal kami di Accra, ibukota Ghana hanya Sekitar setahun dan harus kembali ke Perth di akhir Mei 2020 dan bekerja dari rumah karena pandemi Covid 19.

Di akhir penugasan Afrika, aku mendapat kesempatan untuk memilih lanjutan penugasan di Perth atau mengambil pesangon – pilihan yang ditawarkan sebagai bagian dari penugasan expatriat. Dengan segala pertimbangan, aku memilih yang kedua di akhir Maret 2021. Aku merasa beruntung mendapatkan kesempatan ini diwaktu yang tepat.

Ini kali pertama mendapat kesempatan untuk berhenti bekerja saat ada di puncak karir setelah 29 tahun bekerja terus menerus dengan intensitas tinggi berkelana dari satu tambang ke tambang lain. Meski banyak pertimbangan dan perenungan dalam mengambil keputusan ini, aku tidak merasa terlalu sulit mengambil keputusan ini.

Keinginan mengambil jeda ini adalah untuk menurunkan intensitas kegiatan untuk beristirahat, meluangkan waktu melihat prioritas akan apa yang ingin dilakukan ke depannya, dan mengerjakan hal-hal yang ingin aku kerjakan tetapi tidak punya waktu untuk mengerjakannya. Baru-baru ini, bersama teman-teman, kami melakukan perayaan Peh Cun / Bachang festival yang meliputi pameran dan bazaar makanan di pagi dan siang hari, dan makan malam dengan pertunjukan budaya peranakan yang dihadiri oleh 200 tamu (https://www.facebook.com/media/set/?vanity=fiophotography&set=a.1670929403116501), kegiatan serupa kami selenggarakan untuk Imlek 2017 (https://www.facebook.com/media/set/?vanity=imlek15meh&set=a.1733798326931873 and https://www.facebook.com/media/set/?vanity=imlek15meh&set=a.1734000586911647).

Teman-teman sempat mengingatkan bahwa aku mungkin akan segera bosan atau mengalami ‘post-power syndrome‘ sejenis kehilangan semangat hidup atau jati-diri karena berperasaan bukan siapa-siapa lagi. Saya coba untuk menyadarinya, tapi terus-terang aku tidak merasa mengalami kedua hal ini. Aku malah khawatir akan terlalu menikmati ‘Do Nothing – tidak melakukan apa-apa’ ini.

Aku harus bilang bahwa aku gembira atas kenyataan bahwa aku tidak merasakan sindrom-sindrom yang lazim dialami oleh banyak orang saat tidak lagi bekerja atau kehilangan pekerjaannya. Aku beruntung punya kesempatan untuk memilih di waktu yang tepat pada kondisi yang cukup menguntungkan.

Aku rasa hal yang juga sangat membantu adalah mulai tumbuhnya kesadaran untuk melepas, merasa inipun sudah cukuplah, dan bahwa tidak merasa perlu untuk menjadi siapa-siapa lagi – I am nobody.

Masih terlalu dini untuk memastikannya, aku kemungkinan akan kembali ke dunia kerja, tetapi dengan dorongan dan harapan yang mungkin sangat berbeda.

Perth, 10 Juli 2021

Menyerap Dhamma

Ketika Anda mendengarkan Dhamma, anda harus membuka hati dan menempatkan diri di tengah. Jangan mencoba menghimpun apa yang anda dengar atau berusaha keras untuk menyimpan apa yang anda dengar melalui ingatan. Biarkan saja Dhamma mengalir ke dalam hati anda saat ianya muncul, dan biarkan diri anda terus terbuka terhadap arus dalam momen saat ini. Apa yang siap disimpan akan terjadi, dan itu akan terjadi dengan sendirinya, bukan melalui usaha keras dari sisi anda.

Demikian pula ketika anda membabarkan Dhamma, anda tidak boleh memaksakan diri. Itu harus terjadi dengan sendirinya dan harus mengalir secara spontan dari saat dan keadaan sekarang. Setiap orang memiliki tingkat kemampuan menerima yang berbeda, dan ketika anda berada di sana pada tingkat yang sama, itu terjadi begitu saja, Dhamma itu mengalir. Sang Buddha memiliki kemampuan untuk mengetahui perangai dan kemampuan menerima seseorang. Beliau menggunakan metode pengajaran spontan yang sama. Bukan karena dia memiliki kekuatan diluar manusia biasa untuk mengajar, melainkan karena dia peka terhadap kebutuhan spiritual orang-orang yang datang kepadanya, jadi dia mengajar mereka sesuai dengan itu.

(Ajahn Chah)

— 0 —

ENGLISH

When you listen to the Dhamma you must open up your heart and compose yourself in the center. Don’t try to accumulate what you hear or make a painstaking effort to retain what you hear through memory. Just let the Dhamma flow into your heart as it reveals itself, and keep yourself continuously open to its flow in the present moment. What is ready to be retained will be so, and it will happen of its own accord, not through any determined effort on your part.

Similarly when you expound the Dhamma, you must not force yourself. It should happen on its own and should flow spontaneously from the present moment and circumstances. People have different levels of receptive ability, and when you’re there at that same level, it just happens, the Dhamma flows. The Buddha had the ability to know people’s temperaments and receptive abilities.He used this very same method of spontaneous teaching. It’s not that he possessed any special superhuman power to teach, but rather that he was sensitive to the spiritual needs of the people who came to him, and so he taught them accordingly.

(Ajahn Chah)

Penyadaran pada Obyek

Saat berlatih meditasi, kita mengambil obyek, seperti pernapasan masuk dan keluar, sebagai landasan kita. Ini menjadi fokus perhatian dan perenungan kita.

Kita memperhatikan pernapasan. Memperhatikan pernapasan berarti mengikuti pernapasan dengan kesadaran, mencatat alunannya, masuk dan keluarnya. Kita meletakkan kesadaran pada pernapasan, mengikuti napas masuk dan keluar secara alami dan melepaskan semua yang lainnya.

Sebagai hasil dari menetap pada satu objek kesadaran, pikiran kita menjadi jernih. Jika kita membiarkan pikiran memikirkan ini, itu dan lainnya, ada banyak obyek kesadaran; pikiran tidak bersatu, tidak beristirahat.

Kumpulan Ajaran Ajahn Chah, 
Aruna Publications, 2011.

Kerap Kali Direnungkan

Dalam ajaran yang saya yakini, ada anjuran perenungan terhadap ketidak-kekalan. Entah kenapa saya cukup menyukainya dan sering merenungkannya dulu sebagai pengantar meditasi. Saya hanya merasa perenungan ini membawa kita kembali pada kenyataan yang lebih membumi dan hakiki – dan membawa ketenangan yang mengheningkan. Mungkin karena itu, dianjurkan untuk kerap kali direnungkan – bhinhapaccavekkhana.

Aku akan menderita usia tua, aku belum mengatasi usia tua.
Aku akan menderita sakit, aku belum mengatasi penyakit.
Aku akan menderita kematian, aku belum mengatasi kematian.
Segala milikku yang kucintai dan kusenangi akan berubah, akan terpisah dariku.

Aku adalah pemilik perbuatanku sendiri
Pewaris perbuatanku sendiri
Lahir dari perbuatanku sendiri
Berhubungan dengan perbuatanku sendiri
Terlindung oleh perbuatanku sendiri
Apapun perbuatan yang kuperbuat
Baik atau buruk
Itulah yang akan kuwarisi.
Hendaklah ini kerap kali direnungkan.

Saya menemukan satu tulisan kecil tentang makna perenungan ini oleh Ajahn Sundara, seorang biarawati buddhis berkebangsaan Prancis, yang saya rasa cukup mendalam. Berikut adalah terjemahannya.

—0—

Aku akan menderita usia tua, aku belum mengatasi usia tua.
Aku akan menderita sakit, aku belum mengatasi penyakit.
Aku akan menderita kematian, aku belum mengatasi kematian.

Perenungan ini membantu kita mendinginkan pikiran dan membawanya ke tingkat di mana kita berhadap-hadapan kenyataan alih-alih dunia khayalan. Inilah yang membawa saya pada dharma (ajaran kebenaran): keinginan untuk menghadapi tiga kenyataan dari keberadaan, khususnya kematian, kesadaran bahwa kematian dapat terjadi kapan saja.

Inilah keseluruhan aspek dari suatu latihan yang berkaitan dengan perenungan sederhana seperti itu – merenungkan ketidak kekalan hidup, ketidakpastian keberadaan kita. Perenungan bahwa kita sehat sekarang tetapi suatu hari kita mungkin sakit; suatu hari kita mungkin tidak lagi memiliki semua keistimewa yang kita miliki saat ini, keistimewa memperoleh kesehatan yang baik, tubuh yang kuat, dan kekuatan dan kejernihan pikiran.

Saat kita tidak merenungkan dengan cara ini, kita kemungkinan besar akan terperangkap dalam khayalan masa depan dan dalam merencanakan masa depan, dalam mengatur hidup kita, dalam khawatir atau bersemangat tentang apa yang bisa terjadi, atau menjadi depresi. Pikiran menciptakan berbagai macam perasaan dan suasana hati ketika lupa bahwa hidup kita bisa berakhir kapan saja. Sebaliknya, perenungan ini, ingatan kita tentang penuaan, penyakit dan kematian ini dapat membantu kita untuk menghargai hidup kita dengan lebih positif.

— Ajahn Sundara, The Body

— 0 —

I am of the nature to age; I have not gone beyond ageing.
I am of the nature to sicken; I have not gone beyond sickness.
I am of the nature to die; I have not gone beyond dying.

This reflection helps us cool down the mind and bring it to a level where we face facts rather than a world of fantasy. This is what brought me to the dhamma: wanting to face those three facts of existence, and death in particular, the awareness that death can happen at any time.

There is a whole aspect of the practice which has to do with simple reflections like that – reflecting on the transience of life, on the uncertainty of our existence. Reflecting that we are fit now but one day we may be sick; one day we might no longer have all the privileges we have at present, the privileges of good health, strength in the body and strength and clarity of mind.

When we do not reflect in this way we are likely to be caught up in the illusion of the future and in planning for that future, organizing our life, worrying or getting excited about what could happen, or becoming depressed. The mind creates a whole range of feelings and moods when it forgets that our life could terminate at any time. So paradoxically, this reflection, this recollection of ageing, sickness and death can help us to appreciate our life more positively.

— Ajahn Sundara, The Body

May be an image of 1 person