Mengapa Umat Beragama Bertoleransi? – Why Religious Tolerance?

nalandians-commemorate-ven-k-sri-dhammananda.jpg

Mengapa Umat Beragama Bertoleransi?

Telah 25 tahun berlalu sejak saya menterjemahkan buku kecil “Mengapa Umat Beragama Bertoleransi?” ditulis oleh Bhante Dr. Sri K Dhammananda. Waktu itu sekitar bulan Juni tahun 1993, di tahun kedua saya bekerja sebagai pekerja tambang di masa awal tambang Kaltim Prima Coal (KPC) di Sangatta, Kalimantan Timur.

Saya menerjemahkan buku ini untuk pelimpahan jasa kepada adik saya yang meninggal dunia pada tahun 1993 dan ayah saya yang meninggal di tahun 1994. Ini merupakan salah satu cara seorang Buddhis ‘berdoa’, dengan melakukan perbuatan yang dianggap baik dan menyalurkan jasa perbuatannya untuk orang yang dicintai dan untuk semua mahluk.

Bhante Dr. Sri K Dhammananda adalah seorang bhikkhu yang sangat dihormati sekaligus seorang cendekiawan Buddhis yang berasal dari Sri Lanka yang kemudian menetap di Malaysia hingga akhir hayatnya. Saya sangat beruntung mendapat restu dari beliau untuk bisa menerjemahkan dan menerbitkan tulisannya ini di Indonesia secara cuma-cuma. Terjemahan ini kemudian diterbitkan oleh satu yayasan Buddhis di Yogyakarta pada tahun 1994 (?).

Waktu itu, saya mencoba menerjemahkan buku kecil ini dengan kemampuan berbahasa Inggris yang sangat terbatas. Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman saya yang Buddhis, Kristiani dan Muslim yang banyak membantu memeriksa dan mengedit terjemahan buku ini. Mereka adalah Marie Tungka, Johnny Yala, Jhonny Kaslan Lingga dan Irwan Priatna, yang nama-namanya saya cantumkan didalam  pengantar penerjemah. Inilah barangkali cerminan semangat toleransi kami pada masa itu.

Bhante Dr. Sri K Dhammananda menulis buku kecil ini hampir 45 tahun lalu, memaparkan pandangan Buddhis tentang toleransi beragama dengan sangat lugas dan dalam, namun mudah dipahami. Permasalahan yang dibahas terasa semakin relevan dengan dunia saat ini, khususnya bagi masyarakat dengan keragaman ras dan agama di banyak negara.

Membaca kembali buku kecil ini, setelah sekian tahun berlalu tetap memberi rasa kagum dan hormat yang dalam akan kearifan dan kewelas-asihan penulisnya; dan akan keluhuran Ajaran Buddha yang telah menginspirasi dan mencerahkan banyak insan dalam perjalanan waktunya yang lebih dari 2500 tahun.

Seorang Buddhis harus toleran terhadap ajaran agama lain, dan pada saat yang sama bisa bebas mengungkapkan pandangannya tentang ajaran tersebut tanpa menyimpan kebencian atau prasangka buruk. Toleransi yang benar tidak hanya semata toleran terhadap ajaran lain tapi juga dapat menahan diri ketika yang lain mencoba menyakiti dengan mengecam keyakinan kita. Sang Buddha menasehati pengikutnya: “Jika kamu marah ketika orang lain mengecam keyakinanmu, kamu bukanlah pengikutKu.”

Di dalam naskah Buddhis ada banyak kasih tak-berbatas, kebaikan dan toleransi dibabarkan. Sang Buddha menyarankan pengikutnya untuk menerima dan menghormati kebenaran dimana saja mereka temui, artinya mereka tidak perlu menolak ajaran kebaikan dari agama lain. Sang Buddha tidak pernah mengajarkan untuk memonopoli kebenaran religius.

Pada saat yang sama, Sang Buddha tidak meminta pengikutnya meyakini sesuatu tanpa pemahaman yang benar. Sang Buddha menganjurkan, “ Jangan percaya suatu tradisi hanya karena telah diwariskan oleh banyak generasi dan di banyak tempat; jangan percaya sesuatu karena banyak didengungkan dan dibicarakan oleh banyak orang; jangan percaya kerena pernyatan tertulis dari orang-orang bijak diperlihatkan; jangan percaya pada apa yang telah kamu bayangkan dan berpikir sebagai sesuatu yang luar biasa maka ini pasti diciptakan oleh sesuatu kekuatan supernatural. Setelah mengamati dan meneliti dengan seksama, jika sesuatu itu masuk akal dan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri sendiri dan semua orang, maka terimalah dan hiduplah sesuai dengannya.”

“Orang yang berperang dan menumpahkan darah atas nama agama, mereka tidak mengabdi pada agamanya. Mereka berjuang untuk keuntungan atau kekuasaan pribadi mereka sendiri. Mereka yang benar-benar mengamalkan suatu agama tidak memiliki alasan untuk berperang. Agama sejati tidak pernah mendorong segala bentuk kekerasan.”

“Apakah itu debu biasa atau debu emas, keduanya menyebabkan masalah pada mata. Dengan cara yang sama, apakah orang mengumandangkan perang atas nama agama atau karena alasan lain, keduanya membawa kesengsaraan bagi umat manusia.”

“Jika umat Buddha mempraktikkan “cinta kasih” yang sejati seperti yang diajarkan oleh Buddha, jika umat Islam mengikuti “persaudaraan” yang nyata seperti yang diajarkan dalam agama mereka, jika orang Kristen mempraktikkan ajaran “cintai sesamamu” dan jika umat Hindu mempraktekkan “kesatuan” umat manusia, di sana tidak ada alasan untuk mengalami segala macam bentrokan, bencana, gangguan, dan perang di dunia ini.”

“Menurut agama kita masing-masing, kita memiliki keyakinan yang berbeda tentang kehidupan kita dan akhirat. Tetapi kita tidak menyadari bahwa kita semua sama dalam setiap aspek kehidupan kita. Kita sama dalam kelahiran kita, dalam penyakit kita, dalam kekhawatiran dan kesengsaraan kita, dalam bencana dan kesalahpahaman kita, dalam kecemburuan, kebencian dan keserakahan kita; kita sama dalam usia tua kita, dalam ketidakpuasan hidup kita dan akhirnya, kita sama dalam kematian.”

“Semoga kegelapan  dari ketidak-tahuan yang  menguasai  pikiran manusia  terusir dan semoga menusia dapat menemukan kebenaran sejati melalui ajaran yang rasional  agar memperoleh keharmonisan beragama, kedamaian, kebahagiaan untuk seluruh umat  manusia. Semoga mereka memupuk toleransi beragama  yang sejati untuk membasmi  rasa takut, rasa curiga dan  rasa tidak aman dalam  pikiran manusia, dengan secara tulus menganut agama mereka masing-masing.”    

Bhikkhu Dr. K. Sri Dhammananda 

Bagi yang tertarik untuk membaca buku kecil ini secara lengkap, silakan unduh di tautan dibawah ini, yang saya scan dari draft pertama yang saya punya (1993). Ada kemungkinan final draft yang diterbitkan (1994) telah mengalami editing lanjutan untuk penyempurnaan.   Tulisan asli berbahasa Inggris juga dapat diunduh dibagian bawah.

Semoga buku kecil ini bermanfaat bagi banyak orang. Semoga semua berbahagia…

Versi terjemahan Bahasa Indonesia: Mengapa Umat Beragama Bertoleransi

Perth, 23 Juni 2018

Why Religious Tolerance?

It has been 25 years ago since I translated the booklet “Why Religious Tolerance” of Venerable Dr. Sri K Dhammananda. It was this time in 1993 during my second year as a fresh graduate mining engineer working at the early time of Sangatta Kaltim Prima Coal (KPC) Mine in East Kalimantan.

I did the translation for a merit dedication to my late young brother, passed away in 1993 and my father in 1994. It’s the Buddhist way to ‘pray’ by doing an action considered a  wholesome deed and dedicate the merit to the loved one.

Ven. Dr. Sri K Dhammananda was a highly regarded and respected Buddhist monk and scholar. He was from Sri Lanka but later lived in Malaysia. I was very fortunate receiving his permission to translate his book into Indonesia and to publish it for free distribution.

On those days, I had a very limited English. I received great help from some of my Buddhist, Christian, and Muslim friends in editing and proofreading the translation. I acknowledged them in the translation booklet. This was probably a reflection of our true religious tolerance at that time.

The booklet was written more than 45 years ago. Yet, the religious tolerance issue is even becoming more and more relevant to this day society especially to the multi-racial and multi-religious community in many countries.

Rereading it after these many years, I admire the wisdom and compassion of the author and feel enormous gratitude toward the Buddha Teaching which is inspiring and enlightening millions of hearts through the time more than 2500 years.

Buddhists do tolerate other religious practices, and yet at the same time, they can express their views freely regarding those practices and beliefs without harbouring hatred or prejudices. According to the Buddha, real religious tolerance is not a mere tolerance of other religious beliefs but the tolerance that we have to bear when others try to irritate us by condemning our religion. The Buddha advised his followers: “If you become angry when others condemn your religion you are no followers of Mine.”

In the Buddhist scriptures so much boundless love and kindness is mentioned and so much tolerance is preached. The Buddha has advised his followers to accept and to respect the truth wherever they find it. This means that we need not ignore the reasonable teachings of other religions. This clearly shows that the Buddha never had any jealous attitude toward other religions, nor did he try to monopolise religious truth.

At the same time, the Buddha did not encourage his followers to have mere faith in anything without proper understanding. The Buddha advised, “Do not believe in traditions merely because they have been handed down for many generations and in many places; do not believe in anything because it is rumoured and spoken of by many; do not believe because the written statement of some old sage is produced; do not believe in what you have fancied, thinking that because it is extraordinary it must have been implanted by a supernatural being. After observation and analysis, when it agrees with reason and is conducive to the good and benefit of one and all, then accept it and live up to it.”

“People who fight and shed blood in the name of religion, do not serve their religion. They fight for their own personal gain or power. Those who truly practise a religion have no grounds to fight. A real religion never encourages any form of violence.”

Either ordinary dust or gold dust, or both can cause trouble in the eyes. In the same way whether people declare war in the name of religion or for any other reason both bring about miseries amongst the people. 

“If Buddhists practise real “loving-kindness” as taught by the Buddha, if Muslims follow real “brotherhood” as taught in their religion, if Christians practise the teaching of “love thy neighbour” and if Hindus practise “oneness” of mankind, there would be no reason to have all sorts of clashes, calamities, disburbances, and wars in this world.”

“According to our respective religions, we have different beliefs regarding our life and the here-after. But we have not realized that we are all common in every aspect of our life. We are common in our birth, in our sickness, in our worries and miseries, in our calamities and misunderstandings, in our jealousy, hatred and greed; we are common in our old age, in our unsatisfactoriness of life and finally, we are common in death.”

“May the darkness of ignorance which prevails in the man’s mind be dispelled from his mind and may he find real truth through a rational religion to gain religious harmony, peace, happiness for the well being of mankind. May they cultivate real religious tolerance to eradicate fear, suspicion and insecurity from the man’s mind, by sincerely following their respective religions.”

Ven. Dr. K. Sri Dhammananda 

If you are interested reading the booklet, here is the original English version:

https://www.dhammatalks.net/Books6/Bhante_Dhammananda_Why_Religious_Tolerance.pdf

May you be happy…
Perth, 23 June 2018

One thought on “Mengapa Umat Beragama Bertoleransi? – Why Religious Tolerance?”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: