Dalam ajaran yang saya yakini, ada anjuran perenungan terhadap ketidak-kekalan. Entah kenapa saya cukup menyukainya dan sering merenungkannya dulu sebagai pengantar meditasi. Saya hanya merasa perenungan ini membawa kita kembali pada kenyataan yang lebih membumi dan hakiki – dan membawa ketenangan yang mengheningkan. Mungkin karena itu, dianjurkan untuk kerap kali direnungkan – bhinhapaccavekkhana.
Aku akan menderita usia tua, aku belum mengatasi usia tua.
Aku akan menderita sakit, aku belum mengatasi penyakit.
Aku akan menderita kematian, aku belum mengatasi kematian.
Segala milikku yang kucintai dan kusenangi akan berubah, akan terpisah dariku.
Aku adalah pemilik perbuatanku sendiri
Pewaris perbuatanku sendiri
Lahir dari perbuatanku sendiri
Berhubungan dengan perbuatanku sendiri
Terlindung oleh perbuatanku sendiri
Apapun perbuatan yang kuperbuat
Baik atau buruk
Itulah yang akan kuwarisi.
Hendaklah ini kerap kali direnungkan.
Saya menemukan satu tulisan kecil tentang makna perenungan ini oleh Ajahn Sundara, seorang biarawati buddhis berkebangsaan Prancis, yang saya rasa cukup mendalam. Berikut adalah terjemahannya.
—0—
Aku akan menderita usia tua, aku belum mengatasi usia tua.
Aku akan menderita sakit, aku belum mengatasi penyakit.
Aku akan menderita kematian, aku belum mengatasi kematian.
Perenungan ini membantu kita mendinginkan pikiran dan membawanya ke tingkat di mana kita berhadap-hadapan kenyataan alih-alih dunia khayalan. Inilah yang membawa saya pada dharma (ajaran kebenaran): keinginan untuk menghadapi tiga kenyataan dari keberadaan, khususnya kematian, kesadaran bahwa kematian dapat terjadi kapan saja.
Inilah keseluruhan aspek dari suatu latihan yang berkaitan dengan perenungan sederhana seperti itu – merenungkan ketidak kekalan hidup, ketidakpastian keberadaan kita. Perenungan bahwa kita sehat sekarang tetapi suatu hari kita mungkin sakit; suatu hari kita mungkin tidak lagi memiliki semua keistimewa yang kita miliki saat ini, keistimewa memperoleh kesehatan yang baik, tubuh yang kuat, dan kekuatan dan kejernihan pikiran.
Saat kita tidak merenungkan dengan cara ini, kita kemungkinan besar akan terperangkap dalam khayalan masa depan dan dalam merencanakan masa depan, dalam mengatur hidup kita, dalam khawatir atau bersemangat tentang apa yang bisa terjadi, atau menjadi depresi. Pikiran menciptakan berbagai macam perasaan dan suasana hati ketika lupa bahwa hidup kita bisa berakhir kapan saja. Sebaliknya, perenungan ini, ingatan kita tentang penuaan, penyakit dan kematian ini dapat membantu kita untuk menghargai hidup kita dengan lebih positif.
— Ajahn Sundara, The Body
— 0 —
I am of the nature to age; I have not gone beyond ageing.
I am of the nature to sicken; I have not gone beyond sickness.
I am of the nature to die; I have not gone beyond dying.
This reflection helps us cool down the mind and bring it to a level where we face facts rather than a world of fantasy. This is what brought me to the dhamma: wanting to face those three facts of existence, and death in particular, the awareness that death can happen at any time.
There is a whole aspect of the practice which has to do with simple reflections like that – reflecting on the transience of life, on the uncertainty of our existence. Reflecting that we are fit now but one day we may be sick; one day we might no longer have all the privileges we have at present, the privileges of good health, strength in the body and strength and clarity of mind.
When we do not reflect in this way we are likely to be caught up in the illusion of the future and in planning for that future, organizing our life, worrying or getting excited about what could happen, or becoming depressed. The mind creates a whole range of feelings and moods when it forgets that our life could terminate at any time. So paradoxically, this reflection, this recollection of ageing, sickness and death can help us to appreciate our life more positively.
— Ajahn Sundara, The Body
