Christ-Buddhamas

Ajahn Chah adalah seorang bhikkhu (biarawan Buddhis) yang sangat dihormati dari Thailand, Ajahn Chah lahir di tahun 1916 dan meninggal di tahun 1992. Diantara murid-muridnya, banyak orang-orang barat yang datang belajar dan berguru kepada Ajahn Chah. Dan tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk menjadi biarawan Buddhis. Banyak diantara mereka sekarang tersebar di banyak negara dan menjadi guru spiritual terkenal, diantaranya adalah Ajahn Sumedho dan Ajahn Brahm.

Ajahn Brahm mengepalai beberapa biara di Australia Barat, termasuk biara tradisi hutan Bodhinyana  di Serpentine, tradisi yang sama yang dikembangkan gurunya Ajahn Chah di Thailand. Sosok Ajahn Brahm cukup terkenal di Indonesia lewat buku dan talkshow tahunannya di berbagai kota di Indonesia. Salah satu buku best seller Ajahn Brahm di Indonesia adalah “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya” yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Yayasan Ehipassiko dari buku aslinya berjudul “Opening the Door of Your Heart”.

Saya berkesempatan dua kali mengunjungi biara tradisi hutan Ajahn Chah di luar kota Ubon Ratchathani, Thailand, sewaktu saya bekerja di tambang Sepon di Laos di kurun waktu tahun 2002-2003, yaitu biara Wat Pa Pong dan Wat Pa Nanachat.

Dalam suasana Natal ini, ada cerita menarik tentang sikap dan pandangan Ajahn Chah terhadap perayaan Natal yang diselenggarakan oleh murid-muridnya. Saya pernah mendengar cerita ini dari Ajahn Brahm. Namun, untuk akurasi cerita, saya mengutip tulisan dari Bhikkhu Jayasara dari Facebooknya. Tulisan aslinya (dalam bahasa Inggris) saya lampirkan di bawah tulisan ini. Selanjutnya, saya hanya menterjemahkannya saja.

Bhikkhu Jayasara mengagumi sikap bijak Ajahn Chah terhadap perayaan Natal, rasa kemanusiaan dan bagaimana sikap kita yang telah memilah-milah kita sendiri.

80291439_10220902258766753_3212596350126391296_n
Ajahn Chah

Pada saat itu menjelang hari Natal, para bhikkhu asing (orang barat) memutuskan untuk merayakan Natal bersama. Mereka mengundang beberapa umat awam dan juga Ajahn Chah guru mereka untuk ikut hadir. Orang-orang awam umumnya kecewa dan bersikap skeptis. Mengapa bhikkhu Buddhis ini mengajak umat Buddha merayakan Natal?

Ajahn Chah kemudian menerangkan:”Sejauh yang saya pahami, Ajaran Kristiani mengajarkan orang berbuat baik dan menghindari perbuatan jahat, sama halnya dengan Ajaran Buddha, jadi apa masalahnya? Namun, jika ada yang kecewa dengan gagasan merayakan Natal, ada penyelesaian yang mudah. Kita tidak akan menyebutnya Natal (Christmas). Ayo kita sebut “Christ-Buddhamas”.

Apapun yang mengilhami kita untuk melihat kebenaran dan melakukan apa yang bajik, itu adalah cara menjalani ajaran yang benar. Kamu boleh menamakannya apa saja yang kamu suka.”

Tanya: Kalau begitu apa bedanya Ajaran Buddha dari ajaran agama lain?

Ajahn Chah: Bagi setiap ajaran/agama yang luhur, termasuk Ajaran Buddha, adalah suatu kewajiban untuk  menuntun orang menuju kebahagiaan yang bersumber dari melihat segala sesuatu apa adanya dengan jelas dan terbuka. Apapun agama atau sistim kepercayaan atau praktek yang memenuhi semua ini, kamu bisa menamakannya Ajaran Buddha, kalau kamu mau.

Dalam agama Kristen, sebagai contoh, salah satu perayaan yang paling penting adalah hari Natal. Beberapa bhikkhu barat tahun lalu memutuskan untuk melakukan perayaan khusus Natal, dengan melakukan suatu upacara pemberian hadiah dan kegiatan menanam kebajikan (penerjemah: making merit – saya mengartikan ini kegiatan membantu orang lain yang membutuhkan). Beberapa murid saya yang lain mempertanyakan ini, mereka bilang.” kalau mereka ditahbiskan menjadi (biarawan) Buddhis, bagaimana mungkin mereka merayakan Natal? Bukankah itu adalah perayaan orang Kristen?”

Dalam ceramah dharma saya, saya menjelaskan bagaimana semua orang di dunia ini pada dasarnya sama. Sebut saja mereka orang Eropa, Amerika, atau Thai, itu hanya mengindikasikan dari mana mereka lahir atau warna rambut mereka, tetapi mereka semua pada dasarnya sama dalam hal batin dan jasmani, semua masuk dalam satu rumpun orang yang dilahirkan, menjadi tua, dan mati.

Saat anda mengerti ini, perbedaan menjadi tidak penting. Sama halnya, jika Natal adalah saat dimana orang membuat upaya khusus untuk melakukan apa yang baik, terpuji dan berusaha membantu orang lain, itu yang penting dan mengesankan, tidak masalah sistim apa yang anda gunakan untuk menerangkannya.

Jadi, saya katakan kepada orang-orang kampung (penerjemah: kedua biara terletak diantara kampung-kampung). “Hari ini kita akan sebut perayaan ini sebagai Christ-Buddhamas. Selama orang-orang menjalankan ajaran dengan baik, mereka menjalankan Ajaran Kristian-Buddhis, dan semua akan menjadi baik”

Saya mengajarkan dengan cara ini untuk membuat orang melepaskan kemelekatan mereka pada berbagai konsep dan melihat apa yang terjadi secara gamblang dan alami. Apapun yang mengilhami kita untuk melihat kebenaran dan melakukan apa yang bajik, itu adalah cara menjalankan ajaran yang benar. Kamu boleh menamakannya apa saja yang kamu suka.”

Marakhest, Morocco, Africa

27 December 2019

===================

Sumber:

https://www.facebook.com/bhikkhujayasara

Bhikkhu Jayasara

AJAHN CHAH ON CHRISTMAS

Buddhist monk Ajahn Chah has always been a wonderful source of Dhamma to me. His way of putting complicated subjects into easy words you just can’t argue with still inspires me. Every year I enjoy his words regarding Christmas, humanity, and how we divide ourselves:

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
179. It was Christmas and the foreign monks had decided to celebrate it. They invited some laypeople as well as Ajahn Chah to join them. The laypeople were generally upset and skeptical. Why, they asked were Buddhists celebrating Christmas? Ajahn Chah then gave a talk on religion in which he said, “As far as I understand, Christianity teaches people to do good and avoid evil, just as Buddhism does, so what is the problem? However, if people are upset by the idea of celebrating Christmas, that can be easily remedied. We wont call it Christmas. Let’s call it ” Christ-Buddhamas”. Anything that inspires us to see what is true and do what is good is proper practice, You may call it anything you like.“
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Q: Then is Buddhism much different from other religions?

A: It is the business of genuine religions, including Buddhism, to bring people to the happiness that comes from clearly and honestly seeing how things are. Whenever any religion or system or practice accomplishes this, you can call that Buddhism, if you like.

In the Christian religion, for example, one of the most important holidays is Christmas. A group of the Western monks decided last year to make a special day of Christmas, with a ceremony of gift-giving and merit-making. Various other disciples of mine questioned this, saying, “If they’re ordained as Buddhists, how can they celebrate Christmas? Isn’t this a Christian holiday?”

In my Dharma talk, I explained how all people in the world are fundamentally the same. Calling them Europeans, Americans, or Thais just indicates where they were born or the color of their hair, but they all have basically the same kind of minds and bodies; all belong to the same family of people being born, growing old, and dying. When you understand this, differences become unimportant. Similarly, if Christmas is an occasion where people make a particular effort to do what is good and kind and helpful to others in some way, that’s important and wonderful, no matter what system you use to describe it.

So I told the villagers, ‘Today we’ll call this Chrisbuddhamas. As long as people are practicing properly, they’re practicing Christ-Buddhism, and things are fine.”

I teach this way to enable people to let go of their attachments to various concepts and to see what is happening in a straightforward and natural way. Anything that inspires us to see what is true and do what is good is proper practice. You may call it anything you like.