Menyerap Dhamma

Ketika Anda mendengarkan Dhamma, anda harus membuka hati dan menempatkan diri di tengah. Jangan mencoba menghimpun apa yang anda dengar atau berusaha keras untuk menyimpan apa yang anda dengar melalui ingatan. Biarkan saja Dhamma mengalir ke dalam hati anda saat ianya muncul, dan biarkan diri anda terus terbuka terhadap arus dalam momen saat ini. Apa yang siap disimpan akan terjadi, dan itu akan terjadi dengan sendirinya, bukan melalui usaha keras dari sisi anda.

Demikian pula ketika anda membabarkan Dhamma, anda tidak boleh memaksakan diri. Itu harus terjadi dengan sendirinya dan harus mengalir secara spontan dari saat dan keadaan sekarang. Setiap orang memiliki tingkat kemampuan menerima yang berbeda, dan ketika anda berada di sana pada tingkat yang sama, itu terjadi begitu saja, Dhamma itu mengalir. Sang Buddha memiliki kemampuan untuk mengetahui perangai dan kemampuan menerima seseorang. Beliau menggunakan metode pengajaran spontan yang sama. Bukan karena dia memiliki kekuatan diluar manusia biasa untuk mengajar, melainkan karena dia peka terhadap kebutuhan spiritual orang-orang yang datang kepadanya, jadi dia mengajar mereka sesuai dengan itu.

(Ajahn Chah)

— 0 —

ENGLISH

When you listen to the Dhamma you must open up your heart and compose yourself in the center. Don’t try to accumulate what you hear or make a painstaking effort to retain what you hear through memory. Just let the Dhamma flow into your heart as it reveals itself, and keep yourself continuously open to its flow in the present moment. What is ready to be retained will be so, and it will happen of its own accord, not through any determined effort on your part.

Similarly when you expound the Dhamma, you must not force yourself. It should happen on its own and should flow spontaneously from the present moment and circumstances. People have different levels of receptive ability, and when you’re there at that same level, it just happens, the Dhamma flows. The Buddha had the ability to know people’s temperaments and receptive abilities.He used this very same method of spontaneous teaching. It’s not that he possessed any special superhuman power to teach, but rather that he was sensitive to the spiritual needs of the people who came to him, and so he taught them accordingly.

(Ajahn Chah)

Penyadaran pada Obyek

Saat berlatih meditasi, kita mengambil obyek, seperti pernapasan masuk dan keluar, sebagai landasan kita. Ini menjadi fokus perhatian dan perenungan kita.

Kita memperhatikan pernapasan. Memperhatikan pernapasan berarti mengikuti pernapasan dengan kesadaran, mencatat alunannya, masuk dan keluarnya. Kita meletakkan kesadaran pada pernapasan, mengikuti napas masuk dan keluar secara alami dan melepaskan semua yang lainnya.

Sebagai hasil dari menetap pada satu objek kesadaran, pikiran kita menjadi jernih. Jika kita membiarkan pikiran memikirkan ini, itu dan lainnya, ada banyak obyek kesadaran; pikiran tidak bersatu, tidak beristirahat.

Kumpulan Ajaran Ajahn Chah, 
Aruna Publications, 2011.

Meditasi Bersama Ajahn Brahm (12) – Mengganggu Kebisingan

Karena sudah cukup lama tidak menulis lanjutan pernik-pernik meditasi, saya tidak begitu ingat lagi urutan kejadian saat pelatihan. Tapi saya pikir mungkin ada baiknya meneruskan cerita ini dari potongan kejadian yang pernah memberi kesan yang dalam selama pelatihan dan tidak terlalu terikat pada urutan, lagian biar ceritanya tidak terlalu panjang.

Selama pelatihan meditasi, kami rombongan peserta meditasi orang Indonesia cukup heboh. Karena tugas menerjemahkan ceramah Ajahn Brahm, disamping menyampaikan kembali paparan Ajahn Brahm dalam ceramahnya, saya juga harus menceritakan kembali lelucon-lelucon Ajahn Brahm. Sulit dihindari untuk tidak tertawa. Masalahnya kadang tertawa kami cukup keras. Kami sebenarnya sudah berusaha mencari tempat yang agak jauh dari keramaian, namun galak tawa kami ditengah suasana tempat pelatihan yang memang hening, cukup sering menarik perhatian peserta meditasi yang lain yang coba berlatih serius.

Dalam satu kesempatan ngobrol dengan Ajahn Brahm, saat dia menanyakan bagaimana dengan kegiatan penerjemahan bersama kawan-kawan. Saya ceritakan bahwa kami tidak bisa menghindari untuk tidak tertawa lagi saat menceritakan kembali cerita-cerita lucu beliau, dan ini sampai mengganggu teman-teman dari rombongan lain yang kelihatannya lebih khusuk berlatih. 

Ajahn Brahm jawab,“It’s very good.”

Ajahn punya kebiasaan menjawab semua pertanyaan dengan, “Bagus” atau “Bagus sekali’ untuk semua hal, tidak ada hal yang jelek.

Saat saya menambahkan bahwa kami merasa tidak nyaman karena mengganggu kawan-kawan yang lain. Beliau menjawab dengan ringan, “Biarkan saja, hati yang ceria juga sangat membantu meditasi.”

Kemudian Ajahn Brahm mengutip ujaran gurunya Ajahn Chah, “It’s not the noise that disturbs you, it’s you who disturb the noise.” – “Bukanlah kebisingan yang menggangu kamu tetapi kamulah yang mengganggu kebisingan itu.”

Ajahn Chah adalah seorang biarawan Thailand yang sangat dihormati yang bermukim di luar kota Ubon Ratchathani, bagian timur-laut Bangkok – tempat Ajahn Brahm berlatih selama 9 tahun diawal kehidupan kebiarawan beliau pada usia 23 tahun di tahun 1970-an. Saya beruntung berkesempatan dua kali mengunjungi kompleks biara hutan Ajahn Chah, Wat Pa Pong dan Wat Pa Nanachat sewaktu saya bekerja di tambang Sepon di Laos sekitar tahun 2002-2003.

Saat itu ada pesta perayaan di kampung di dekat biara yang menumbulkan banyak kebisingan. Sebagian murid Ajahn Chah mengeluh bahwa kebisingan ini telah menghilangkan suasana damai di biara. Ajahn Chah lalu menyampaikan bahwa:

“Bukanlah kebisingan yang menggangu kamu tetapi kamulah yang mengganggu kebisingan itu.”

Ajahn Chah

Kalau kita mau sedikit menghening dan mengamati, pikiran kitalah yang mengapai-gapai pada suara yang kita dengar dan mulai diolah dalam pikiran kita, menimbulkan kesan mental berupa rasa kesal saat kita anggap suara itu mengganggu, atau sebaliknya senang saat kita menganggap suara tersebut menyenangkan. Saat suatu obyek indra menyentuh pikiran akan timbul perasaan-perasaan senang, tidak senang, atau netral, tergantung pada pengkondisian batin kita.

Katanya batin yang terlatih eling, tidak akan merasa terganggu dengan rangsangan indera seperti itu. Mereka dapat melihat dengan jelas bagaimana suatu obyek indera bersentuhan dengan pikiran yang akan menimbulkan berbagai perasaaan. Mereka tidak menghindari perasaan tersebut, pun tidak memanjakannya. Mereka dapat melihat timbul dan tenggelamnya perasaan tersebut. Mereka hanya mengamati dan membiarkan perasaan tersebut berlalu, tanpa keterikatan…

Sederhana, namun sungguh tidak mudah untuk diselami…

Ditulis di keheningan malam dalam penerbangan evakuasi dengan A320 di ketinggian 38000 kaki, Accra – Las Palmas – London
29 Mei 2020

Apa itu Pikiran?

Penjelasan Ajahn Chah menarik. Secara intelektual saya mungkin bisa mengerti, tapi perlu pengheningan untuk benar-benar bisa melihat/menyelaminya…

=====

Apa itu pikiran? Pikiran sebenarnya bukanlah ‘sesuatu’. Secara gamblang, pikiran adalah yang merasakan. Maka yang menerima dan mengalami semua kesan mental dikatakan sebagai ‘pikiran’. Persis saat ini ada pikiran. Saat saya berbicara dengan anda. pikiran mengetahui apa yang saya katakan. Suara masuk lewat telinga dan anda tahu apa yang saya katakan. Yang mengalami ini adalah ‘pikiran’.

Pikiran tidak memiliki jati diri atau substansi. Pikiran tidak memiliki bentuk. Pikiran hanya merasakan kegiatan mental, hanya itu! Jika kita mengajari pikiran ini untuk memiliki pandangan yang benar, pikiran ini tidak akan bermasalah. Ianya menjadi mudah,

Pikiran adalah pikiran. Obyek mental adalah obyek mental. Obyek mental bukanlah pikiran, pikiran bukanlah obyek mental. Supaya dapat dipahami dengan jelas pikiran kita dan obyek mental dalam pikiran kita adalah yang menerima obyek mental yang muncul didalamnya. Pada saat dua hal ini, pikiran dan obyeknya, bertemu satu dengan yang lain, mereka memunculkan perasaan. Beberapanya adalah baik, beberapanya buruk, bebeberapa dingin, bebebapa panas … berbagai macam. Namun, tanpa kebijaksanaan untuk mengelola perasaan-perasaan ini, pikiran menimbulkan permasalahan.

(Ajahn Chah)

80291439_10220902258766753_3212596350126391296_n
Ajahn Chah

 

What is the mind? The mind isn’t really any ‘thing’. Conventionally speaking, it’s that which feels or senses. That which senses, receives and experiences all mental impressions is called ‘mind’. Right at this moment there is mind. As I am speaking to you, the mind acknowledges what I am saying. Sounds enter through the ear and you know what is being said. That which experiences this is called ‘mind’.

This mind doesn’t have any self or substance. It doesn’t have any form. It just experiences mental activities, that’s all! If we teach this mind to have right view, this mind won’t have any problems. It will be at ease.

The mind is mind. Mental objects are mental objects. Mental objects are not the mind, the mind is not mental objects. In order to clearly
understand our minds and the mental objects in our minds, we say that the mind is that which receives the mental objects which pop into it. When these two things, mind and its object, come into contact with each other, they give rise to feelings. Some are good, some bad, some cold, some hot … all kinds! Without wisdom to deal with these feelings, however, the mind will be troubled.
(Ajahn Chah)

 

Christ-Buddhamas

Ajahn Chah adalah seorang bhikkhu (biarawan Buddhis) yang sangat dihormati dari Thailand, Ajahn Chah lahir di tahun 1916 dan meninggal di tahun 1992. Diantara murid-muridnya, banyak orang-orang barat yang datang belajar dan berguru kepada Ajahn Chah. Dan tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk menjadi biarawan Buddhis. Banyak diantara mereka sekarang tersebar di banyak negara dan menjadi guru spiritual terkenal, diantaranya adalah Ajahn Sumedho dan Ajahn Brahm.

Ajahn Brahm mengepalai beberapa biara di Australia Barat, termasuk biara tradisi hutan Bodhinyana  di Serpentine, tradisi yang sama yang dikembangkan gurunya Ajahn Chah di Thailand. Sosok Ajahn Brahm cukup terkenal di Indonesia lewat buku dan talkshow tahunannya di berbagai kota di Indonesia. Salah satu buku best seller Ajahn Brahm di Indonesia adalah “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya” yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Yayasan Ehipassiko dari buku aslinya berjudul “Opening the Door of Your Heart”.

Saya berkesempatan dua kali mengunjungi biara tradisi hutan Ajahn Chah di luar kota Ubon Ratchathani, Thailand, sewaktu saya bekerja di tambang Sepon di Laos di kurun waktu tahun 2002-2003, yaitu biara Wat Pa Pong dan Wat Pa Nanachat.

Dalam suasana Natal ini, ada cerita menarik tentang sikap dan pandangan Ajahn Chah terhadap perayaan Natal yang diselenggarakan oleh murid-muridnya. Saya pernah mendengar cerita ini dari Ajahn Brahm. Namun, untuk akurasi cerita, saya mengutip tulisan dari Bhikkhu Jayasara dari Facebooknya. Tulisan aslinya (dalam bahasa Inggris) saya lampirkan di bawah tulisan ini. Selanjutnya, saya hanya menterjemahkannya saja.

Bhikkhu Jayasara mengagumi sikap bijak Ajahn Chah terhadap perayaan Natal, rasa kemanusiaan dan bagaimana sikap kita yang telah memilah-milah kita sendiri.

80291439_10220902258766753_3212596350126391296_n
Ajahn Chah

Pada saat itu menjelang hari Natal, para bhikkhu asing (orang barat) memutuskan untuk merayakan Natal bersama. Mereka mengundang beberapa umat awam dan juga Ajahn Chah guru mereka untuk ikut hadir. Orang-orang awam umumnya kecewa dan bersikap skeptis. Mengapa bhikkhu Buddhis ini mengajak umat Buddha merayakan Natal?

Ajahn Chah kemudian menerangkan:”Sejauh yang saya pahami, Ajaran Kristiani mengajarkan orang berbuat baik dan menghindari perbuatan jahat, sama halnya dengan Ajaran Buddha, jadi apa masalahnya? Namun, jika ada yang kecewa dengan gagasan merayakan Natal, ada penyelesaian yang mudah. Kita tidak akan menyebutnya Natal (Christmas). Ayo kita sebut “Christ-Buddhamas”.

Apapun yang mengilhami kita untuk melihat kebenaran dan melakukan apa yang bajik, itu adalah cara menjalani ajaran yang benar. Kamu boleh menamakannya apa saja yang kamu suka.”

Tanya: Kalau begitu apa bedanya Ajaran Buddha dari ajaran agama lain?

Ajahn Chah: Bagi setiap ajaran/agama yang luhur, termasuk Ajaran Buddha, adalah suatu kewajiban untuk  menuntun orang menuju kebahagiaan yang bersumber dari melihat segala sesuatu apa adanya dengan jelas dan terbuka. Apapun agama atau sistim kepercayaan atau praktek yang memenuhi semua ini, kamu bisa menamakannya Ajaran Buddha, kalau kamu mau.

Dalam agama Kristen, sebagai contoh, salah satu perayaan yang paling penting adalah hari Natal. Beberapa bhikkhu barat tahun lalu memutuskan untuk melakukan perayaan khusus Natal, dengan melakukan suatu upacara pemberian hadiah dan kegiatan menanam kebajikan (penerjemah: making merit – saya mengartikan ini kegiatan membantu orang lain yang membutuhkan). Beberapa murid saya yang lain mempertanyakan ini, mereka bilang.” kalau mereka ditahbiskan menjadi (biarawan) Buddhis, bagaimana mungkin mereka merayakan Natal? Bukankah itu adalah perayaan orang Kristen?”

Dalam ceramah dharma saya, saya menjelaskan bagaimana semua orang di dunia ini pada dasarnya sama. Sebut saja mereka orang Eropa, Amerika, atau Thai, itu hanya mengindikasikan dari mana mereka lahir atau warna rambut mereka, tetapi mereka semua pada dasarnya sama dalam hal batin dan jasmani, semua masuk dalam satu rumpun orang yang dilahirkan, menjadi tua, dan mati.

Saat anda mengerti ini, perbedaan menjadi tidak penting. Sama halnya, jika Natal adalah saat dimana orang membuat upaya khusus untuk melakukan apa yang baik, terpuji dan berusaha membantu orang lain, itu yang penting dan mengesankan, tidak masalah sistim apa yang anda gunakan untuk menerangkannya.

Jadi, saya katakan kepada orang-orang kampung (penerjemah: kedua biara terletak diantara kampung-kampung). “Hari ini kita akan sebut perayaan ini sebagai Christ-Buddhamas. Selama orang-orang menjalankan ajaran dengan baik, mereka menjalankan Ajaran Kristian-Buddhis, dan semua akan menjadi baik”

Saya mengajarkan dengan cara ini untuk membuat orang melepaskan kemelekatan mereka pada berbagai konsep dan melihat apa yang terjadi secara gamblang dan alami. Apapun yang mengilhami kita untuk melihat kebenaran dan melakukan apa yang bajik, itu adalah cara menjalankan ajaran yang benar. Kamu boleh menamakannya apa saja yang kamu suka.”

Marakhest, Morocco, Africa

27 December 2019

===================

Sumber:

https://www.facebook.com/bhikkhujayasara

Bhikkhu Jayasara

AJAHN CHAH ON CHRISTMAS

Buddhist monk Ajahn Chah has always been a wonderful source of Dhamma to me. His way of putting complicated subjects into easy words you just can’t argue with still inspires me. Every year I enjoy his words regarding Christmas, humanity, and how we divide ourselves:

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
179. It was Christmas and the foreign monks had decided to celebrate it. They invited some laypeople as well as Ajahn Chah to join them. The laypeople were generally upset and skeptical. Why, they asked were Buddhists celebrating Christmas? Ajahn Chah then gave a talk on religion in which he said, “As far as I understand, Christianity teaches people to do good and avoid evil, just as Buddhism does, so what is the problem? However, if people are upset by the idea of celebrating Christmas, that can be easily remedied. We wont call it Christmas. Let’s call it ” Christ-Buddhamas”. Anything that inspires us to see what is true and do what is good is proper practice, You may call it anything you like.“
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Q: Then is Buddhism much different from other religions?

A: It is the business of genuine religions, including Buddhism, to bring people to the happiness that comes from clearly and honestly seeing how things are. Whenever any religion or system or practice accomplishes this, you can call that Buddhism, if you like.

In the Christian religion, for example, one of the most important holidays is Christmas. A group of the Western monks decided last year to make a special day of Christmas, with a ceremony of gift-giving and merit-making. Various other disciples of mine questioned this, saying, “If they’re ordained as Buddhists, how can they celebrate Christmas? Isn’t this a Christian holiday?”

In my Dharma talk, I explained how all people in the world are fundamentally the same. Calling them Europeans, Americans, or Thais just indicates where they were born or the color of their hair, but they all have basically the same kind of minds and bodies; all belong to the same family of people being born, growing old, and dying. When you understand this, differences become unimportant. Similarly, if Christmas is an occasion where people make a particular effort to do what is good and kind and helpful to others in some way, that’s important and wonderful, no matter what system you use to describe it.

So I told the villagers, ‘Today we’ll call this Chrisbuddhamas. As long as people are practicing properly, they’re practicing Christ-Buddhism, and things are fine.”

I teach this way to enable people to let go of their attachments to various concepts and to see what is happening in a straightforward and natural way. Anything that inspires us to see what is true and do what is good is proper practice. You may call it anything you like.