Kearifan dari Masa Silam

Terakhir ini ada fenomena unik tentang biarawan Buddhist (bhikkhu) yang melakukan jalan kaki dari Thailand hingga Indonesia menempuh lebih dari 2.000 km ke Candi Borobudur untuk mengenapkan perayaan Waisak.

Laku spiritual Thudong ini sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu, diyakini sejak Abad 3 SM pada masa Kerajaan Raja Asoka di India – yang dikenal sangat toleran dan anti-kekerasan. Bhikkhu-bhikkhu Thudong ini bertekat melakukan latihan keras (Bahasa Pali: Dhutanga) lewat mengembara, bertapa, menyendiri, dan meditatisi untuk mencari pemahaman lebih dalam tentang ajaran Buddha. 

Ada 13 aturan laku pertapaan yang harus mereka patuhi – dengan bekal hanya jubah, kaos dan sandal. Mereka melakukan pertapaan dan pengembaraan di hutan-hutan untuk membersihkan kekotoran batin mereka (diantaranya keterikatan duniawi, kemarahan, kebodohan/ignorance) dan mengatasi rasa takut akan binatang buas, sakit, cidera fisik, dan mahluk tak-tampak di hutan.

Mereka hanya makan 1 kali sehari sebelum jam 12, dari pemberian orang sepanjang perjalanan. Yang juga unik, mereka tidur tidak merebah tapi duduk, sadar setiap saat hingga terlelap. Mereka juga bermalam di kuburan untuk membantu perenungan ketidak-kekalan. Konon ada yang bisa hidup berdampingan dengan binatang buas seperti harimau atau ular cobra selama perjalanan mereka. Itu diyakini sebagai kekuatan tekat dan kemampuan mereka memancarkan cinta kasih tak-berbatas kepada semua mahluk, sehingga binatang buas ini merasa nyaman dan tidak melihat mereka sebagai mangsa.

Dari perspektif ini, jalan kaki ribuan kilometer tentu sangat melelahkan apalagi ada diantara mereka yang cukup berumur, tapi mungkin tingkat kesulitannya tidak setinggi kalau di hutan belantara.  Mungkin juga karena keseimbangan batin lewat latihan meditasi menyisakan banyak energi.

Luar biasa sekali sambutan dan penerimaan dari masyarakat umum yang mayoritas saudara-saudara Muslim dan dari ormas-ormas Islam. Meski mereka tidak menharapkan sanjungan, sambutan hangat dan tulus, juga dukungan dari masyarakan tetap menyemangati dan mengharukan mereka.

Dari pemberitaan di media mainstream dan media sosial, seakan ini suatu fenomena yang dirindukan, tentang nilai tepo seliro dan ikut berbahagia dengan dengan kebahagiaan orang lain – yang seakan sudah memudar sekarang ini. Banyak yang terharu dan melihat sikap spontanitas masyarakat yang begitu ramah dan membantu adalah pancaran nilai kearifan lokal dan budi luhur yang terus terjaga.

Mungkin penampilan para bhikkhu yang unik dan bersahaja dalam laku spiritual menghubungkan mereka dengan gambaran nilai-nilai spiritual dari masa silam yang masih mengakar dalam sanubari mereka – peradaban besar masa silam yang meninggalkan situs-situs dan karya adiluhung seperti Prambanan, Borobudur, Mendut, dll., dan juga tutur Kisah Mahabharata yang semuanya bersinkretis menjadi khas nilai kearifan Nusantara.

Di masa silan, ada Mpu Tantular, seorang penyair buddhis yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit di Abad 14, menuliskan satu untaian kata indah penuh kasih dan tolerasi dalam syair/kekawin Sutasoma, Bhinneka Tunggal Ika – Satu Dalam Keberagaman – semboyan yang diusulkan oleh Mohammad Yamin untuk menjadi pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk ini.

Melihat semua ini, harapan untuk Indonesia yang lebih toleran terhadap keberagaman dan kehidupan yang lebih damai semakin besar. Semoga🙏

Selamat Trisuci Waisak 2567.

Semoga berkah kedamaian dan kebahagian melimpah kepada semua 🙏🙏🙏

Perth, 02 June 2023

Beberapa tautan berita perjalanan mereka.