Why They Choose to Walk This Silent Path – English version is at the very bottom section.
Sebagian kita berpikir bahwa mereka yang memilih jalan hening dalam kehidupan monastik atau membiara adalah orang-orang yang putus asa, patah hati, atau bahkan melarikan diri dari kenyataan.
Setahun yang lalu saya pernah ditanyai oleh kerabat dari salah satu bhikhuni (biarawati buddhis) muda orang Indonesia yang melatih diri di Dhamasara Nun Monastery (yang diasuh oleh Ajahn Brahm) di Perth, Western Australia. Kerabat ini tinggal di Perth dan masih mempunyai hubungan keluarga dengan orang tua biarawati tersebut. Saya rasanya tahu dengan bhikhuni muda yang mereka maksudkan, karena saya pernah satu kali mengunjungi biara tersebut yang memang terletak jauh diluar kota dan dikelilingi hutan.
Kerabat dari bhikhuni ini mengutarakan keprihatinan mereka akan keputusan wanita muda itu untuk menjadi bhikhuni, meninggalkan kehidupan yang begitu nyaman, profesi dokter (kalau tidak salah), dan dari keluarga yang tergolong berada di Jakarta. Apalah yang kurang dari kehidupan yang berkecukupan yang dia jalani sebelumnya, katanya. Juga tentang keprihatinan bahwa biarawati ini terisolasi tinggal di biara yang jauh dan tidak bebas bisa dikunjungi sewaktu-waktu. Ada kesan bahwa biarawati tersebut sedang mengalami kehidupan yang penuh penderitaan.
Saya hanya bilang bahwa sangat mungkin bhikhuni tersebut tengah memulai kehidupan yang penuh kedamaian sesuai apa yang dia inginkan.
Mereka juga menyampaikan bahwa orang tua mereka, yang kebetulan mengelola satu vihara di Jakarta, akan ngelangsa karena ‘kehilangan’ anak gadis mereka. Saya hanya bilang, kalau orang tua mereka adalah orang yang juga dekat dengan ajaran yang sama, kemungkinan sekali mereka bisa mengerti dan melepas, dan tidak menderita seperti apa yang dibayangkan.
Terakhir saya dengar bahwa bhikhuni tersebut sudah kembali ke Indonesia.
Kenapa harus menempuh kehidupan membiara? Menurut saya itu adalah satu pilihan pribadi, tentu dengan semua konsekwensinya; sama halnya saat kita memilih kehidupan ‘normal’ yang kita jalani sekarang. Terus apa peran mereka untuk masyarakat dengan jalan hidup seperti itu? Pendapat saya, setiap orang bertanggung-jawab pada kebahagian masing-masing, dan mereka mencari dan menjalaninya tanpa mengganggu atau merugikan orang lain. Lebih dari itu, mereka menyediakan diri untuk berbagi kebahagian yang mereka rasakan dan menuntun dan menginspirasi orang-orang agar mendapatkan kebahagiaan untuk mereka masing-masing. Tidak sedikit yang mengabdikan diri pada kemanusiaan dan berbagi kasih yang tak berbatas.

— 0 —
Tidaklah aneh pendapat sebagian orang awam terhadap pilihan menjalani kehidupan membiara ini, khususnya dari kalangan yang berbeda keyakinan. Apalagi itu dilakukan oleh seseorang yang relatif muda adalah sesuatu yang lebih tidak lazim lagi. Dulu sekali, saat pertama kali melihat seorang biarawan buddhis, saya juga bertanya dalam diri, mengapa mereka mengambil jalan sunyi seperti ini, apa yang mereka cari.
Sebagian kita mungkin menganggap mereka melarikan diri dari ‘kenyataan’ hidup. ‘Kenyataan’ hidup bagi umumnya kita adalah dari kecil bersekolah, terus mencari nafkah, berjuang dalam kehidupan, hidup sukses, berkeluarga, beranak-pinak, menjadi tua, dan mati, dan tentu dengan harapan masuk dalam kehidupan surga abadi setelah kematian (sesuai dengan keyakinan masing-masing). Pilihan menapaki kehidupan sunyi lewat jalan spiritual bukanlah kehidupan lumrah.
Benarkah mereka itu melarikan diri dari kenyataan? Kenyataan yang mana? Atau bukan justru kita yang melarikan diri dari kenyataan? Saat kita bosan, kita mencari kesibukan untuk menghilangkan kebosanan kita; saat sedih kita melarikan diri dengan mengalihkan perhatian dari kesedihan itu lewat hiburan, makanan, bahkan tidak jarang lewat minuman keras atau obat-obatan. Saat berhadapan dengan penderitaan yang dalam, kita bingung dan ngelangsa. Kita tidak suka dan marah dengan situasi ketidaknyamanan – yang sebenarnya adalah bagian kenyataan dari kehidupan ini. Saat menyenangi sesuatu, kita ingin terus memiliki kesenangan tersebut, dan mengejar kesenangan yang lebih tinggi – dari kesenangan indriawi dasar hingga kebahagiaan yang lebih tinggi. Tidak banyak kesempatan bagi kita untuk benar-benar memahami rasa bosan kita, rasa sakit kita, penderitaan kita, bahkan rasa bahagia kita. Kita terus menghindar dari ketidaknyamanan dan melekat pada kenyamanan.

Sementara, mereka berhenti, melihat ke dalam diri mereka di keheningan, berhadapan langsung dengan semua perasaan mereka, rasa bahagia mereka, penderitaan mereka termasuk rasa takut mereka. Pada tingkat awal, mereka melatih diri untuk menyadari sensasi tubuh dan gerak pikiran, belajar melihat bagaimana saat berbagai fenomena indria bersentuhan dengan pikiran yang kemudian menimbulkan berbagai perasaaan tergantung pengkondisian batin mereka. Mereka mengamatinya, berusaha tidak terikat, dan membiarkannya berlalu. Suara dari luar misalnya, itu hanyalah suara, bukanlah masalah. Saat bersentuhan dengan pikiran, mereka melihat perpaduan obyek dan pikiran menimbulkan rasa menyenangkan, netral, atau tidak menyenangkan. Mereka mengamati perasaan ini timbul dan tenggelam, berusaha untuk tidak melekat atau menggenggamnya, dan membiarkannya berlalu. Begitu juga dengan fenomena indera lainnya dari pengelihatan, sentuhan, pengecapan, penciuman dan ingatan dari pikiran itu sendiri.
Mereka menyelami duka sebagai duka, netral sebagai netral, bahagia sebagai bahagia; tidak lebih dan tidak kurang; dan semua itu datang dan pergi, timbul dan tenggelam; sebagai suatu rangkaian kenyataan hidup yang hakiki. Tidak ada duka yang tak berujung, pun tidak ada kebahagiaan yang terus menerus. Penderitaan timbul saat kita mulai menginginkan lebih dari itu. Kita ingin hal yang menyenangkan terus bertahan atau menginginkan hal yang tidak menyenangkan terus terhindar dari kita. Pengingkaran akan hal yang tidak menyenangkan dan keterikatan pada hal yang menyenangkan diyakini sebagai penyebab bagi kerumitan kehidupan manusia.
Dengan latihan dan kemudian pengetahuan dari melihat/mengalami langsung, maka timbul pemahaman dan kebijaksaan. Pemahaman dari pengalaman ini memberi peluang untuk bebas dari budak gejolak perasaan, melihat kenyataan apa adanya dari ilusi pikiran dan perasaan, membiarkan semua berlalu, dan mengalami kedamaian, ketenangan dan sukacita yang lebih dalam dan halus melalui pelepasan. Tentu saja, ini hanya awal dari jalan hening yang mereka tapaki.
Penderitaan yang dialami seseorang bisa memberi peluang untuk lebih bisa memandang hidup ini lebih dekat dengan kenyataan yang sebenarnya, dan kadang dapat mentransformasi batin seseorang ‘tercerahkan’. Eckhart Tolle seorang spiritualis asal Jerman, yang terkenal dengan “The Power of Now” mengalami ‘pencerahan batin’ setelah mengalami penderitaan dan pergolakan batin hebat di masa mudanya. (https://en.wikipedia.org/wiki/Eckhart_Tolle)
— 0 —
Di Boddhinyana Monastery di Serpentine, Perth, banyak biarawan muda. Salah satunya adalah orang Indonesia, Bhikkhu Ananda yang saya kenal baik. Beliau dari Jakarta dan lama menetap di California, Amerika Serikat sebelum datang ke Australia untuk mendalami kehidupan spiritual dan terakhir mengambil keputusan untuk menjadi seorang biarawan.
Sekilas yang saya tahu, Bhikkhu Ananda sudah tertarik dengan meditasi sejak dini, mengikuti berulang kali pelatihan meditasi yang diajarkan oleh G.N. Goenka (https://en.wikipedia.org/wiki/S._N._Goenka) di California. Terakhir merasa lebih berkembang dengan pola meditasi yang diajarkan oleh Ajahn Brahm lewat pola yang lebih melepas dan santai.
Datang ke Bodhinyana di tahun 2017 untuk mengikuti pelatihan meditasi dan meneruskan menjadi anagarika (pelayan bhikkhu) selama 1 tahun sebelum ditahbiskan sebagai samanera (bhikkhu dalam masa latihan). Saya menghadiri penahbisannya untuk menjalani kehidupan awal kebiarawan (samanera) di April 2018, dan penahbisan sebagai bhikkhu di Juni 2019.
Saya ingin punya kesempatan mengenal dan belajar lebih banyak dari beliau, dan berkesempatan untuk menceritakannya kembali dalam tulisan suatu saat.


— 0 —
Bhikkhu Sumangalo, seorang bhikkhu muda yang lain dari Bodhinyana, menceritakan latar belakang mengapa dia memilih kehidupan sebagai seorang biarawan buddhis dalam satu sesi dhamma talk dalam program rutin Buddhist Society Western Australia (BSWA) yang disiarkan langsung lewat Youtube, pada tanggal 7 Juni 2020. Sebelum menjadi bhikkhu, beliau adalah anagarika (orang yang mendedikasikan diri melayani bhikkhu) di biara Bodhinyana di Serpentine, Western Australia. Saya sering melihat dia di dapur umum biara dan bersih-bersih, saat saya berkunjung ke sana. (https://youtu.be/pw2N0_p5jBk)
Kehidupan awam Bhikku Sumangalo, berimigrasi mengikuti orang tuanya dari Vietnam Selatan di tahun 1987, melewati masa kecil dan remaja juga di California, di kawasan teknologi Silicon Valley yang terkenal itu. Lulus dari perguruan tinggi jurusan teknologi informasi dan keuangan, dia menjalani kehidupan layaknya semua pemuda di usia dan masanya.

Sejak awal dia sudah ada banyak pertanyaan dibenaknya bahwa kehidupan ini lebih dari sekedar apa yang tampak dan dijalani oleh hampir semua orang, tamat sekolah, mencari pekerjaan, meniti karir, hidup berkeluarga, sukses. Dia juga menjalani kesenangan-kesenangan layaknya kehidupan pemuda di kota yang menyediakan banyak hiburan. Dia mulai melihat semua itu adalah kesenangan materialistis yang tidak langgeng.
Hati kecilnya menyatakan hidup lebih dari itu. Dia mulai mencari dan mendengarkan kata hatinya yang lebih dalam. Dalam pencariannya, dia menyukai meditasi karena memberi peluang untuk benar-benar melihat ke dalam batinnya. Dia melihat lebih jelas dalam keheningan batinnya akan arti kehidupan ini, bukan sesuatu yang didapatkan dari membaca buku, proses kepintaran berpikir, kata orang pintar atau orang bijak. Jawabannya selalu ada didalam keheningan batin.
Perjalananan membawa banyak kedamaian dan sukacita yang membuat dia memutuskan untuk terus menapaki pencarian ini. Dia mengunjungi biara hutan Bodhinyana di Australia Barat beberapa kali untuk berlatih. Akhirnya, dia memilih untuk mencoba kehidupan monastik agar lebih fokus. Dia ditahbiskan menjadi samanera di tahun 2017 dan menjadi bhikkhu di tahun 2018. Kalau tidak salah saya hadir diupacara penahbisan tanggal 12 April 2018 malam hari di Bodhinyana Monastery atas undangan teman Indonesia, Handri, yang kemudian menjadi Bhikkhu Ananda yang saya ceritakan diatas.
— 0 —
Bhikkuni Canda, seorang biarawati buddhis yang sekarang tinggal di Inggris, juga berbagi perjalanannya dalam “My Life As A Buddhist Nun”.(https://www.facebook.com/100026024162850/videos/553422712201863/)
Semua dimulai dari pencarian spiritual di usia muda. Bhikkuni Canda, lahir di Chesterfield, di utara London, Inggris. Lahir dari keluarga yang mapan dan bahagia. Meskipun lahir dan tinggal di negara dengan jaminan sosial yang baik, tetapi masih menyimpan banyak pertanyaan sejak masa kecilnya. Ketika menyelesaikan sekolah menengah sebelum membuat keputusan untuk pergi ke perguruan tinggi, dia telah memikirkan banyak pertanyaan, apakah ini jalan terbaik untuk hidupnya. Sementara dia melihat orang-orang yang melanjutkan pendidikan dan kemudian mengejar karir, hidup dengan cukup bahagia. Namun, ketika dia mendengar berita sehari-hari tentang perang, kekuasaan, dan keserakahan yang tampak tidak pernah berakhir. Dia tidak bisa mengerti mengapa manusia bisa saling menyakiti dan memciptakan begitu banyak penderitaan bagi sesama. Apa sebenarnya tujuan hidup, dan bagaimana dia harus bereaksi dengan belas kasih terhadap penderitaan ini, dan pencarian untuk mengakhiri penderitaan ini? Pikiran seperti ini muncul didalam dirinya pada usianya sekitar 15 tahun.
Untungnya dia punya satu teman sangat dekat, yang bersama merencanakan perjalanan ke India. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia harus pergi ke India. Ketika mereka sampai di sana, dia langsung merasa bahwa ada keterkaitan batin yang mendalam di sana. Memang benar bahwa di India dia melihat lebih banyak penderitaan, tetapi nuansa sekeliling untuk menerima semuanya sebagaimana adanya lebih nyata, ketidakpastian dan ketidakkekalan kehidupan tampak lebih nyata. Penderitaan dan kematian tampak jelas di keseharian dan di jalan-jalan – sesuatu yang kamu tidak pernah lihat dan tabu untuk dibicarakan di Inggris. Harapan untuk memahami semua ini akan lebih besar . Tidak lama kemudian, mereka mendengar tentang meditasi. Dia merasa, ini adalah kesempatan baginya untuk mencari ke dalam. Dia merasa dia harus duduk dengan pikirannya sendiri dan menyaksikan apa yang terjadi di sana ketika dia sendirian dan belajar tentang dirinya sendiri.
Sejak sangat awal, Canda muda menyadari bahwa kebahagiaan tidak tergantung pada kondisi di luar semata. Meskipun kondisi di luar menyenangkan, keluarga yang baik, berhasil di sekolah, dan memiliki teman baik, masih akan ada penderitaan. Canda Muda heran dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam pikirannya. Perasaannya sangat tertekan di waktu remajanya, sebagian karena kekalutan karena tidak tahu mengapa dia ada di dunia ini.

Latihan meditasi pertama yang ia ikuti pada usia 20 tahun adalah meditasi vipassana. Fokusnya pada menyadaran sensasi tubuh dan mengamati bagaimana pikiran merupakan pemahaman mendalam (insight) dia yang pertama. Dia semula berpikir dia bereaksi terhadap hal-hal di luarnya, akhirnya dia menyadari bahwa bereaksi terhadap sensasi di dalam dirinya sendiri. Sensasi luar bersentuhan dengan indranya, suatu sensasi bersamaan dengan kesadaran akan sensasi tersebut akan timbul, di dalam tubuh dan pikirannya, dan itu menciptakan sensasi di dalam. Dia menyadari bahwa dia tidak pernah benar-benar bereaksi dengan obyek di luar sama sekali, tetapi terhadap sensasi di dalam.
Dan dia menyadari bahwa ini adalah kunci bagi kita untuk melembutkan keinginan berlebihan atau reaktivitas. Kita mendapatkan sensasi yang menyenangkan ketika kita bertemu seseorang yang kita sukai, kita menginginkan lebih banyak karena itu membuat kita merasa senang. Kita menginginkan sensasi itu lagi dan lagi. Hal yang sama ketika kita berhubungan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan. Kita mendapat perasaan tidak menyenangkan, reaksi emosional atau mental yang tidak menyenangkan. Reaksinya kita adalah menyingkirkannya. Kita ingin membuangnya. Ini juga semacam keinginan berlebihan. Jadi kita terus-menerus bereaksi – menghindari atau terlarut oleh obyek di dunia ini.
Melalui meditasi, kita memahaminya bahwa penderitaan timbul di dalam diri kita. Kita belajar untuk mengembangkan keseimbangan batin, kedamaian batin, dan ruang bagi diri kita sendiri, dan memahami bahwa semua hal berubah. Mereka tidak tetap – mereka sebenarnya muncul dan berlalu terus-menerus.
Bhikkhuni Canda
Jadi, ini adalah hal pertama bagi dia memahami penekanan Buddhis tentang penderitaan, dan kenyataan bahwa penderitaan muncul disebabkan dari keinginan berlebihan. Mengetahui hal ini sangatlah berarti karena dia menyadari bahwa kita bisa mulai mencari ke dalam, dan kita dapat mulai mengatasi penyebabnya alih-alih mencoba mengubah semua hal di luar yang merupakan manifestasi dari penderitaan. Kita benar-benar bisa masuk ke dalam untuk melihat penyebab dari mana asalnya – dimana penderitaan itu berasal, dan secara perlahan mencabut akar penyebabnya.
Dia merasa beruntung memulai latihan semacam ini tanpa benar-benar mengetahui apa pun tentang ajaran Buddha sebagai suatu agama, karena ajaran ini memiliki hasil langsung. Hal pertama yang dia rasakan adalah timbulnya harapan yang luar biasa, mengetahui bahwa ini adalah benar-benar tujuan hidupnya. Dia tahu bahwa dia ingin mendalami ajaran ini sedalam yang dia bisa selama sisa hidupnya. Dia tidak tahu dari mana keyakinan itu berasal. Sebagian karena mencoba menjalaninya karena ajarannya begitu masuk akal – dan dia sudah merasa lebih seimbang dan lebih ringan dan lega. Atau mungkin ada hubungannya dengan kehidupannya pada kehidupan sebelumnya. Dia kemudian menghabiskan 7 tahun berikutnya tinggal di Asia untuk mengembang latihannya.
Bhikkhuni Canda terus berbicara tentang ajaran yang ia dapatkan dari guru-gurunya dan penahbisannya sebagai seorang bhikkhuni. Dia beruntung belajar dari guru meditasi terkemuka Goenka (seorang pengusaha India yang tinggal di Burma), dan kemudian dengan Ajahn Brahm di Australia.
Dia sangat bersyukur diberi kesempatan oleh Ajahm Brahm untuk mendirikan Anukampa Bhikkuni Project di Inggris. Dia sekarang bermukim di Inggris dan bekerja bersama Ajahn Brahm mendirikan biara pertama untuk pelatihan para bhikkhuni di Inggris. (https://anukampaproject.org)
Saya beruntung sempat bertemu Bhikkhuni Canda beberapa kali di acara ulang tahun Ajahn Brahm ke-67 pada tahun 2018 di Perth, dan di acara kunjungan Ajahn Brahm ke Inggris pada tahun 2019 di London. Dan sekali waktu mendengarkan babaran dhammanya.
Terimakasih banyak kepada Bhikkhuni Canda yang telah mengizinkan saya menceritakan kembali sebagian “My Life As A Buddhist Nun”, dan meluangkan waktu membantu mengedit tulisan bagian ini.
Juni 2020
Dalam masa karantina wajib 14 hari – sekembali dari Ghana, Afrika – di satu hotel di Perth, Australia.
=========================================================
English version:
Why They Choose to Walk This Silent Path
Some of us think that those who choose the monastic life are people who are discouraged, broken-hearted, or even run away from reality.
A year ago I was questioned by a relative of one of the young Indonesian nun who practiced at Dhamasara Nun Monastery (who was cared for by Ajahn Brahm) in Perth, Western Australia. This relative lives in Perth and still has family ties with the nun’s parents. I feel like I know the young nun they meant, because I once visited the monastery which is located far outside the city and surrounded by forest.
The relatives of the nun expressed their concern about the young woman’s decision to become a nun, leaving behind a comfortable life, the profession of doctor (if I’m not mistaken), and from a a wealthy family background living in Jakarta. What was lacking from the decent life she had lived, he said. Also about the concern that this nun was isolated living in a distant monastery and was not free to be visited at any time. There is an impression that the nun is experiencing a life full of suffering.
I just said that it was very possible that the nun was starting a peaceful life as she wanted.
They also said that their parents, who happened to run a monastery in Jakarta, would suffer because they ‘lost’ their daughter. I was just saying, if their parents are people who are also close to the same teachings, chances are they can understand and let go, and not suffer as what is imagined.
Recently I heard that the nun had returned to Indonesia.
But why choosing the monastic life? In my opinion, it is a personal choice, of course with all the consequences; it’s the same as when we choose the ‘normal’ life that we lead now. Then what is their role for society with such a way of life? My opinion, everyone is responsible for their happiness, and they seek and live it without disturbing or harming others. More than that, they provide themselves to share the happiness they feel, guide, and inspire people to get happiness for themselves. Many of them devote themselves to humanity and share unconditional love.
– 0 –
It is not strange for the opinion of some lay people on the choice to live this kind of religious life, especially from people of different faiths. If it is done by someone who is relatively young is something even more unusual. A long time ago, when I first saw a Buddhist monk, I also asked myself, why they took this quiet path, what they were looking for.
Some of us might consider them running away from the ‘reality’ of life. The ‘reality’ of life for most of us is that we go to schools, continue to make a living, struggle in life, live successfully, have a family, reproduce, grow old, and die, and certainly with the hope of entering eternal heavenly life after death (in accordance with one beliefs). The choice of treading a silent life through the spiritual path is not a normal life.
Is it true that they escaped from reality? Which reality? Or aren’t we the ones who are running away from reality? When we are bored, we look for busyness to get rid of our boredom; when we are sad we escape by diverting our attention from sadness through entertainment, food, even alcohol or drugs. When faced with deep suffering, we are confused and miserable. We do not like and are angry with discomfort situations – which are actually part of the reality of this life. When we enjoy something, we want to continue to have that pleasure and pursue higher pleasures – from basic sensual pleasures to higher happiness. There aren’t many opportunities for us to truly understand our boredom, our pain, our suffering, even our happiness. We continue to avoid inconvenience and attach to comfort.
Contrarily, they stop to look inside themselves in silence, face to face with all their feelings, their happiness, their suffering including their fear. At the initial level, they train themselves to be aware of bodily sensations and mind movements, learn to see how the various senses phenomena come into contact with the mind which then give rise to various feelings according to their inner conditioning. They watched them, tried not to be attached, and let them go. Sound from outside, for example, is just sound, not a problem. When in contact with the mind, they see the combination of objects and thoughts creates a sense of pleasant, neutral, or unpleasant. They observe this feeling arising and ceasing, trying not to cling or grasping it, and letting it pass. Likewise with the other sense phenomena of sight, touch, taste, smell, and memory of the mind itself.
They see and experience the suffering as suffering, neutral as neutral, happy as happy; neither more nor less; and they come and go, arise and cease; as an essential fact of life. There is no continuous suffering, not even continuous happiness. Suffering arises when we begin to want more than that. We want pleasant things to continue or avoid unpleasant things. Denial of the unpleasant and attachment to the pleasant is believed to be the cause of all the complexities of human life.
With practice and knowledge from seeing / experiencing firsthand, then the understanding and wisdom arise. Understanding of this experience provides an opportunity to be free from the slaves of emotional turmoil, to see the reality for what it is from the illusion of thoughts and feelings, to let things go, and to experience deeper and more subtle peace and calm through relinquishment. Of course, this was only the beginning of the silent path they walk on.
Suffering experienced by someone can provide an opportunity to be more able to see life closely with real reality, and sometimes can transform a person to be ‘enlightened’. Eckhart Tolle, a spiritualist from Germany, who is famous for “The Power of Now” experienced inner enlightenment after experiencing great inner suffering and upheaval in his youth. (https://en.wikipedia.org/wiki/Eckhart_Tolle)
– 0 –
At Boddhinyana Monastery in Serpentine, Perth, many young monks. One of them is an Indonesian, Bhikkhu Ananda, whom I know well. He was from Jakarta and had long lived in California, United States before coming to Australia to explore the spiritual life and finally made the decision to become a monk.
As far as I know, Bhikkhu Ananda was interested in meditation from his early age, repeatedly attended the meditation training taught by G.N. Goenka (https://en.wikipedia.org/wiki/S._N._Goenka) in California. Later, he felt more suitable with the meditation approach taught by Ajahn Brahm through a more letting go and relaxed approach.
He came to Bodhinyana in 2017 for meditation training and continue to be anagarika (bhikkhu servant) for 1 year before being ordained as a novice monk. I attended his dedication to lead an early monastic life (novice) in April 2018, and ordination as a monk in June 2019.
I want to have the opportunity to know and learn more from him, and have the opportunity to recount in writing one day.
The monk Sumangalo, another young monk from Bodhinyana, told the background why he chose life as a Buddhist monk during a dhamma talk session in the routine program of the Buddhist Society of Western Australia (BSWA) which was broadcast live on Youtube, on 7 June 2020. Before being a monk, he is an anagarika (one who dedicates himself serving monks) at the Bodhinyana monastery in Serpentine, Western Australia. I often saw him in the monastery’s public kitchen and cleaning, when I visited there. (https://youtu.be/pw2N0_p5jBk)
The lay life of Bhikku Sumangalo, immigrated to follow their parents from South Vietnam in 1987, through childhood and adolescence also in California, in the famous Silicon Valley technology area. Graduating from a college majoring in information technology and finance, he lives the life of all young people in his age and time.
Since the beginning he has had many questions in his mind that life is more than just what is seen and lived by almost everyone, graduating from school, looking for work, pursuing a career, family life, success. He also experiences the pleasures of a young life in a city that provides a lot of entertainment. He began to see that all that was materialistic pleasure was not lasting. He felt that life is more than that. He began to search and listen to his deeper conscience. In his search, he liked meditation because it gave him the opportunity to really look inside. He saw more clearly in his inner silence the meaning of life, not something obtained from reading a book, the process of intelligence, thinking, said by smart people or told by wise people. The answer is always in inner silence. The journey brought a lot of happiness which made him decide to continue to pursue this quest. He visited the Bodhinyana forest monastery in Western Australia, taking more time to practice, finally being ordained a novice in 2017 and becoming a monk in 2018. If I’m not mistaken, If I remember correctly, I attended his ordination on April 12, 2018 at night at Bodhinyana Monastery at the invitation of my Indonesian friend, Handri, who later became the Bhikkhu Ananda.
Bhikkhuni Canda, a Buddhist nun who now lives in England, also recently shared her journey in “My Life As A Buddhist Nun.” (https://www.facebook.com/100026024162850/videos/553422712201863/)
It all started from a spiritual quest at a young age. Bhikkhuni Canda was born in Chesterfield, north of London, England, into a well-established and happy family. Despite living in a safe country with good social security she still had many questions that she kept from childhood. When completing high school and before making the decision to go to college, she pondered whether this was the best path for her life. Whilst she saw people who continue their education and then pursue a career, living reasonably happily, for her, this always left a lot of questions. When she would hear the daily news about the war, power and greed that never seem to change, she could not understand why humans have to hurt and inflict so much suffering on each other. What exactly is the purpose of life, and how could she react with compassion and search for an end to this suffering? Thoughts like this appeared to her at about 15 years of age.
Fortunately she had a very close best friend, who she planned a trip to India with when she was 19. She herself did not know why she had to go to India. When they got there, she immediately felt that there was a deep interconnectedness there. It is true that in India she saw much suffering, but the nuances of surrender to accept things as they are were more real, the uncertainties and impermanence of life seemed more real. Suffering and death were evident daily and on the streets – something that you never saw and was taboo to talk about in England. The hope for understanding all this became still greater. Not long afterwards, she heard about meditation. She felt this was an opportunity for her to look inside. She thought she had to sit with her own mind and watch what would happen in there when she is alone, to learn about herself.
From the very beginning, young Canda realised that happiness does not depend on external conditions alone. Despite pleasant outside conditions, a good family, succeeding in school and having good friends, there was still suffering. Young Canda wondered what really going on in her mind. Feeling quite depressed in her teens was partly due to the suffering of not knowing why she’s really here.
The first meditation practice that she joined at the age of 20 was vipassana meditation. The focus was on being aware of her body sensations and observing the way her mind works was her first sort of insight. She had always thought she was reacting to things outside, but actually she realised she was reacting to the sensation inside. When an ouside object was in contact with her senses, a sensation along with awareness of the sensation would arise, within her body and mind. She realised she had never really been reacting to the external object at all, but to that sensation inside.
And she realized that this was the key for us to weaken the craving or reactivity. We get a pleasant sensation when we meet someone that we like, we want more of it because they make us feel good. We want that sensation again and again. The same thing when we get in contact with something unpleasant or unwanted, we get an pleasant feeling, unplesant emotional and a mental reaction. The reaction is to get rid of it. We want to push it away. This is also kind of craving. So we’re constantly reacting – pushing away or being enticed by the objects in the world.
Through meditation, we understand suffering is arising within us. We learn how to develop equanimity, inner peace, and space around it, understanding that things change. They’re not fixed – they’re actually arising and passing constantly.
Venerable Canda
So, this was the first thing for her to understand the Buddhist focus on suffering and the fact that suffering arises from a cause which is craving. Knowing that was so powerful because she realised that we can start to look inwardly, and we can start to address the cause instead of trying to amend all the external manifestations of suffering. We can actually go right inside to look at the cause – where that suffering is coming from, and gradually uproot that cause.
She felt she was fortunate to start this kind of practice without really knowing anything about Buddhism as a religion, because it had an immediate affect. The first thing she felt was an enormous sense of hope, as she knew this was really the true purpose of her life. She knew that she just wanted to take this as deep as she could for the rest of her life, and she didn’t know where that faith came from. It was partly experiential because it just made so much sense – and she already felt more balanced, lighter and had a sense of relief. Also, it may have had something to do with perhaps being on this journey in her previous lives. She spent the next seven years of her life living in Asia to develop the practice.
Bhikkhuni Canda continued to talk about the teachings she got from her teachers and her ordination as a nun in Burma, and later a bhikkhuni. She was fortunate learning from the prominent meditation teacher Goenka (an Indian businessman living in Burma), and then from Ajahn Brahm in Australia.
She also feels grateful to be given the opportunity by Ajahn Brahm to found Anukampa Bhikkhuni Project in England (https://anukampaproject.org). She is now living in England and working closely with Ajahn to establish Britains’ first training monastery for fully ordained (bhikkhuni) nuns.
I am fortunate to have met Bhikkhuni Canda a couple of times, at Ajahn Brahm’s 67th birthday celebrations in 2018 in Perth, and at Ajahn Brahm’s visit to England in 2019 in London. And occasionaly, I listen to her dhamma talks.
Sincere thanks to Ven. Canda for her endorsement and review on the “My Life As A Buddhist Nun” section.
June 2020
During the quarantine period of 14 days – returning from Ghana, Africa – in a hotel in Perth, Australia.