Sabtu, 14 July 2018 (1)
Saya sedikit telat menuju aula meditasi di pagi pertama ini. Kegiatan pagi dianjurkan mulai jam 4:30 pagi. Aula meditasi yang besar ini sudah dipenuhi oleh peserta lain, namun suasananya tetap hening dan remang. Semua orang berusaha berjalan pelan dan tidak mengeluarkan suara saat masuk ke dalam ruangan. Semua orang mengambil tempat yang disukai, ada yang duduk di kursi atau di lantai, dengan alas bantal dan selimut yang tersedia.
Ada serangkaian susunan kegiatan sehari-hari yang dianjurkan bagi peserta (di bawah, diakhir tulisan ini), namun setiap orang diberi kebebasan untuk memilih mengikutinya atau tidak. Ajahn Brahm pernah bercanda, dia sering melihat peserta yang tidak hadir di sesi meditasi, tapi tidak pernah melihat ada yang ketinggalan sarapan atau makan siang.
Peserta kadang tengah berada dalam meditasi yang dalam dan tidak ingin terganggu kegiatan lain, mereka bisa meneruskan meditasinya tanpa harus terikat oleh jadwal kegiatan yang tersusun tadi.
Kegiatan ritual sangat minim, pembacaan sutta (ujaran Sang Buddha) hanya 10 menit saja, dilakukan pada pagi hari dan malam hari. Sutta yang dipilih untuk dilafalkan adalah Karaniya Metta Sutta – renungan kata-kata Sang Buddha tentang kasih sayang tak-berbatas. Sutta dalam bahasa Pali inipun telah diterjemahkan dan dilafalkan dalam bahasa Inggris. Kebetulan, perenungan sutta ini yang paling saya minati sejak lama karena dalam dan membantu melembutkan hati. Dua bait diantaranya lebih kurang demikian:
Jangan menipu orang lain
Atau menghina siapa saja,
Jangan karena marah dan benci
Mengharapkan orang lain celakaBagaikan seorang ibu mempertaruhkan nyawanya
Untuk melindungi anaknya yang tunggal
Demikianlah terhadap semua makhluk
Dipancarkan pikiran kasih sayang tanpa batas
Sesi dhamma talk pagi oleh Ajahn Brahm dilakukan pada jam 8 pagi. Karena saya harus menerjemahkan untuk beberapa teman, saya coba mencatat apa yang disampaikan oleh Ajahn serinci yang saya bisa. Saya sempat mencatat hampir 90 halaman buku tulis A4 dari sekitar hampir 20 sesi selama 9 hari pelatihan meditasi ini. Sejak masa sekolah dulu, baru kali ini saya bisa menulis sampai tetes tinta terakhir dan harus ganti pena baru. Selain untuk menjelaskan kembali kepada beberapa teman yang membutuhkan penerjemahan, catatan ini sangat membantu saya menulis kembali pernik-pernik pelatihan ini.
Jhana Grove dilengkapi dengan perangkat multi media yang cukup canggih. Semua dhamma talk Ajahn Brahm direkam dan disiarkan secara cuma-cuma lewat internet, begitu juga dengan pelatihan kali ini. Saya melampirkan tautan rekamannya di setiap akhir tulisan ini kalau ada yang berminat untuk mendengarkannya (dalam bahasa Inggris).
Ajahn Brahm selalu penuh perhatian dan menyelipkan candaan di setiap dhamma talknya, yang selalu mengundang tawa dan senyum. Ajahn suka menggunakan perumpamaan dan cerita-cerita agar pokok bahasannya mudah dipahami. Oh ya, Ajahn adalah sebutan untuk Guru dalam bahasa Thai: อาจารย์, Achan yang artinya Guru.
Pada sesi pertama dhamma talk (ceramah) pagi ini, Ajahn Brahm mengingatkan kembali agar mengambil posisi duduk yang senyaman mungkin dalam latihan meditasi ini, tidak harus duduk di lantai tapi bisa di kursi, bisa bersandar di tembok, menggunakan bantalan yang cukup dan selimut agar hangat. Badan perlu dibuat nyaman dan santai sebelum memcoba membuat pikiran nyaman dan santai.
Ajahn mengumpamakan senar gitar atau kulit gendang kalau diatur terlalu kencang tidak akan menghasilkan suara yang enak didengar saat dipetik atau ditabuh, malah menyebabkan suara yang bisa memekakkan telinga. Begitu juga badan perlu dibuat sesantai mungkin agar tidak tegang. Saat badan menjadi nyaman dan pikiranpun akan menjadi tenang. Keduanya bekerja dengan prinsip yang sama. Berhentilah mencoba mengendalikan badan dan pikiran kita. Seringkali kita punya begitu banyak ide tentang bagaimana suatu meditasi harus dilakukan tapi tidak ada yang berhasil.
Satu cerita tentang bagaimana meditasi seharusnya dilakukan adalah cerita tentang Tiga Pertanyaan Raja yang dibacanya sewaktu masih menjadi mahasiswa dulu. Kisah yang tidak pernah dilupakan oleh Ajahn Brahm ini adalah tentang tiga pertanyaan yang paling penting di dalam hidup ditulis oleh Leo Tolstoy (penulis Rusia). Pada masa itu ide Eckhart Tolle (seorang spiritualis Jerman) dengan ‘The Power of Now“, Buddhisme dan istilah penyadaran (mindfulness) masih belum banyak dikenal.
Kisah ini membantu untuk mengembangkan meditasi yang lebih mendalam dan lebih mudah. Pertanyaan pertama adalah kapan waktu yang paling penting, kedua adalah siapa orang yang paling penting dan ketiga adalah apa yang hal yang paling penting dilakukan.
Untuk pertanyaan pertama tentu mudah ditebak bahwa ‘saat kini’ adalah waktu yang paling penting. ‘Saat kini’ adalah satu-satunya waktu yang kita punya. Selain itu adalah fantasi, mimpi, ingatan dan harapan yang tidak berpijak pada kenyataan. Berapa sering kita memperdebatkan siapa yang melakukan ini atau siapa yang bilang itu. Kita begitu banyak berdebat satu sama lain tentang masa lalu dan masing-masing kita sama sama merasa benar dan tidak ada cara untuk memastikannya kebenaran itu. Seberapa baik ingatan kita tentang dimana posisi sandal yang kita letakkan di luar tadi, atau seberapa sering kita lupa dimana kita memarkirkan mobil di tempat parkir di mall.
Saya kebetulan pernah nonton salah satu serial ‘Magic for Humans’ Justin Willman (seorang pesulap actor, pelawak Amerika) yang ‘membuktikan’ bahwa ingatan manusia begitu tidak bisa diandalkan. Dalam ‘reality show’ ini, Justin berperan sebagai pencuri tas yang dititipkan oleh pemeran lain kepada beberapa orang yang duduk di satu tempat minum umum. Justin datang dan melakukan percakapan singkat dengan ‘calon korban’ menanyakan siapa yang duduk disitu. Kemudian dengan cepat merampas tas yang dititipkan tersebut. Ini membuat panik orang-orang tadi. Hanya sesaat kemudian (dalam hitungan detik – karena dia tukang sulap), dia kembali menemui orang-orang yang panik ini, tapi kali ini sebagai polisi dengan seragam lengkapnya, menanyakan apa yang terjadi dan ciri-ciri pencuri. Bisa dipastikan tidak ada yang mengenali bahwa polisi yang menanyain mereka adalah pencuri itu, dan penjelasan saksi tentang ciri-ciri pencuripun beragam.
Ajahn menyelipkan satu cerita lama tentang seorang yang datang membantu pembangunan biara Bodhinyana. Pada waktu itu belum ada pusat meditasi Jhana Grove. Orang tersebut datang dan tinggal untuk beberapa bulan hanya untuk membantu pembangunan biara. Dia tidak menikah dan tidak punya keluarga. Satu-satunya yang dia miliki adalah motor gede Harley Davidson yang menemani dia menikmati perjalanan. Dia begitu suka dengan motornya, bukan untuk suatu status sosial tetapi karena motornya memberi dia begitu banyak kebebasan kemanapun dia mau pergi, berkeliling Australia, pergi berkumpul dengan komunitas spiritual, atau kemanapun dia suka.
Dia seorang yang sangat suka membantu, dia sering memasak untuk semua orang. Ajahn Brahm malah tidak tahu apakah dia seorang Buddhis atau bukan. Tapi dia seorang yang sangat spiritual.
Suatu kali dia pergi berbelanja ke satu mall besar di Sydney. Setelah memarkirkan motornya, dia pergi berbelanja. Sekembalinya ke tempat parkir, dia tidak menemukan motor gedenya ditempat semula, motornya telah dicuri orang. Satu-satunya harta miliknya yang begitu berharga, yang selama ini telah menemani dia dan memberikan banyak kebebasan, telah dicuri orang. Dia menurunkan tas belanjaannya, dia mulai menyadari ini akan merubah hidupnya, dia telah kehilangan sesuatu yang begitu berharga, dan telah hilang diambil orang.
Karena dia seorang yang spiritual, dia mulai merenungkan kehilangan ini seperti meninggalnya orang yang dia cintai. Dia bilang, dia sudah mengalami begitu banyak kebahagiaan bersama motor ini dengan ingatan-ingatan yang indah, namun dia juga menyadari tidak ada suatu apapun yang akan bertahan selamanya. Kebebasan dia untuk bermotor berkeliling Australia telah berakhir. Dia mulai melepas.
Dia berharap, siapapun yang mengambil motor ini, semoga orang itu akan juga menikmatinya dan mengalami masa-masa indah seperti yang dia nikmati bersama motornya. Dia telah melepas.
Sesaat kemudian, dia baru menyadari bahwa dia ada di lantai yang salah, bukan di lantai dimana dia memparkirkan motornya… dia akhirnya menemukan motornya masih di tempatnya.
Dia menulis surat kepada Ajahn Brahm menceritakan kejadian ini. Dia menceritakan betapa dia terkesan disertai dengan rasa bahagia yang membebaskan saat dia bisa melepas sesuatu yang begitu dia cintai dengan cara demikian. Dia merasa semua itu adalah buah latihan dan pemahaman dia tentang ajaran kebenaran akan hakekat segala sesuatu.
Pada saat kita melepas tidak menggenggam, hidup akan menjadi lebih mudah, membahagiakan dan membebaskan; begitu juga berlaku untuk tubuh dan pikiran kita.
Selalu, Ajahn begitu piawai menceritakan kisah-kisah ini dengan selingan canda dan kelucuan yang tidak bisa tertuang dalam tulisan ini. Untuk itu, kalau tertarik, ada baiknya mendengarkan langsung dari rekaman berbahasa Inggris di tautan di bawah tulisan ini.
Kisah Tiga Pertanyaan Raja ini masih akan bersambung…
Di kamar kecil di barak tempat kerja di Boddington, 17 September 2018
Rekaman Morning Dhamma Talk Ajahn Brahm – 14 July 2018 (Track 01): http://www.podbean.com/media/share/pb-d2dze-961685
Jadwal Kegiatan yang dianjurkan:
- 4:00 – 4:30: bangun dan bersiap
- 4:30 – 5:00: meditasi jalan
- 5:00 – 6:00: meditasi duduk
- 6:00 – 6:10: pembacaan Paritta
- 6:10 – 6:45: meditasi jalan
- 6:45 – 8:00: sarapan
- 8:00 – 9:00: pengajaran Dhamma dari Ajahn Brahm
- 9:00 – 10:00: meditasi jalan
- 10:00 – 11:00: meditasi duduk
- 11:00 – 13:00: makan siang dan istirahat
- 13:00 – 14:00: meditasi jalan
- 14:00 – 15:00: meditasi duduk
- 15:00 – 16:00: pengajaran Sutta dari Ajahn Brahm
- 16:00 – 17:00: meditasi jalan/duduk atau waktu pribadi
- 17:00 – : minum teh sore
- 18:30 – 19:00: meditasi jalan
- 19:00 – 19:50: meditasi duduk
- 29:50 – 20:00: Pembacaan Paritta
- 20:00 – 21:00: tanya jawab dengan Ajahn Brahm
- 21:00 – : istirahat atau melanjutkan meditasi
One thought on “Pernik-Pernik Pelatihan Meditasi 9 Hari oleh Ajahn Brahm – Juli 2018 (4)”