Mengatasi Lima Rintangan

Master Shi Heng Yi menjelaskan dengan lugas lima rintangan untuk meraih suatu pencapaian dalam kehidupan. Rintangan-rintangan ini dikenal dalam latihan meditasi atau latihan spiritual secara umum, yang kelihatannya cukup relevan dengan kehidupan sehari-hari. Lima rintangan tersebut adalah kesenangan indrawi (kama-chanda), niat buruk (byapada), kemalasan (thina-middha), kegelisahan dan penyesalan (uddhacca-kukucca) dan keragu-raguan (vicikiccha). Yang disebutkan dalam kurung adalah bahasa Pali.

Master atau Suhu adalah sebutan untuk biarawan buddhis dari tradisi Mahayana di China. Master Shi Heng Yi dari biara Shaolin yang masih muda ini berbicara di forum TED, satu forum yang memfasilitasi penyampaian ‘ide-ide yang bermanfaat dan layak disebarkan’ dari komunitas setempat di seluruh dunia.

Master Shi Heng Yi yang lahir di Jerman menamatkan perguruan tinggi dengan dua gelar kesarjanaan, dan menjalani kehidupan layaknya pemuda lain. Dari apa yang dia pelajari, dia memahami banyak hal, bagaimana planet bekerja, apa unsur-unsur suatu atom, dan bagaimana sistim politik berfungsi, tapi dia merasa ada satu mata pelajaran yang kurang, yaitu belajar tentang dirinya sendiri.

Dia sudah dikenalkan dengan kehidupan monastik (biara) sejak usia yang sangat diri, 4 tahun. Di kemudian hari dia mendapati bahwa bagian utama dari latihan dalam kehidupan monastik adalah untuk belajar dan menemukan diri sendiri. Dia akhirnya memilih menjalani kehidupan monastik di biara Shaolin dan berlatih ilmu beladiri kungfu. Biara Shaolin dikenal dengan pelatihan spiritual yang ketat dan pengajaran ketangkasan ilmu beladiri yang menuntut kedisiplinan tinggi.

Dibawah ini adalah tautan dari sesi paparannya untuk komunitas TED.

Rasanya cukup logis bahwa lima rintangan juga cukup relevan dengan kehidupan awam, merintangi pencapaian di banyak aspek kehidupan. Master Shi Heng Yi menggambarkannya dengan apik lewat perumpamaan keinginan seseorang untuk mendaki gunung dan bagaimana semua pengetahuan yang didapat dari orang lain hanyalah sebagai petunjuk jalan tapi tidak bisa membawa kita sampai ke puncak. Dan penunjuk tersebut tidak akan bisa memberikan penjelasan bagaimana rasanya berada sendiri dipuncak. Juga penjelasan tentang bagaimana lima rintangan tersebut bermanifetasi dalam konteks perumpamaan mendaki gunung tersebut. Semua rintangan ini berakar dari keadaan pikiran (state of mind).

Kesenangan indriawi muncul saat perhatian tertumpu pada kesan yang menyenangkan yang masuk lewat 5 pintu indera sehingga menimbulkan keterikatan. Sementara niat buruk muncul saat pikiran tertumpu pada perasaan negatif yang menumbulkan penolakan. Kemalasan diartikan sebagai tubuh yang enggan bergerak dan pikiran yang tumpul yang ditandai dengan kelesuan jasmani, hilangnya motivasi hingga depresi. Kegelisahan artinya pikiran tidak bisa diajak untuk berada di saat kini, selalu berkeliaran menyesali masa lalu dan menghawatirkan masa depan, dibaratkan dengan monyet yang tidak bisa diam yang melompat dari satu dahan ke dahan yang lain terus menerus sehingga tidak ada kesempatan untuk melihat segala sesuatu dengan jelas sebagaimana apa adanya. Keragu-raguan diartikan sebagai ketidak-yakinan pada jalan yang ditempuh yang diindikasikan dengan ketidak-mampuan mengambil keputusan jalan yang harus ditempuh. Semua rintangan ini berpotensi menghentikan usaha untuk mencapai tujuan.

Yang mungkin lebih menarik adalah paparan tentang cara mengatasinya rintangan-rintangan tersebut, yang tidak begitu lazim dipahami karena berlatarbelakang latihan spiritual. Cara mengatasi rintangan-rintangan tersebut disebutkan ada 4 yaitu: kenali (recognize), terima (accept), cari tahu (investigate), dan tidak mengasosiasikan diri (non-identify). Karena semua rintangan ini berakar dari kedaaan pikiran, maka cara mengatasinya pun berhubungan dengan pematangan batin.

Pertama, kenali atau sadari keadaan batin kita saat menghadapi rintangan tersebut. Kedua, belajar menerima dan mengenali keadaan atau seseorang sebagaimana dia apa adanya. Kemudian cari tahu dan pahami bagaimana keadaan pikiran dan perasaan, dan bertanya pada diri sendiri mengapa keadaan pikiran dan perasaan ini muncul dan apa akibatnya kalau tetap berada dalam keadaan pikiran atau perasaan tersebut. Yang terakhir adalah tidak mengasosiasikan diri sebagai sesuatu yang bukan bagian dari diri. Aku bukanlah tubuh ini, aku bukanlah pikiran ini, dan aku bukanlah perasaan ini. Hanya dengan cara ini kita bisa melihat ‘aku’ yang sebenarnya. Yang terakhir ini adalah salah satu aspek dari latihan meditasi untuk melihat ‘aku’ yang sebenarnya, yang katanya ‘kosong’ itu…

Sebagai penutup, Master Shi Heng Yi menyampaikan:

Seluruh kehidupan kita terlalu unik untuk hanya meniru masa lalu orang lain agar memberi arti dalam hidupmu, untuk membawa nilai dalam hidupmu. Kamu perlu belajar dan memahami dirimu sendiri dan tidak membiarkan rintangan-rintangan ini menghentikanmu. Jika ada diantara kalian yang memilih menapaki jalan untuk melihat kecerahan (di puncak), saya akan dengan sangat senang hati menemui anda di puncak itu.

Master Shi Heng Yi
ada dua kesalahan dalam menapaki jalan pencapaian: tidak memulainya dan tidak menyelesaikannya

Di bawah ini satu tautan filem dokumenter tentang biara Shaolin Eropah, di Jerman, tempat dimana Master Shi Heng Yi bermukim, berlatih, dan mengajar murid-muridnya. Suasana sekitar yang damai, tenang, dan asri di sekeliling biara sangat menyejukkan hati…

Perth, 25 July 2020.

Stay Strong – Tetap Kuat

Saya tahu salah satu kegiatan peduli penderita kanker oleh Yayasan Ehipassiko dengan program Stay Strong, tetapi saya tidak tahu kalau pencetus dan penggeraknya, Yin Natadhita adalah seorang yang sembuh dari kanker (cancer survivor). Yin adalah istri dari teman yang saya kenal baik Handaka Vijjananda, pendiri Yayasan Ehipassiko (https://ehipassiko.or.id). Saya baru tahu dari membaca e-book yang diterbitkan oleh Yayasan Ehipassiko, Stay Strong – Aku Hidup dengan Kanker.

Yin dengan bukunya

Membaca buku Yin, saya menyadari begitu teguh dan melepasnya seorang Yin dan Handaka saat Yin menjalani masa-masa sulit tersebut hidup dengan kanker lidah. Saya tahu persis bagaimana sulitnya masa-masa seperti itu. Salah satu adik kandung saya sendiri adalah seorang mantan penderita kanker dan melewati masa sulit yang panjang berobat yang sangat menguras fisik, mental dan finansial. Sangat bersyukur semuanya dapat dilewati dengan baik.

Judul ‘Saya Hidup dengan Kanker’ pun menyiratkan keteguhan penyandangnya bahwa dia tidak mengingkari kenyataan tapi ‘hidup dengan’ kenyataan itu.

Buku dengan design grafis yang ringan dan segar yang ditulis dengan bahasa yang jernih dan santai, lengkap dengan informasi gejala, proses diagnosa, fase-fase perkembangan kanker yang dialami dan proses pengobatannya. Kekuatan utama tulisan dalam buku ini adalah pola pandang dan sikap mental seorang Yin melihat kenyataan yang dihadapi, dan semangat dalam menjalani pengobatan – yang sangat menginspirasi. Pola pandang dan sikap mental ini rasanya akan banyak membantu untuk lebih realistis dan dapat mengambil tindakan yang lebih logis. Saya cukup yakin ini sangat tidak mudah, dan butuh banyak perenungan, ketegaran dan pelepasan selama menjalani masa-masa sulit itu.

Biasanya cerita tentang kanker memberi kesan mengerikan dan meyedihkan. Namun Yin bisa begitu ringan dan mengalir menceritakan pengalamannya, cerita termasuk makan durian musang king sehari setelah dioperasi bersama sahabatnya. Ilustrasi apik dan lucu juga berperan menghilangkan kesan seram.

Banyak ungkapan atau kutipan dalam buku ini yang melukiskan betapa kematangan batin seseorang membantu melewati masa-masa sulit ini.

Why me? (kenapa harus saya?) Why not? (kenapa tidak?)

This too will pass… (Inipun akan berlalu…)

Sering dikatakan bahwa pengalaman akan penderitaan yang dalam adalah bagian dari perjalanan spiritual yang dapat mentransformasi batin seseorang ‘tercerahkan’ lewat perenungan di keheningan batin yang dalam atau lewat jalan kebenaran religius yang diyakini, dan biasanya orang tersebut menjadi lebih melepas, lapang, bahagia, dan bijak. Rasanya, Yin dan Handaka telah menyelami itu semua.

Kanker telah membuatku menjadi lebih berani, lebih tabah, lebih bijak. Lebih berani menikmati hidup dan lebih berani memberi. Aku tidak biarkan ketakutan menguasaiku. Kalau tidak kambuh, aku syukuri. Kalau kambuh, aku hadapi dengan tabah. Aku menjadi lebih tidak memusingkan kerisauan remeh. Kanker membuatku lebih bisa melihat, mana yang betul-betul penting dan mana yang sebaiknya diabaikan.

Yin Natadhita

Buku ini akan dapat membantu yang sedang hidup dengan kanker, yang telah sembuh, dan keluarganya akan apa yang sebaiknya dilakukan pada masa sulit tersebut, serta menginspirasi untuk tetap semangat, menerima, tabah sekaligus kuat menjalani apa yang dialami – terlepas dari apapun hasil akhirnya. Dan menginspirasi mereka yang beruntung tidak harus hidup dengan kanker untuk bersyukur dalam menjalani hidup mereka, dan kalau ada kebercukupan bisa ikut membantu sesama yang kurang beruntung.

Buku yang ditulis dibagikan secara cuma-cuma agar dapat bermanfaat bagi orang banyak. Untuk bisa menyelami, ada baiknya baca langsung bukunya.

Bukunya dapat diunduh dan dibagikan secara cuma-cuma di tautan berikut ini:

https://drive.google.com/file/d/1DAcfpSzVGOhdT9l7HztQBKykXuiVow2h/view

Tidak hanya membagi pengalaman dan inspirasi, Yin bersama tim relawan dan dermawan menggerakkan satu program Cancer Care lewat Ehipassiko Foundation untuk memberikan bantuan rutin berupa dana, suplemen, pendampingan, dan panduan meditasi kepada penderita kanker yang tak mampu, serta beasiswa bagi anaknya. Sejak 2013, para relawan Cancer Care telah melayani banyak penderita kanker dari anak sampai manula di berbagai desa dan kota di Indonesia. (https://ehipassiko.or.id/cancer-care/)

Saya turut berbahagia dengan kesembuhan dan kedewasaan batin yang diraih oleh Yin dan juga Handaka, serta kagum dan hormat dengan usaha mereka untuk memberi dan pengabdian untuk membantu sesama. Sungguh bermanfaat dan menginspirasi…

— o —

Catatan Tambahan 13 Juli 2020:

Pada tanggal 13 Juli 2020, saya menghubungi Handaka setelah saya mengetahui bahwa Yin harus kembali meneruskan perawatan karena ditemukan ada penyebaran dan telah menjalankan operasi ke tiga. Seperti biasa kami chat dengan hangat di WA. Yin pun terlihat semangat menjalani perawataan dan tetap ceria berbagi cerita lewat Facebooknya. Semangat, ketabahan, dan ketenangan yang mencerminkan kwalitas dan kedewasaan batin yang dalam…

Sejak itu Yin dan Handaka sering mengisi diskusi online berbagi pengalaman dan menginspirasi di dalam komunitas Ehipassiko Foundation maupun lintas komunitas dengan teman-teman Zen misalnya, dan berdiskusi dhamma yang dalam termasuk studi Tripitaka dimana Handaka sedang mengerjakan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Saya sempat mengikuti beberapa diantaranya.

Berikut adalah salah satu yang saya ikuti, dipandu tengan Saudara Agus Santoso – ketua Chan Indonesia, Fu Yin berbagi cerita dan pengalamannya. Keteguhan dan kematangan batin seorang Fu Yin sangat menginspirasi…

— 0 —

Tanggal 28 December 2020, saya mendapat kabar dari adik saya bahwa Yin telah pergi meninggal dunia ini pada hari itu. Saya menghubungi Handaka lewat pesan tertulis tanpa ingin mengganggu kekhusukan dia untuk dirinya dan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang tentu akan cukup melelahkan.

Pada tanggal 04 Januari 2021, dari Ehipassiko saya menerima buku Stay Strong – Grand Finale, dengan tambahan catatan penutup dari Handaka. Buku ini dipersembahkan sebagai Legacy of Love (Warisan Kasih) dari Fu Yin Natadhita.

Semoga kekuatan persahabatan dalam kebajikan dan kasih ini turut mengantar sis Fu Yin Natadhita menapaki jalan menuju kebahagiaan tertinggi…

“Apa pun yang datang dalam hidup, aku sambut”

Yin Natadhita 1984 – 2020

— 0 —

Catatan tambahan 21 Maret 2021

Handaka yang mengasuh program Studi Sutta (Kitab Ajaran Buddha) berbagi pengetahuan dan pembelajarannya tentang detik-detik menjelang ajal dan bagaimana baiknya mengantar yang berangkat. Handaka berbagi dan bercerita dengan keceriaan, ketenangan, keteguhan dan keseimbangan batin yang sangat mengagumkan – mengingat ini adalah kisah pribadi; ditambah kedalaman pengetahuannya dalam memaparkan sutta-sutta yang berkaitan topik ini – sungguh luar biasa dan sangat mencerahkan. Berikut ini adalah tautannya di Youtube.

Kurang dari 3 bulan kemudian, 21 Maret 2021, Yayasan Ehipassiko memfasilitasi dua dharma talk sekaligus sebagai pelimpahan jasa bagi Fu Yin, sesuatu yang begitu indah dilakukan oleh orang-orang yang mencintainya.

Di bawah ini adalah tautannya di Youtube, dua dhamma talk yang sangat mencerahkan dari Ajahn Brahm dan salah satu murid utamanya, Ajahn Brahmali yang diikuti oleh lebih dari 2000 orang secara online lewat Zoom dan Youtube – tentang bagaimana melihat kehidupan ini sebagaimana adanya dan bagaimana sikap batin yang benar menyikapi fenomena kehidupan ini. Acara dibuka dengan apik oleh Handaka, dimoderatori dengan sangat baik oleh Kartika, dan diterjemahkan oleh Tasfan dengan ketepatan yang luar biasa.

Ehipassiko juga menerbitkan serial kartun ‘Uncle Singlet – Kopitiam Zen’ yang menampilkan tokoh Uncle Singlet yang merupakan personifikasi dari Handaka dalam menyampaikan wejangan-wejangan bijak – salah satu yang dicita-citakan oleh Yin…

— 0 —

Sahabat dalam Kebajikan ~ Kalyāṇamitta

Saya mengenal Handaka sekitar tahun 2006. Dia mungkin 4 atau 5 tahun lebih muda dari saya. Waktu itu dia bekerja sebagai country manager untuk Myanmar dari satu perusahaan farmasi Indonesia. Saya masih bekerja di satu tambang emas di Sepon, pedalaman Laos. Saya sudah lupa bagaimana kami berkenalan. Kalau tidak salah dari korespondensi ketertarikan menerjemahkan beberapa buku buddhis ke dalam bahasa Indonesia. Kami janjian bertemu di Bangkok saat saya rotasi kerja dalam roster flying-in/flying-out dari Indonesia dan bermalam di Bangkok sebelum menuju ke Laos lewat Ubon Ratchathani dan Mukdahan, menyeberang ke Savannakhet di Laos dan menuju ke lokasi tambang di Sepon. Sementara Handaka dalam perjalanan pulang dari Myanmar ke Indonesia dan mampir di Bangkok. Kami bertemu di hotel tempat saya menginap. Pertama kali kami bertemu dan mengobrol sampai menjelang subuh. Setelah itu kami berpisah.

Saya hanya sempat membantu menerjemahkan satu buku, kalau tidak salah buku Vipassana Meditation karangan seorang mpu meditasi dari Myanmar – Mahasi Sayadaw, yang kemudian diterbitkan oleh Yayasan Ehipassiko.

Sekitar tahun-tahun segitu Yayasan Ehipassiko mulai dirintis oleh Handaka, yang sekarang menjadi penerbit buku-buku buddhis terbesar di Indonesia beserta banyak program sosial lain yang digerakkan oleh banyak relawan dan dermawan, diantaranya untuk abdi desa, beasiswa, kasihan binatang, dan peduli penderita kanker, bakti sosial lintas agama, juga termasuk menyelenggarakan kunjungan tahunan Ajahn Brahm ke Indonesia.

Pertama kali saya menghubungi Handaka kembali di tahun 2016 setelah kurang lebih 10 tahun tidak saling berhubungan. Saat itu satu tahun peringatan wafatnya ibu saya. Sewaktu di Perth, saya memohon kepada Ajahn Brahm untuk bersedia melakukan doa pelimpahan jasa untuk mendiang ibu saya. Beliau malah menawarkan untuk melakukannya di Pangkalpinang saat kunjungan beliau ke sana bertepatan dengan hari peringatan 1 tahun dan menganjurkan saya menghubungi Handaka. Ketika saya hubungi hanya lewat text, tanpa keraguan Handaka langsung mengiyakan permintaan bantuan saya dan terus berkoordinasi dengan tim panitianya di Pangkalpinang dalam waktu yang sangat dekat untuk meluangkan waktu Ajahn Brahm di tengah talkshow untuk melakukan kegiatan doa ini.

Saya sangat beruntung mendapat kesempatan yang langka ini.

https://www.facebook.com/notes/lim-eka-setiawan/a-year-of-passing/10154091132429035/

Itu pertama kali saya bertemu dengan Yin, di Pangkalpinang di tahun 2016. Yin kebetulan punya orang tua berasal dari Bangka, tepatnya dari Jebus (Nampong). Pertemuan berikutnya dengan Handaka dan Yin di retret meditasi dan acara ulang tahun Ajahn Brahm dimana Handaka membawa rombongan dari Indonesia pada tahun 2017 dan juga tahun 2018 di Perth, Australia Barat. Saya tidak ikut lagi kegiatan tahun berikutnya karena tugas kerja di Ghana, Afrika.

Kami memang jarang bertemu, tapi hangat dan mengobrol akrab kalau sudah bertemu. Tidak ada yang mempertanyakan kenapa tidak saling menghubungi diwaktu biasa. Saya percaya persahabatan yang tulus memang seharusnya membebaskan dan tidak mengikat.

Saat pertama bertemu Yin, dan 10 tahun bertemu kembali dengan Handaka di Pangkalpinang 12 April 2016. (Handaka dan Yin, Christine dan saya)

Perth, 11 July 2020.

#cancercare #gunduliscool #staystrong

Mengapa Mereka Memilih Menapaki Jalan Hening Ini

Why They Choose to Walk This Silent Path – English version is at the very bottom section.

Sebagian kita berpikir bahwa mereka yang memilih jalan hening dalam kehidupan monastik atau membiara adalah orang-orang yang putus asa, patah hati, atau bahkan melarikan diri dari kenyataan.

Setahun yang lalu saya pernah ditanyai oleh kerabat dari salah satu bhikhuni (biarawati buddhis) muda orang Indonesia yang melatih diri di Dhamasara Nun Monastery (yang diasuh oleh Ajahn Brahm) di Perth, Western Australia. Kerabat ini tinggal di Perth dan masih mempunyai hubungan keluarga dengan orang tua biarawati tersebut. Saya rasanya tahu dengan bhikhuni muda yang mereka maksudkan, karena saya pernah satu kali mengunjungi biara tersebut yang memang terletak jauh diluar kota dan dikelilingi hutan.

Kerabat dari bhikhuni ini mengutarakan keprihatinan mereka akan keputusan wanita muda itu untuk menjadi bhikhuni, meninggalkan kehidupan yang begitu nyaman, profesi dokter (kalau tidak salah), dan dari keluarga yang tergolong berada di Jakarta. Apalah yang kurang dari kehidupan yang berkecukupan yang dia jalani sebelumnya, katanya. Juga tentang keprihatinan bahwa biarawati ini terisolasi tinggal di biara yang jauh dan tidak bebas bisa dikunjungi sewaktu-waktu. Ada kesan bahwa biarawati tersebut sedang mengalami kehidupan yang penuh penderitaan.

Saya hanya bilang bahwa sangat mungkin bhikhuni tersebut tengah memulai kehidupan yang penuh kedamaian sesuai apa yang dia inginkan.

Mereka juga menyampaikan bahwa orang tua mereka, yang kebetulan mengelola satu vihara di Jakarta, akan ngelangsa karena ‘kehilangan’ anak gadis mereka. Saya hanya bilang, kalau orang tua mereka adalah orang yang juga dekat dengan ajaran yang sama, kemungkinan sekali mereka bisa mengerti dan melepas, dan tidak menderita seperti apa yang dibayangkan.

Terakhir saya dengar bahwa bhikhuni tersebut sudah kembali ke Indonesia.

Kenapa harus menempuh kehidupan membiara? Menurut saya itu adalah satu pilihan pribadi, tentu dengan semua konsekwensinya; sama halnya saat kita memilih kehidupan ‘normal’ yang kita jalani sekarang. Terus apa peran mereka untuk masyarakat dengan jalan hidup seperti itu? Pendapat saya, setiap orang bertanggung-jawab pada kebahagian masing-masing, dan mereka mencari dan menjalaninya tanpa mengganggu atau merugikan orang lain. Lebih dari itu, mereka menyediakan diri untuk berbagi kebahagian yang mereka rasakan dan menuntun dan menginspirasi orang-orang agar mendapatkan kebahagiaan untuk mereka masing-masing. Tidak sedikit yang mengabdikan diri pada kemanusiaan dan berbagi kasih yang tak berbatas.

menapaki sang Jalan – walking on the Path

— 0 —

Tidaklah aneh pendapat sebagian orang awam terhadap pilihan menjalani kehidupan membiara ini, khususnya dari kalangan yang berbeda keyakinan. Apalagi itu dilakukan oleh seseorang yang relatif muda adalah sesuatu yang lebih tidak lazim lagi. Dulu sekali, saat pertama kali melihat seorang biarawan buddhis, saya juga bertanya dalam diri, mengapa mereka mengambil jalan sunyi seperti ini, apa yang mereka cari.

Sebagian kita mungkin menganggap mereka melarikan diri dari ‘kenyataan’ hidup. ‘Kenyataan’ hidup bagi umumnya kita adalah dari kecil bersekolah, terus mencari nafkah, berjuang dalam kehidupan, hidup sukses, berkeluarga, beranak-pinak, menjadi tua, dan mati, dan tentu dengan harapan masuk dalam kehidupan surga abadi setelah kematian (sesuai dengan keyakinan masing-masing). Pilihan menapaki kehidupan sunyi lewat jalan spiritual bukanlah kehidupan lumrah.

Benarkah mereka itu melarikan diri dari kenyataan? Kenyataan yang mana? Atau bukan justru kita yang melarikan diri dari kenyataan? Saat kita bosan, kita mencari kesibukan untuk menghilangkan kebosanan kita; saat sedih kita melarikan diri dengan mengalihkan perhatian dari kesedihan itu lewat hiburan, makanan, bahkan tidak jarang lewat minuman keras atau obat-obatan. Saat berhadapan dengan penderitaan yang dalam, kita bingung dan ngelangsa. Kita tidak suka dan marah dengan situasi ketidaknyamanan – yang sebenarnya adalah bagian kenyataan dari kehidupan ini. Saat menyenangi sesuatu, kita ingin terus memiliki kesenangan tersebut, dan mengejar kesenangan yang lebih tinggi – dari kesenangan indriawi dasar hingga kebahagiaan yang lebih tinggi. Tidak banyak kesempatan bagi kita untuk benar-benar memahami rasa bosan kita, rasa sakit kita, penderitaan kita, bahkan rasa bahagia kita. Kita terus menghindar dari ketidaknyamanan dan melekat pada kenyamanan.

seorang bhikkhu tradisi hutan di zaman moderen, dengan bawaan semua yang dia ‘miliki’

Sementara, mereka berhenti, melihat ke dalam diri mereka di keheningan, berhadapan langsung dengan semua perasaan mereka, rasa bahagia mereka, penderitaan mereka termasuk rasa takut mereka. Pada tingkat awal, mereka melatih diri untuk menyadari sensasi tubuh dan gerak pikiran, belajar melihat bagaimana saat berbagai fenomena indria bersentuhan dengan pikiran yang kemudian menimbulkan berbagai perasaaan tergantung pengkondisian batin mereka. Mereka mengamatinya, berusaha tidak terikat, dan membiarkannya berlalu. Suara dari luar misalnya, itu hanyalah suara, bukanlah masalah. Saat bersentuhan dengan pikiran, mereka melihat perpaduan obyek dan pikiran menimbulkan rasa menyenangkan, netral, atau tidak menyenangkan. Mereka mengamati perasaan ini timbul dan tenggelam, berusaha untuk tidak melekat atau menggenggamnya, dan membiarkannya berlalu. Begitu juga dengan fenomena indera lainnya dari pengelihatan, sentuhan, pengecapan, penciuman dan ingatan dari pikiran itu sendiri.

Mereka menyelami duka sebagai duka, netral sebagai netral, bahagia sebagai bahagia; tidak lebih dan tidak kurang; dan semua itu datang dan pergi, timbul dan tenggelam; sebagai suatu rangkaian kenyataan hidup yang hakiki. Tidak ada duka yang tak berujung, pun tidak ada kebahagiaan yang terus menerus. Penderitaan timbul saat kita mulai menginginkan lebih dari itu. Kita ingin hal yang menyenangkan terus bertahan atau menginginkan hal yang tidak menyenangkan terus terhindar dari kita. Pengingkaran akan hal yang tidak menyenangkan dan keterikatan pada hal yang menyenangkan diyakini sebagai penyebab bagi kerumitan kehidupan manusia.

Dengan latihan dan kemudian pengetahuan dari melihat/mengalami langsung, maka timbul pemahaman dan kebijaksaan. Pemahaman dari pengalaman ini memberi peluang untuk bebas dari budak gejolak perasaan, melihat kenyataan apa adanya dari ilusi pikiran dan perasaan, membiarkan semua berlalu, dan mengalami kedamaian, ketenangan dan sukacita yang lebih dalam dan halus melalui pelepasan. Tentu saja, ini hanya awal dari jalan hening yang mereka tapaki.

Penderitaan yang dialami seseorang bisa memberi peluang untuk lebih bisa memandang hidup ini lebih dekat dengan kenyataan yang sebenarnya, dan kadang dapat mentransformasi batin seseorang ‘tercerahkan’. Eckhart Tolle seorang spiritualis asal Jerman, yang terkenal dengan “The Power of Now” mengalami ‘pencerahan batin’ setelah mengalami penderitaan dan pergolakan batin hebat di masa mudanya. (https://en.wikipedia.org/wiki/Eckhart_Tolle)

— 0 —

Di Boddhinyana Monastery di Serpentine, Perth, banyak biarawan muda. Salah satunya adalah orang Indonesia, Bhikkhu Ananda yang saya kenal baik. Beliau dari Jakarta dan lama menetap di California, Amerika Serikat sebelum datang ke Australia untuk mendalami kehidupan spiritual dan terakhir mengambil keputusan untuk menjadi seorang biarawan.

Sekilas yang saya tahu, Bhikkhu Ananda sudah tertarik dengan meditasi sejak dini, mengikuti berulang kali pelatihan meditasi yang diajarkan oleh G.N. Goenka (https://en.wikipedia.org/wiki/S._N._Goenka) di California. Terakhir merasa lebih berkembang dengan pola meditasi yang diajarkan oleh Ajahn Brahm lewat pola yang lebih melepas dan santai.

Datang ke Bodhinyana di tahun 2017 untuk mengikuti pelatihan meditasi dan meneruskan menjadi anagarika (pelayan bhikkhu) selama 1 tahun sebelum ditahbiskan sebagai samanera (bhikkhu dalam masa latihan). Saya menghadiri penahbisannya untuk menjalani kehidupan awal kebiarawan (samanera) di April 2018, dan penahbisan sebagai bhikkhu di Juni 2019.

Saya ingin punya kesempatan mengenal dan belajar lebih banyak dari beliau, dan berkesempatan untuk menceritakannya kembali dalam tulisan suatu saat.

Permohonan penahbisan menjadi samanera (biarawan pemula) seorang Handri menjadi Samanera Ananda, 26 April 2018.
Upacara penahbisan bhikku Ananda di Bodhinyana 12 Juni 2019

— 0 —

Bhikkhu Sumangalo, seorang bhikkhu muda yang lain dari Bodhinyana, menceritakan latar belakang mengapa dia memilih kehidupan sebagai seorang biarawan buddhis dalam satu sesi dhamma talk dalam program rutin Buddhist Society Western Australia (BSWA) yang disiarkan langsung lewat Youtube, pada tanggal 7 Juni 2020. Sebelum menjadi bhikkhu, beliau adalah anagarika (orang yang mendedikasikan diri melayani bhikkhu) di biara Bodhinyana di Serpentine, Western Australia. Saya sering melihat dia di dapur umum biara dan bersih-bersih, saat saya berkunjung ke sana. (https://youtu.be/pw2N0_p5jBk)

Kehidupan awam Bhikku Sumangalo, berimigrasi mengikuti orang tuanya dari Vietnam Selatan di tahun 1987, melewati masa kecil dan remaja juga di California, di kawasan teknologi Silicon Valley yang terkenal itu. Lulus dari perguruan tinggi jurusan teknologi informasi dan keuangan, dia menjalani kehidupan layaknya semua pemuda di usia dan masanya.

Sejak awal dia sudah ada banyak pertanyaan dibenaknya bahwa kehidupan ini lebih dari sekedar apa yang tampak dan dijalani oleh hampir semua orang, tamat sekolah, mencari pekerjaan, meniti karir, hidup berkeluarga, sukses. Dia juga menjalani kesenangan-kesenangan layaknya kehidupan pemuda di kota yang menyediakan banyak hiburan. Dia mulai melihat semua itu adalah kesenangan materialistis yang tidak langgeng.

Hati kecilnya menyatakan hidup lebih dari itu. Dia mulai mencari dan mendengarkan kata hatinya yang lebih dalam. Dalam pencariannya, dia menyukai meditasi karena memberi peluang untuk benar-benar melihat ke dalam batinnya. Dia melihat lebih jelas dalam keheningan batinnya akan arti kehidupan ini, bukan sesuatu yang didapatkan dari membaca buku, proses kepintaran berpikir, kata orang pintar atau orang bijak. Jawabannya selalu ada didalam keheningan batin.

Perjalananan membawa banyak kedamaian dan sukacita yang membuat dia memutuskan untuk terus menapaki pencarian ini. Dia mengunjungi biara hutan Bodhinyana di Australia Barat beberapa kali untuk berlatih. Akhirnya, dia memilih untuk mencoba kehidupan monastik agar lebih fokus. Dia ditahbiskan menjadi samanera di tahun 2017 dan menjadi bhikkhu di tahun 2018. Kalau tidak salah saya hadir diupacara penahbisan tanggal 12 April 2018 malam hari di Bodhinyana Monastery atas undangan teman Indonesia, Handri, yang kemudian menjadi Bhikkhu Ananda yang saya ceritakan diatas.

— 0 —

Bhikkuni Canda, seorang biarawati buddhis yang sekarang tinggal di Inggris, juga berbagi perjalanannya dalam “My Life As A Buddhist Nun”.(https://www.facebook.com/100026024162850/videos/553422712201863/)

Semua dimulai dari pencarian spiritual di usia muda. Bhikkuni Canda, lahir di Chesterfield, di utara London, Inggris. Lahir dari keluarga yang mapan dan bahagia. Meskipun lahir dan tinggal di negara dengan jaminan sosial yang baik, tetapi masih menyimpan banyak pertanyaan sejak masa kecilnya. Ketika menyelesaikan sekolah menengah sebelum membuat keputusan untuk pergi ke perguruan tinggi, dia telah memikirkan banyak pertanyaan, apakah ini jalan terbaik untuk hidupnya. Sementara dia melihat orang-orang yang melanjutkan pendidikan dan kemudian mengejar karir, hidup dengan cukup bahagia. Namun, ketika dia mendengar berita sehari-hari tentang perang, kekuasaan, dan keserakahan yang tampak tidak pernah berakhir. Dia tidak bisa mengerti mengapa manusia bisa saling menyakiti dan memciptakan begitu banyak penderitaan bagi sesama. Apa sebenarnya tujuan hidup, dan bagaimana dia harus bereaksi dengan belas kasih terhadap penderitaan ini, dan pencarian untuk mengakhiri penderitaan ini? Pikiran seperti ini muncul didalam dirinya pada usianya sekitar 15 tahun.

Untungnya dia punya satu teman sangat dekat, yang bersama merencanakan perjalanan ke India. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia harus pergi ke India. Ketika mereka sampai di sana, dia langsung merasa bahwa ada keterkaitan batin yang mendalam di sana. Memang benar bahwa di India dia melihat lebih banyak penderitaan, tetapi nuansa sekeliling untuk menerima semuanya sebagaimana adanya lebih nyata, ketidakpastian dan ketidakkekalan kehidupan tampak lebih nyata. Penderitaan dan kematian tampak jelas di keseharian dan di jalan-jalan – sesuatu yang kamu tidak pernah lihat dan tabu untuk dibicarakan di Inggris. Harapan untuk memahami semua ini akan lebih besar . Tidak lama kemudian, mereka mendengar tentang meditasi. Dia merasa, ini adalah kesempatan baginya untuk mencari ke dalam. Dia merasa dia harus duduk dengan pikirannya sendiri dan menyaksikan apa yang terjadi di sana ketika dia sendirian dan belajar tentang dirinya sendiri.

Sejak sangat awal, Canda muda menyadari bahwa kebahagiaan tidak tergantung pada kondisi di luar semata. Meskipun kondisi di luar menyenangkan, keluarga yang baik, berhasil di sekolah, dan memiliki teman baik, masih akan ada penderitaan. Canda Muda heran dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam pikirannya. Perasaannya sangat tertekan di waktu remajanya, sebagian karena kekalutan karena tidak tahu mengapa dia ada di dunia ini.

Bhikhuni Canda bersama Ajahn Brahm di tahun 2014 di Jhana Grove (dimuat atas izin Bhikkhuni Canda)

Latihan meditasi pertama yang ia ikuti pada usia 20 tahun adalah meditasi vipassana. Fokusnya pada menyadaran sensasi tubuh dan mengamati bagaimana pikiran merupakan pemahaman mendalam (insight) dia yang pertama. Dia semula berpikir dia bereaksi terhadap hal-hal di luarnya, akhirnya dia menyadari bahwa bereaksi terhadap sensasi di dalam dirinya sendiri. Sensasi luar bersentuhan dengan indranya, suatu sensasi bersamaan dengan kesadaran akan sensasi tersebut akan timbul, di dalam tubuh dan pikirannya, dan itu menciptakan sensasi di dalam. Dia menyadari bahwa dia tidak pernah benar-benar bereaksi dengan obyek di luar sama sekali, tetapi terhadap sensasi di dalam.

Dan dia menyadari bahwa ini adalah kunci bagi kita untuk melembutkan keinginan berlebihan atau reaktivitas. Kita mendapatkan sensasi yang menyenangkan ketika kita bertemu seseorang yang kita sukai, kita menginginkan lebih banyak karena itu membuat kita merasa senang. Kita menginginkan sensasi itu lagi dan lagi. Hal yang sama ketika kita berhubungan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan. Kita mendapat perasaan tidak menyenangkan, reaksi emosional atau mental yang tidak menyenangkan. Reaksinya kita adalah menyingkirkannya. Kita ingin membuangnya. Ini juga semacam keinginan berlebihan. Jadi kita terus-menerus bereaksi – menghindari atau terlarut oleh obyek di dunia ini.

Melalui meditasi, kita memahaminya bahwa penderitaan timbul di dalam diri kita. Kita belajar untuk mengembangkan keseimbangan batin, kedamaian batin, dan ruang bagi diri kita sendiri, dan memahami bahwa semua hal berubah. Mereka tidak tetap – mereka sebenarnya muncul dan berlalu terus-menerus.

Bhikkhuni Canda

Jadi, ini adalah hal pertama bagi dia memahami penekanan Buddhis tentang penderitaan, dan kenyataan bahwa penderitaan muncul disebabkan dari keinginan berlebihan. Mengetahui hal ini sangatlah berarti karena dia menyadari bahwa kita bisa mulai mencari ke dalam, dan kita dapat mulai mengatasi penyebabnya alih-alih mencoba mengubah semua hal di luar yang merupakan manifestasi dari penderitaan. Kita benar-benar bisa masuk ke dalam untuk melihat penyebab dari mana asalnya – dimana penderitaan itu berasal, dan secara perlahan mencabut akar penyebabnya.

Dia merasa beruntung memulai latihan semacam ini tanpa benar-benar mengetahui apa pun tentang ajaran Buddha sebagai suatu agama, karena ajaran ini memiliki hasil langsung. Hal pertama yang dia rasakan adalah timbulnya harapan yang luar biasa, mengetahui bahwa ini adalah benar-benar tujuan hidupnya. Dia tahu bahwa dia ingin mendalami ajaran ini sedalam yang dia bisa selama sisa hidupnya. Dia tidak tahu dari mana keyakinan itu berasal. Sebagian karena mencoba menjalaninya karena ajarannya begitu masuk akal – dan dia sudah merasa lebih seimbang dan lebih ringan dan lega. Atau mungkin ada hubungannya dengan kehidupannya pada kehidupan sebelumnya. Dia kemudian menghabiskan 7 tahun berikutnya tinggal di Asia untuk mengembang latihannya.

Bhikkhuni Canda terus berbicara tentang ajaran yang ia dapatkan dari guru-gurunya dan penahbisannya sebagai seorang bhikkhuni. Dia beruntung belajar dari guru meditasi terkemuka Goenka (seorang pengusaha India yang tinggal di Burma), dan kemudian dengan Ajahn Brahm di Australia.

Dia sangat bersyukur diberi kesempatan oleh Ajahm Brahm untuk mendirikan Anukampa Bhikkuni Project di Inggris. Dia sekarang bermukim di Inggris dan bekerja bersama Ajahn Brahm mendirikan biara pertama untuk pelatihan para bhikkhuni di Inggris. (https://anukampaproject.org)

Saya beruntung sempat bertemu Bhikkhuni Canda beberapa kali di acara ulang tahun Ajahn Brahm ke-67 pada tahun 2018 di Perth, dan di acara kunjungan Ajahn Brahm ke Inggris pada tahun 2019 di London. Dan sekali waktu mendengarkan babaran dhammanya.

Terimakasih banyak kepada Bhikkhuni Canda yang telah mengizinkan saya menceritakan kembali sebagian “My Life As A Buddhist Nun”, dan meluangkan waktu membantu mengedit tulisan bagian ini.

Juni 2020

Dalam masa karantina wajib 14 hari – sekembali dari Ghana, Afrika – di satu hotel di Perth, Australia.

=========================================================

English version:

Why They Choose to Walk This Silent Path

Some of us think that those who choose the monastic life are people who are discouraged, broken-hearted, or even run away from reality.

A year ago I was questioned by a relative of one of the young Indonesian nun who practiced at Dhamasara Nun Monastery (who was cared for by Ajahn Brahm) in Perth, Western Australia. This relative lives in Perth and still has family ties with the nun’s parents. I feel like I know the young nun they meant, because I once visited the monastery which is located far outside the city and surrounded by forest.

The relatives of the nun expressed their concern about the young woman’s decision to become a nun, leaving behind a comfortable life, the profession of doctor (if I’m not mistaken), and from a a wealthy family background living in Jakarta. What was lacking from the decent life she had lived, he said. Also about the concern that this nun was isolated living in a distant monastery and was not free to be visited at any time. There is an impression that the nun is experiencing a life full of suffering.

I just said that it was very possible that the nun was starting a peaceful life as she wanted.

They also said that their parents, who happened to run a monastery in Jakarta, would suffer because they ‘lost’ their daughter. I was just saying, if their parents are people who are also close to the same teachings, chances are they can understand and let go, and not suffer as what is imagined.

Recently I heard that the nun had returned to Indonesia.

But why choosing the monastic life? In my opinion, it is a personal choice, of course with all the consequences; it’s the same as when we choose the ‘normal’ life that we lead now. Then what is their role for society with such a way of life? My opinion, everyone is responsible for their happiness, and they seek and live it without disturbing or harming others. More than that, they provide themselves to share the happiness they feel, guide, and inspire people to get happiness for themselves. Many of them devote themselves to humanity and share unconditional love.

– 0 –

It is not strange for the opinion of some lay people on the choice to live this kind of religious life, especially from people of different faiths. If it is done by someone who is relatively young is something even more unusual. A long time ago, when I first saw a Buddhist monk, I also asked myself, why they took this quiet path, what they were looking for.

Some of us might consider them running away from the ‘reality’ of life. The ‘reality’ of life for most of us is that we go to schools, continue to make a living, struggle in life, live successfully, have a family, reproduce, grow old, and die, and certainly with the hope of entering eternal heavenly life after death (in accordance with one beliefs). The choice of treading a silent life through the spiritual path is not a normal life.

Is it true that they escaped from reality? Which reality? Or aren’t we the ones who are running away from reality? When we are bored, we look for busyness to get rid of our boredom; when we are sad we escape by diverting our attention from sadness through entertainment, food, even alcohol or drugs. When faced with deep suffering, we are confused and miserable. We do not like and are angry with discomfort situations – which are actually part of the reality of this life. When we enjoy something, we want to continue to have that pleasure and pursue higher pleasures – from basic sensual pleasures to higher happiness. There aren’t many opportunities for us to truly understand our boredom, our pain, our suffering, even our happiness. We continue to avoid inconvenience and attach to comfort.

Contrarily, they stop to look inside themselves in silence, face to face with all their feelings, their happiness, their suffering including their fear. At the initial level, they train themselves to be aware of bodily sensations and mind movements, learn to see how the various senses phenomena come into contact with the mind which then give rise to various feelings according to their inner conditioning. They watched them, tried not to be attached, and let them go. Sound from outside, for example, is just sound, not a problem. When in contact with the mind, they see the combination of objects and thoughts creates a sense of pleasant, neutral, or unpleasant. They observe this feeling arising and ceasing, trying not to cling or grasping it, and letting it pass. Likewise with the other sense phenomena of sight, touch, taste, smell, and memory of the mind itself.

They see and experience the suffering as suffering, neutral as neutral, happy as happy; neither more nor less; and they come and go, arise and cease; as an essential fact of life. There is no continuous suffering, not even continuous happiness. Suffering arises when we begin to want more than that. We want pleasant things to continue or avoid unpleasant things. Denial of the unpleasant and attachment to the pleasant is believed to be the cause of all the complexities of human life.

With practice and knowledge from seeing / experiencing firsthand, then the understanding and wisdom arise. Understanding of this experience provides an opportunity to be free from the slaves of emotional turmoil, to see the reality for what it is from the illusion of thoughts and feelings, to let things go, and to experience deeper and more subtle peace and calm through relinquishment. Of course, this was only the beginning of the silent path they walk on.

Suffering experienced by someone can provide an opportunity to be more able to see life closely with real reality, and sometimes can transform a person to be ‘enlightened’. Eckhart Tolle, a spiritualist from Germany, who is famous for “The Power of Now” experienced inner enlightenment after experiencing great inner suffering and upheaval in his youth. (https://en.wikipedia.org/wiki/Eckhart_Tolle)

– 0 –

At Boddhinyana Monastery in Serpentine, Perth, many young monks. One of them is an Indonesian, Bhikkhu Ananda, whom I know well. He was from Jakarta and had long lived in California, United States before coming to Australia to explore the spiritual life and finally made the decision to become a monk.

As far as I know, Bhikkhu Ananda was interested in meditation from his early age, repeatedly attended the meditation training taught by G.N. Goenka (https://en.wikipedia.org/wiki/S._N._Goenka) in California. Later, he felt more suitable with the meditation approach taught by Ajahn Brahm through a more letting go and relaxed approach.

He came to Bodhinyana in 2017 for meditation training and continue to be anagarika (bhikkhu servant) for 1 year before being ordained as a novice monk. I attended his dedication to lead an early monastic life (novice) in April 2018, and ordination as a monk in June 2019.

I want to have the opportunity to know and learn more from him, and have the opportunity to recount in writing one day.

The monk Sumangalo, another young monk from Bodhinyana, told the background why he chose life as a Buddhist monk during a dhamma talk session in the routine program of the Buddhist Society of Western Australia (BSWA) which was broadcast live on Youtube, on 7 June 2020. Before being a monk, he is an anagarika (one who dedicates himself serving monks) at the Bodhinyana monastery in Serpentine, Western Australia. I often saw him in the monastery’s public kitchen and cleaning, when I visited there. (https://youtu.be/pw2N0_p5jBk)

The lay life of Bhikku Sumangalo, immigrated to follow their parents from South Vietnam in 1987, through childhood and adolescence also in California, in the famous Silicon Valley technology area. Graduating from a college majoring in information technology and finance, he lives the life of all young people in his age and time.

Since the beginning he has had many questions in his mind that life is more than just what is seen and lived by almost everyone, graduating from school, looking for work, pursuing a career, family life, success. He also experiences the pleasures of a young life in a city that provides a lot of entertainment. He began to see that all that was materialistic pleasure was not lasting. He felt that life is more than that. He began to search and listen to his deeper conscience. In his search, he liked meditation because it gave him the opportunity to really look inside. He saw more clearly in his inner silence the meaning of life, not something obtained from reading a book, the process of intelligence, thinking, said by smart people or told by wise people. The answer is always in inner silence. The journey brought a lot of happiness which made him decide to continue to pursue this quest. He visited the Bodhinyana forest monastery in Western Australia, taking more time to practice, finally being ordained a novice in 2017 and becoming a monk in 2018. If I’m not mistaken, If I remember correctly, I attended his ordination on April 12, 2018 at night at Bodhinyana Monastery at the invitation of my Indonesian friend, Handri, who later became the Bhikkhu Ananda.

Bhikkhuni Canda, a Buddhist nun who now lives in England, also recently shared her journey in “My Life As A Buddhist Nun.” (https://www.facebook.com/100026024162850/videos/553422712201863/)

It all started from a spiritual quest at a young age. Bhikkhuni Canda was born in Chesterfield, north of London, England, into a well-established and happy family. Despite living in a safe country with good social security she still had many questions that she kept from childhood. When completing high school and before making the decision to go to college, she pondered whether this was the best path for her life. Whilst she saw people who continue their education and then pursue a career, living reasonably happily, for her, this always left a lot of questions. When she would hear the daily news about the war, power and greed that never seem to change, she could not understand why humans have to hurt and inflict so much suffering on each other. What exactly is the purpose of life, and how could she react with compassion and search for an end to this suffering? Thoughts like this appeared to her at about 15 years of age.

Fortunately she had a very close best friend, who she planned a trip to India with when she was 19. She herself did not know why she had to go to India. When they got there, she immediately felt that there was a deep interconnectedness there. It is true that in India she saw much suffering, but the nuances of surrender to accept things as they are were more real, the uncertainties and impermanence of life seemed more real. Suffering and death were evident daily and on the streets – something that you never saw and was taboo to talk about in England. The hope for understanding all this became still greater. Not long afterwards, she heard about meditation. She felt this was an opportunity for her to look inside. She thought she had to sit with her own mind and watch what would happen in there when she is alone, to learn about herself.

From the very beginning, young Canda realised that happiness does not depend on external conditions alone. Despite pleasant outside conditions, a good family, succeeding in school and having good friends, there was still suffering. Young Canda wondered what really going on in her mind. Feeling quite depressed in her teens was partly due to the suffering of not knowing why she’s really here.

The first meditation practice that she joined at the age of 20 was vipassana meditation. The focus was on being aware of her body sensations and observing the way her mind works was her first sort of insight. She had always thought she was reacting to things outside, but actually she realised she was reacting to the sensation inside. When an ouside object was in contact with her senses, a sensation along with awareness of the sensation would arise, within her body and mind. She realised she had never really been reacting to the external object at all, but to that sensation inside. 

And she realized that this was the key for us to weaken the craving or reactivity. We get a pleasant sensation when we meet someone that we like, we want more of it because they make us feel good. We want that sensation again and again. The same thing when we get in contact with something unpleasant or unwanted, we get an pleasant feeling, unplesant emotional and a mental reaction.  The reaction is to get rid of it. We want to push it away. This is also kind of craving. So we’re constantly reacting – pushing away or being enticed by the objects in the world.

Through meditation, we understand suffering is arising within us. We learn how to develop equanimity, inner peace, and space around it, understanding that things change. They’re not fixed –  they’re actually arising and passing constantly. 

Venerable Canda

So, this was the first thing for her to understand the Buddhist focus on suffering and the fact that suffering arises from a cause which is craving. Knowing that was so powerful because she realised that we can start to look inwardly, and we can start to address the cause instead of trying to amend all the external manifestations of suffering. We can actually go right inside to look at the cause – where that suffering is coming from, and gradually uproot that cause.

She felt she was fortunate to start this kind of practice without really knowing anything about Buddhism as a religion, because it had an immediate affect. The first thing she felt was an enormous sense of hope, as she knew this was really the true purpose of her life. She knew that she just wanted to take this as deep as she could for the rest of her life, and she didn’t know where that faith came from. It was partly experiential because it just made so much sense – and she already felt more balanced, lighter and had a sense of relief. Also, it may have had something to do with perhaps being on this journey in her previous lives. She spent the next seven years of her life living in Asia to develop the practice. 

Bhikkhuni Canda continued to talk about the teachings she got from her teachers and her ordination as a nun in Burma, and later a bhikkhuni. She was fortunate learning from the prominent meditation teacher Goenka (an Indian businessman living in Burma), and then from Ajahn Brahm in Australia. 

She also feels grateful to be given the opportunity by Ajahn Brahm to found Anukampa Bhikkhuni Project in England (https://anukampaproject.org). She is now living in England and working closely with Ajahn to establish Britains’ first training monastery for fully ordained (bhikkhuni) nuns.

I am fortunate to have met Bhikkhuni Canda a couple of times, at Ajahn Brahm’s 67th birthday celebrations in 2018 in Perth, and at Ajahn Brahm’s visit to England in 2019 in London. And occasionaly, I listen to her dhamma talks. 

Sincere thanks to Ven. Canda for her endorsement and review on the “My Life As A Buddhist Nun” section.

June 2020

During the quarantine period of 14 days – returning from Ghana, Africa – in a hotel in Perth, Australia.

Knives Out

Penulis dan pengarah filem kawakan Rian Johnson mempersembahkan karyanya mengenang pengarang cerita misteri sepanjang jaman Agatha Christie dalam filemnya Knives Out yang dibuat tahun lalu, 2019. Rian adalah pengarah filim terkenal, salah satunya adalah Star Wars: The Last Jedi. Filem inipun dibintangi oleh banyak aktor kawakan, diantaranya Daniel Craig (pemeran James Bond), Chris Evans (pemeran human torch di Fantastic Four), Ana de ArmasJamie Lee CurtisMichael ShannonDon JohnsonToni ColletteLakeith StanfieldKatherine LangfordJaeden Martell, and Christopher Plummer. Knives Out menceritakan satu misteri pembunuhan masa kini dimana setiap orang punya motif untuk menjadi tersangka.

Saya mengenal cerita-cerita Agatha Christie hanya baru-baru ini ketika mulai menyenangi menonton serial Poirot (dengan pemeran legendaris David Suchet sebagai Hercule Poirot) dan Miss Marple yang legendaris ini, mungkin sekitar kurang dari 10 tahun terakhir ini sejak bermukim di Australia karena ada serialnya di televisi lokal. Jadi agak telat sebenarnya mengenal karya-karya klasik yang sudah melegenda. Seingat saya, itu sejak saya mulai menyenangi serial Midsomer Murder (diperankan oleh John Nettles atau Neil Dudgeon sebagai detektif Barnaby) dan Father Brown (yang diperankan oleh Mark Williams)

Saya lebih suka cerita misteri pembunuhan klasik seperti ini daripada NCIS misalnya, yang cepat alur ceritanya. Sementara cerita misteri klasik relatif lamban, namun sering sulit menebak pembunuhnya dan yang menarik biasanya setiap orang punya motif untuk menjadi tersangka. Lagian latar belakang kehidupan kota kecil atau perdesaan di Inggris yang unik sangat menarik.

Di setiap seri selalu saja ada minimal satu orang terbunuh secara misterius. Dengan puluhan seri, tentu ada ratusan orang yang terbunuh di satu kota kecil yang sama. Tentu kota kecil seperti Midsomer akan menjadi kota dengan tingkat kriminal tertinggi di dunia. Anehnya, pembaca dan pemirsa tidak pernah mempertanyakan atau mempermasalahkan itu.

—– 0 —–

Kembali ke Knife Out – kisah dengan latar belakang bunuh dirinya Harlan Thrombey (Christoper Plummer), seorang hartawan tua dengan anggota keluarga yang tercerai berai oleh pertikaian antar saudara, peselingkuhan, dan terakhir perebutan harta warisan. Dalam surat wasiat yang dibacakan di depan semua anggota keluarga, sang hartawan mewariskan seluruh hartanya kepada Marta Cabrera (Ana de Armas), perawat pribadinya sangat dia percaya dan baik hati, seorang imigran dari Brazilia yang punya masalah tersendiri karena orangtuanya adalah imigran gelap.

Kekuatan cerita filim ini disamping memang didukung oleh aktor peran kawakan, terletak pada kesederhaan alur cerita yang dibungkus dengan kejutan misteri yang tidak mudah diduga. Sang perawat menyangka dirinya lah yang menjadi pembunuh majikannya karena salah menyuntikan morfin dosis tinggi. Juga tentang kebaikan dan kejahatan yang tidak selalu hitam putih. Detektif swasta Benoit Blanc (Daniel Craig) yang disewa secara misterius oleh salah satu anggota keluarga akhirnya mengungkapkan semua kejahatan di balik bunuh dirinya sang hartawan.

Seperti khasnya cerita-cerita model Agatha Christie, ada dialog sang detektif mengungkapkan runutan kejadian yang mengarah pada kesimpulan yang berakhir pada tertangkapnya pembunuhnya yang tidak disangka sangka.

Tentu saya tidak perlu menceritakan isi cerita filimnya karena akan membuat yang belum menonton menjadi tidak menarik lagi. Saya hanya ingin mengungkapan beberapa dialog dan beberapa nilai yang dibawa oleh filem ini yang menurut saya mengandung makna, dan juga menjadikan filem atau cerita klasik seperti ini berarti.

Saat detektif Blanc menghibur Mrs. Thrombey, ibu sang hartawan yang sudah sangat tua dan pikun, sekaligus untuk mendapatkan beberapa keterangan dalan penyelidikan pembunuhan anaknya. Si nenek Thrombey hanya terpaku diam ngelangsa tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Hanya Blanc yang berbicara sendiri, tentang penderitaan dan usia tua,

Blanc: “But I’d imagine that age deepens all feelings including the grief.” (Namun saya membayangkan bahwa usia memperdalam semua perasaan termasuk kepedihan).

“One thing I assume of age is weariness.” (Satu hal yang saya lihat dari usia tua adalah keletihan)

dan tentang menemukan kebenaran.

“But the complexity and the gray lie not on the truth, but what you do with the truth once you have it.” (Namun kerumitan dan ketidakjelasan bukan terletak pada kebenaran itu sendiri, tetapi apa yang kamu lakukan dengan kebenaran itu setelah kamu mendapatkannya) 

Blanc menghibur Mrs. Thrombey

—– 0 —–

Detektif Blanc mencoba merangkai serpihan kebenaran yang dia temukan. Caranya mengumpulkan informasi dan mewawancarai saksi yang kadang konyol sempat menimbulkan keraguan tekan kerjanya kalau itu akan bisa menyelesaikan masalah. 

Blanc menggunakan teori donat yang memiliki bolongan di tengah. Semua informasi yang dia kumpulkan dan rangkai masih selalu menyisakan bolong kecil di tengah, membuat dia menyimpulkan bahwa ada satu otak pelaku utama yang mengatur kejahatan ini dengan sangat cerdas, termasuk dengan menyewa dia masuk dalam permainan ini.

Marta, perawat digambarkan sebagai gadis jujur dan polos. Dia memiliki satu ‘kelainan’ yang dialaminya sejak kecil, bahwa dia akan mual dan muntah kalau berbohong atau tidak menyatakan kebenaran saat memberi keterangan atau menjawab pertanyaan. 

Di bagian akhir dari filem ini, setelah pembunuhnya tertangkap, ada dialog antara Marta dengan Blanc.

Marta: “When did you know I had something to do with Harlan’s dead?” (sejak kapan kamu tahu saya terlibat dalam kematian Harlan?) 

Blanc: “Oh, from the first moment, you set foot in front of me.” (Sejak sangat awal ketika kamu duduk menjulur kakimu keluar),

sambil memandang sepatu yang masih dipakai Marta dimana terdapat satu titik bercak darah.

Blanc menambahkan:”I want you to remember something. That’s very important. You won, not by playing Harlan’s way, but yours. You’re a good person.” (Saya ingin kamu ingat satu hal. Ini sangat penting. Kamu menang, bukan dengan mengikuti permainan dengan cara Harlan, tapi caramu sendiri. Kamu orang baik).

Karena kepolosan Marta, dia coba dimanfaatkan oleh anak-anak Harlan agar bisa mengambil alih harta yang diwariskan oleh ayah mereka. Tapi justru kepolosan dan kejujuran Martalah yang menyelamatkan dia dari banyak perangkap yang dipasang oleh anggota keluarga Harlan yang kehilangan semua kekayaan yang diwariskan oleh ayah mereka. Tidak semuanya jahat, beberapa dimanfaatkan oleh anggota keluarga yang lain. Kebaikan dan kejahatan menang tidak hitam putih.

Perawat Marta Cabrera dan detektif Benoit Blanc

Terakhir saat Blanc berajak meninggal kan Marta. Sebelum berpisah, Marta seolah ingin minta dukungan akan tindakan dia selanjutnya dengan begitu banyak harta yang diwariskan kepadanya,

Marta: “This family, I should help them, right?” (Keluarga ini, aku seharusnya membantu mereka, iya kan?)

Sambil berjalan Blanc membalikkan badan dan menatap Marta,

Blanc: “Well, I have my opinion, but I have a feeling you’ll follow your heart,” (Yaah, aku punya pendapat tersendiri, tapi rasanya kamu akan mengikuti suara hatimu),

sambil berjalan meninggalkan Marta yang masih termenung.

—– 0 —–

Ditonton dalam penerbangan London – Doha dalam A350-1000 ketinggian 38000 kaki.

01 June 2020

Meditasi Bersama Ajahn Brahm (12) – Mengganggu Kebisingan

Karena sudah cukup lama tidak menulis lanjutan pernik-pernik meditasi, saya tidak begitu ingat lagi urutan kejadian saat pelatihan. Tapi saya pikir mungkin ada baiknya meneruskan cerita ini dari potongan kejadian yang pernah memberi kesan yang dalam selama pelatihan dan tidak terlalu terikat pada urutan, lagian biar ceritanya tidak terlalu panjang.

Selama pelatihan meditasi, kami rombongan peserta meditasi orang Indonesia cukup heboh. Karena tugas menerjemahkan ceramah Ajahn Brahm, disamping menyampaikan kembali paparan Ajahn Brahm dalam ceramahnya, saya juga harus menceritakan kembali lelucon-lelucon Ajahn Brahm. Sulit dihindari untuk tidak tertawa. Masalahnya kadang tertawa kami cukup keras. Kami sebenarnya sudah berusaha mencari tempat yang agak jauh dari keramaian, namun galak tawa kami ditengah suasana tempat pelatihan yang memang hening, cukup sering menarik perhatian peserta meditasi yang lain yang coba berlatih serius.

Dalam satu kesempatan ngobrol dengan Ajahn Brahm, saat dia menanyakan bagaimana dengan kegiatan penerjemahan bersama kawan-kawan. Saya ceritakan bahwa kami tidak bisa menghindari untuk tidak tertawa lagi saat menceritakan kembali cerita-cerita lucu beliau, dan ini sampai mengganggu teman-teman dari rombongan lain yang kelihatannya lebih khusuk berlatih. 

Ajahn Brahm jawab,“It’s very good.”

Ajahn punya kebiasaan menjawab semua pertanyaan dengan, “Bagus” atau “Bagus sekali’ untuk semua hal, tidak ada hal yang jelek.

Saat saya menambahkan bahwa kami merasa tidak nyaman karena mengganggu kawan-kawan yang lain. Beliau menjawab dengan ringan, “Biarkan saja, hati yang ceria juga sangat membantu meditasi.”

Kemudian Ajahn Brahm mengutip ujaran gurunya Ajahn Chah, “It’s not the noise that disturbs you, it’s you who disturb the noise.” – “Bukanlah kebisingan yang menggangu kamu tetapi kamulah yang mengganggu kebisingan itu.”

Ajahn Chah adalah seorang biarawan Thailand yang sangat dihormati yang bermukim di luar kota Ubon Ratchathani, bagian timur-laut Bangkok – tempat Ajahn Brahm berlatih selama 9 tahun diawal kehidupan kebiarawan beliau pada usia 23 tahun di tahun 1970-an. Saya beruntung berkesempatan dua kali mengunjungi kompleks biara hutan Ajahn Chah, Wat Pa Pong dan Wat Pa Nanachat sewaktu saya bekerja di tambang Sepon di Laos sekitar tahun 2002-2003.

Saat itu ada pesta perayaan di kampung di dekat biara yang menumbulkan banyak kebisingan. Sebagian murid Ajahn Chah mengeluh bahwa kebisingan ini telah menghilangkan suasana damai di biara. Ajahn Chah lalu menyampaikan bahwa:

“Bukanlah kebisingan yang menggangu kamu tetapi kamulah yang mengganggu kebisingan itu.”

Ajahn Chah

Kalau kita mau sedikit menghening dan mengamati, pikiran kitalah yang mengapai-gapai pada suara yang kita dengar dan mulai diolah dalam pikiran kita, menimbulkan kesan mental berupa rasa kesal saat kita anggap suara itu mengganggu, atau sebaliknya senang saat kita menganggap suara tersebut menyenangkan. Saat suatu obyek indra menyentuh pikiran akan timbul perasaan-perasaan senang, tidak senang, atau netral, tergantung pada pengkondisian batin kita.

Katanya batin yang terlatih eling, tidak akan merasa terganggu dengan rangsangan indera seperti itu. Mereka dapat melihat dengan jelas bagaimana suatu obyek indera bersentuhan dengan pikiran yang akan menimbulkan berbagai perasaaan. Mereka tidak menghindari perasaan tersebut, pun tidak memanjakannya. Mereka dapat melihat timbul dan tenggelamnya perasaan tersebut. Mereka hanya mengamati dan membiarkan perasaan tersebut berlalu, tanpa keterikatan…

Sederhana, namun sungguh tidak mudah untuk diselami…

Ditulis di keheningan malam dalam penerbangan evakuasi dengan A320 di ketinggian 38000 kaki, Accra – Las Palmas – London
29 Mei 2020

Apa itu Pikiran?

Penjelasan Ajahn Chah menarik. Secara intelektual saya mungkin bisa mengerti, tapi perlu pengheningan untuk benar-benar bisa melihat/menyelaminya…

=====

Apa itu pikiran? Pikiran sebenarnya bukanlah ‘sesuatu’. Secara gamblang, pikiran adalah yang merasakan. Maka yang menerima dan mengalami semua kesan mental dikatakan sebagai ‘pikiran’. Persis saat ini ada pikiran. Saat saya berbicara dengan anda. pikiran mengetahui apa yang saya katakan. Suara masuk lewat telinga dan anda tahu apa yang saya katakan. Yang mengalami ini adalah ‘pikiran’.

Pikiran tidak memiliki jati diri atau substansi. Pikiran tidak memiliki bentuk. Pikiran hanya merasakan kegiatan mental, hanya itu! Jika kita mengajari pikiran ini untuk memiliki pandangan yang benar, pikiran ini tidak akan bermasalah. Ianya menjadi mudah,

Pikiran adalah pikiran. Obyek mental adalah obyek mental. Obyek mental bukanlah pikiran, pikiran bukanlah obyek mental. Supaya dapat dipahami dengan jelas pikiran kita dan obyek mental dalam pikiran kita adalah yang menerima obyek mental yang muncul didalamnya. Pada saat dua hal ini, pikiran dan obyeknya, bertemu satu dengan yang lain, mereka memunculkan perasaan. Beberapanya adalah baik, beberapanya buruk, bebeberapa dingin, bebebapa panas … berbagai macam. Namun, tanpa kebijaksanaan untuk mengelola perasaan-perasaan ini, pikiran menimbulkan permasalahan.

(Ajahn Chah)

80291439_10220902258766753_3212596350126391296_n
Ajahn Chah

 

What is the mind? The mind isn’t really any ‘thing’. Conventionally speaking, it’s that which feels or senses. That which senses, receives and experiences all mental impressions is called ‘mind’. Right at this moment there is mind. As I am speaking to you, the mind acknowledges what I am saying. Sounds enter through the ear and you know what is being said. That which experiences this is called ‘mind’.

This mind doesn’t have any self or substance. It doesn’t have any form. It just experiences mental activities, that’s all! If we teach this mind to have right view, this mind won’t have any problems. It will be at ease.

The mind is mind. Mental objects are mental objects. Mental objects are not the mind, the mind is not mental objects. In order to clearly
understand our minds and the mental objects in our minds, we say that the mind is that which receives the mental objects which pop into it. When these two things, mind and its object, come into contact with each other, they give rise to feelings. Some are good, some bad, some cold, some hot … all kinds! Without wisdom to deal with these feelings, however, the mind will be troubled.
(Ajahn Chah)

 

Beberapa Sahabat Masa Kecilku

Persahabatan yang terjalin di masa kecil tidak pernah hilang. Kami menjalani masa kecil dan awal remaja di kampung Lumut yang sangat sederhana, meninggalkan banyak kenangan bersama. Saat beranjak remaja, kami berpisah satu-satu meninggalkan kampung halaman merantau keluar pulau Bangka untuk menempuh jalan hidup masing-masing.  Masa itu sekitar tahun 80-an. Aku yang yang paling terakhir meninggalkan kampung setelah menyelesaikan sekolah lanjutan hingga SMA di Belinyu. Aku meninggalkan kampung di akhir tahun 1985 untuk meneruskan pendidikan di Palembang.

WhatsApp Image 2020-04-24 at 12.01.05 PM
circa 1981 – Chongku, AJau, Akiu, Achion, Akwet, Akong, dan aku

Kami masih saling berkiriman surat pada masa-masa itu. Setelah masing-masing dengan kesibukan dan kehidupan sendiri-sendiri, kami sudah jarang sekali berhubungan kecuali saat bertemu kembali saat pulang kampung bersama. Namum persahabatan kami tidak pernah terputus. Begitu bertemu kembali (atau berhubungan lewat telpon), keceriaan, perhatian, dan kehangatan persahabatan selalu ada disana.  Kita tidak pernah mempermasalahkan kenapa si Anu tidak pernah menghubungi sekian lama.

Bagiku persahabatan sejati memang seharusnya tidak mengikat tapi membebaskan; hanya ada ketulusan, perhatian dan saling memahami.

Tentu aku punya banyak kawan baik sekampung lainnya yang telah memberi warna dalam kehidupanku, hanya saja kali ini aku ingin bercerita sebatas tentang kawan yang satu ‘gang’, Ajau, Akwet, Achion, Akiu, dan Akong. Kami bersahabat di waktu kecil, dengan karakter unik masing-masing, melakukan banyak hal bersama, dan langgeng sampai saat ini meski jarang sekali bertemu.

Di tahun 2015 kami sempat berkumpul meski tidak lengkap, saat pulang bersama di Tahun Baru Imlek. Sekarang, peluang itu sudah tidak memungkinkan, paling tidak untuk beberapa waktu sampai pandemik COVID-19 berlalu. Ini malah memberi kesempatan bagi kami untuk ngobrol lewat video call lewat applikasi seperti Whatsapp.

_MG_2834
Imlek di 2015 – aku, Akong, Ajau, Achion, Akwet, minus Akiu.

Kami coba untuk kali pertama beberapa minggu yang lalu, dan hari ini untuk kedua kalinya.  Banyak sekali yang kami obrolkan, kali ini panjang obrolan kami hingga 3 jam, aku di siang hari dan mereka di malam hari karena perbedaan waktu 7 jam. Kami coba merajut ingatan kolektif kami tentang masa-masa kecil,  kejadian unik dan lucu, tempat dan waktu yang kami lewati bersama, dan mendengarkan beberapa lagu lama yang membantu kami mengenang masa-masa lalu. Terasa sekali banyak potongan ingatan yang tercecer setelah kurun waktu lebih dari 30 hingga 40 tahun berlalu.

Tentu kami ngobrol dalam bahasa Khek (Hakka) Bangka, bahasa ibu kami di kampung, yang sering kali diujarkan dengan nada keras, kadang seperti orang bertengkar kalau tidak biasa mendengarnya, tapi seru. Meski jarang sekali dipakai, aku tidak pernah lupa bahasa ibuku. Aku masih cukup lancar dan bahkan mungkin lebih terjaga keasliannya karena tidak banyak terbaur dengan bahasa lain. Ada beberapa perbendaharaan kata yang aku gunakan tidak lagi begitu lazim dipakai, tapi sudah disisipi dengan kosa kata Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu. Yang aku kurang mahir adalah perbendaharaan umpatan-umpatan yang kadang sering dipakai kalau ngobrol di antara kawan-kawan. Agak risih juga mendengarnya, kadang menggelikan dan menghibur …

Cerita mengalir mulai dari mandi di kolong bekas tambang, tempat-tempat berkumpul kami, sokongan beli gula, kopi dan makanan saat kumpul, bikin pondok di atas pohon, memancing, berburu, nonton di misbar, juga termasuk kenakalan-kenakalan kami yang kadang di luar batas, seperti mencuri di kebun orang, dan merokok. Tentu, juga bercerita tentang perjalanan hidup yang sarat dengan perjuangan, jatuh bangun, dan upaya menerima dan mulai melepas. Mengingat usia, tak jarang diselipi obrolan tentang bagaimana tip masing-masing menjaga kesehatan, sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiran waktu kami kecil dulu.

Dari semua kawan-kawan, hanya aku yang belum banyak tergantung dengan kacamata. Semuanya sudah tidak bisa membaca dari layar HP tanpa kacamata. Itupun dengan sedikit bersusah payah menjauh dekatkan obyek agar mendapat fokus pengelihatan yang tepat. Tapi, aku yang paling gemuk, kata mereka aku kegemukan. Dulu aku paling ceking. Harus dikurusin, biar lebih sehat. Semua ini menjadi bahan tertawaan kami. Bagaimanapun juga, harus diakui menertawakan diri sendiri adalah salah satu cara hidup lebih sehat. Jauh lebih baik daripada menertawakan orang lain.

Kami sempat coba mengingat siapa orang-orang di kampung dulu yang seumuran kami sekarang waktu kami remaja. Beberapa orang yang kami sebut memang rasanya sudah tua dalam ingatan remaja kami. Jadi seumuran kami sekarang ini, harusnya sudah cukup berumur. Ini menjadi cara melihat realita sebagai bentuk dari mawas diri kami. Mudah-mudah kami semua bisa menua dengan bahagia tanpa harus mengingkari kenyataan. 

Kami sebenarnya masing-masing punya karakter yang sangat berbeda dan unik. Pun sebenarnya kami tidak semuanya sekelas waktu sekolah. Jenjang pendidikan formal kamipun berbeda-beda, dari pendidikan formal SD, SMP, dan hanya aku yang menempuh pendidikan formal lanjutan. Ada diantara kami yang hanya sempat mengenal literasi dasar baca tulis karena harus putus sekolah dari SD karena ekonomi keluarga pada masa itu.

Yang aku ingat, kami tidak pernah memaksakan agar kami sama atau menyukai hal yang sama. Barangkali ini yang membuat persahabatan ini mengalir dan langgeng. Aku tidak pernah menyukai memancing atau berburu binatang, tapi aku bisa mendengar cerita keasyikan mereka belapun (berburu babi hutan). Bagi beberapa kawan, menulis dan membaca (termasuk membaca tulisan ini) mungkin merupakan hukuman.

WhatsApp 2020-04-19 at 7.37.53 PM
bercerita lewat WA 19 April 2020 – Achion, Ajau, Akiu, dan aku.

Ajau (Bong Cin Jau) punya karakter penuh perhatian, cermat dalam mengambil keputusan, pekerja keras, sangat setia kawan, dan paling punya jiwa seni diantara kami, dia bisa main gitar. Rumah Ajau di Jaseha (ada 5 atau 6 bagian kampung punya nama masing-masing) menjadi salah satu pos kumpul kami. Aku masih sering bertemu Ajau setelah merantau karena sama-sama di Palembang, sebelum aku merantau lebih jauh setelah selesai sekolah. Ajau ikut bekerja ditempat pamannya di industri rumah tangga pembuatan kerupuk dan roti kacang (theusa piang) lebih dari sepuluh tahun sebelum kemudian membuat usaha sendiri sampai sekarang. Setiap kali aku pulang ke Palembang, aku menyempatkan untuk bertemu dengan Ajau dan keluarganya. Kami bisa bercerita berjam-jam. Saat memperdengarkan lagu-lagu kecil kami, Ajau bisa mengingat dan menceritakan kembali dengan terperinci masa dan tempat kenangan lagu itu membawa kami. Ajau antusias saat aku ajak dia menghubungi kawan-kawan kami yang lain.

Akwet (Tham Kian Kwet) paling jangkung diantara kami, sering di panggil Kolo Kwet (si jangkung) di kampung. Di kampung orang sering dikasih nama lain berhubungan dengan fisik, karakter atau bisa apa aja.  Akwet memilih kembali ke kampung setelah merantau sekian lama di Lampung dan Jakarta, berkeluarga dan membantu usaha orang-tuanya, dan merawat mereka di hari tua mereka. Akwet yang aku kenal adalah seorang penyabar, menjadi pengingat dan penyeimbang saat kelakuan kami yang kadang nakal di luar batas. Setiap mudik, aku selalu mencari Akwet untuk bercerita disela kesibukan dia dengan keluarga dan usahanya. Akwet sempat menemani aku jalan-jalan ke kampung Pangkal Niur di tahun 2015 mencari teman-teman kecilku waktu tinggal disana.

Achion (Tham Khin Chion) masih sepupuan dengan Akwet, berkarakter keras  dan tegas. Nama kecilnya (nickname) Phulu Chion (tempat air bentuk labu yang sering terlihat di filim silat klasik).  Entah bagaimana dia bisa dapat nama ini. Achion boleh dibilang adalah kepala ‘gang’ kami. Kini dia bekerja dan bersama keluarga tinggal di Bekasi. Sama dengan Ajau, Achion sempat merantau di Palembang di tahun 80-an bekerja di tempat paman Ajau di industri rumah tangga pembuatan kerupuk. Achion datang ke resepsi pernikahanku di Palembang di tahun 1995 saat dia sudah di Jakarta. Aku sempat mencari dia di rumahnya di Bekasi sekitar tahun 2010-an. Terakhir ketemu di 2015 di Bangka.

Akiu atau Fo Kiu, (Jong Kiu Su) seorang yang flamboyan, boleh dibilang Don Juan-nya kampung Lumut, melengkapi ‘kedigdayaan’ gang kami di kampung. Akiu sekelas waktu di kelas 6 SD. Akiu yang paling duluan merantau diantara kami, saya lupa tahun berapa, tapi mungkin sekitar tahun1981. Seingat aku, dia bekerja perusahaan pembuatan tas di waktu awal merantau di Jakarta. Di awal-awal merantau, Akiu masih sering mudik waktu hari raya seperti Imlek. Kami semua berkumpul dan jalan-jalan ala pemuda kampung waktu itu. Akiu pernah mengalami satu kecelakaan motor di tikungan tajam Batu Tunu, Belinyu, sekitar tahun 1983-an, Sekarang tinggal di Depok bersama keluarga. Sudah 15 tahun lebih kami tidak pernah bertemu.

Akong (Cong Sun Kong) seorang yang periang, punya banyak ide dan pintar melucu, suka meniru tingkah laku orang lain untuk candaan. Nicknamenya Bu Kong (si hitam), nggak hitam-hitam amat sih. Akong juga memilih pulang kampung setelah sekian lama merantau di Jakarta, berkeluarga dan merawat orangtua hingga akhir hayat mereka. Setiap mudik aku selalu mencari dia dan Akwet untuk bercerita.

Bagaimana kesan mereka tentang aku? Entahlah. Itu tidaklah penting. Oh ya, dulu saya pernah dipangil dengan Botak Hung (si Botak). Aku sendiri nggak tahu atau ingat kenapa dipanggil si botak, tidak pernah ingat kalau pernah botak pada waktu kecil. Rambut akupun lebat sampai sekarang, hanya mulai memutih. Sejauh ini, hanya pernah botak sekali di kemudian hari saat menjalani pelatihan pabbajja samanera (novice monk) di tahun 1991 di Kotabumi.

WhatsApp Image 2020-05-17 at 2.45.49 PM (1)
Formasi lengkap di Whatsapp Chat 17 Mei: Akong, Achion, Akwet, Ajau, Akiu, dan aku.

Masing-masing kami menjalani kehidupan dengan semua liku-liku kehidupannya. Seperti hakekat semua hal, tidak ada yang tetap, semuanya berubah.  Persahabatan inipun tidak selamanya mulus, ada kerenggangan di satu masa karena masalah pribadi. Namun terakhir mencair dan kembali membaik. Ada kebesaran hati disana, untuk menerima dan melepas. Aku sendiri kagum dengan kebesaran hati yang ditunjukkan, sungguh tidak ringan. Rasanya kami sudah cukup berumur untuk memahami banyak pelajaran dari kehidupan, dan terus belajar darinya.

Kami tidak pernah saling membandingkan ‘pencapaian atau keberhasilan’ masing-masing. Semua punya perjalanan unik masing-masing yang tidak bisa saling diperbandingkan. Kami masih tetap bersahabat setelah sekian puluh tahun, dengan cara unik kami. Bagiku persahabatan sejati memang seharusnya tidak mengikat tapi membebaskan; hanya ada ketulusan, perhatian dan saling memahami.

Setiap kali bercerita, selalu ada kerinduan akan kampung halaman dan keinginan untuk suatu saat berkumpul di kampung.

Accra, Ghana, Afrika Barat – Bekasi – Depok – Lumut

17 May 2020

Seven Years in Tibet

Filem layar lebar dengan judul ‘Seven Years in Tibet’ (1997)  yang dibintangi Brad Pritt and David Thewlis ini diangkat dari bagian kisah hidup Heinrich Harrer, seorang Austria. Heirich lahir pada 6 Juli 1912 and meninggal di tahun 7 Januari 2006 pada usia 93 tahun, adalah seorang pendaki gunung, olahragawan, penjelajah alam, dan pengarang.

Di tahun 1948, Heirich bekerja sebagai pegawai pemerintah Tibet, menerjemahkan berita asing dan juga fotografer pengadilan. Heinrich diminta oleh Dalai Lama untuk membangunkan satu bioskop. Projector filemnya dijalankan oleh mesin sebuah mobil jip. Heirich menjadi pengajar bagi Dalai Lama dalam Bahasa Inggris, ilmu geografi dan ilmu pengetahuan alam. Persahabatannya dengan Dalai Lama berlanjut seumur hidup mereka.

Ada satu dialog dalam filemnya yang menarik tentang perbedaan budaya, antara Pema Lakhi – seorang gadis penjahit dan Heinrich muda. Heinrich mencoba memikat gadis muda Tibet ini dengan membanggakan kemampuan memanjat gunung menaklukkan Eiger North Face di Switzerland dan juara olimpiade yang diraihya.

Pema Lakhi menimpali:

Then this is another great difference between our civilization and yours. You admire the man that pushes his way to the top in any walk of life. While we admire the man who abandons his ego. 

Inilah perbedaan besar lain antara peradaban kami dengan peradaban kalian. Kalian kagum dengan orang yang berjuang keras hingga ke puncak dalam perjalanan hidup mereka. Sementara, kami mengagumi orang yang berjuang melepaskan keakuannya.

Pema Lakhi akhirnya menikah dengan Peter Aufschnaiter, kawan sependakian dan sepelarian Heinrich.

Accra, Ghana, 16 Pebruari 2020

Mesjid Raya Hassan II مسجد الحسن الثاني Casablanca, Morocco

Saat liburan akhir tahun ke Morocco bersama keluarga, kami mengunjungi mesjid terbesar di Afrika yang juga merupakan mesjid ke-3 terbesar di dunia, Mesjid Raya Hassan II di Kota Casablanca. Mesjid ini bisa menampung 105,000 orang (25,000 didalam mesjid and 80,000 orang di lapangan mesjid), memiliki menara setinggi 210 meter dengan 60 lantai yang merupakan menara mesjid tertinggi ke-2 di dunia. Di atas menara terdapat satu titik laser yang cahayanya diarahkan ke kota Mekkah.

IMG_0061

Mesjid Raya Hassan II terletak di pinggir pantai di atas daratan yang menjorok ke Samudra Atlantik dan menempati kawasan seluas 9 hektar. Mesjid dibangun separuh di daratan and separuh lagi di atas laut Samudara Atlantik yang membutuhkan rancangan dan konstruksi khusus. Pembangunannya dilakukan pada masa Raja Hassan II, memakan waktu 7 tahun dari 1986 hingga 1993 menelan biaya pembangunan sekitar 585 juta Euro (sekitar Rp.9,4 Triliun) yang sebagian besar dananya dari donasi 12 juta orang. Mesjid dirancang oleh  seorang arsitek Prancis, Michel Pinseau yang tinggal di Morocco.

Lapangan yang luas berlantaikan batuan marmer dan granit memberi kesan lapang dan terbuka. Dikelilingi oleh bangunan fungsional dan arsitektur lainnya, bangunan mesjid yang megah berukuran 200 meter kali 100 meter, dengan keindahan seni arsitektur, mosaik dan pernik-pernik bangunan yang mereflesikan kekayaan seni budaya Islam di Morocco.

IMG_8321

Mesjid Raya Hassan II menjadi tempat menarik bagi turis, dan juga bagi masyarakat setempat. Banyak terlihat keluarga keluarga yang duduk santai di lapangan di depan mesjud yang berunduk (berteras), duduk di lantai batu marmer dan granit, memandang pilar-pilar artistik dan bangunan mesjid yang megah berdinding mosaik indah, terlebih diterpa matahari senja yang kuning keemasan. Udara musim dingin mengharuskan semua orang memakai baju penghangat. 

Meski banyak orang berkunjung, suasana tetap cukup hening, karena orang lebih banyak diam menikmati suasana. Dan lagi pula, di halaman yang luas terbuka suara tidak mengema memberi kesan hening. Kebanyakan orang duduk di lantai, terlihat anak-anak berlarian kesana kemari.

IMG_6068

Saya suka suasana hening seperti ini, senang melihat orang menikmati senja dengan berbagai cara tanpa mengganggu orang lain. Suasana hening membawa rasa damai. Matahari mulai tenggelam diufuk barat. Cahaya yang senja menerpa permukaan bangunan mesjid memberi pantulan yang semula kuning keemasan menjadi merah muda…

IMG_0115
diterpa mentari senja, Mesjid Raya Hassan II memantulkan warna merah muda

Ketika kami hendak berjalan pulang, sekelompok anak remaja melintasi lapangan mesjid yang lapang, salah satu dari mereka menyapa ramah ‘ni hao‘, yang artinya apa kabar. Dikiranya kami adalah turis dari China. Di beberapa kesempatan sewaktu naik taksi, kami bilang kami dari Indonesia, mereka langsung bilang ‘Jakarta’, mereka tahu karena negara yang mayoritas muslim. Di kesempatan lain, seorang satpam penjaga mesjid menghampiri dan dengan ramah mengingatkan khawatir kami jatuh ketika duduk di teras yang dibelakangnya kosong dan di ketinggian.

Senja mulai tenggelam, malam menjelang, udara semakin dingin, kami berjalan pulang ke tempat penginapan yang berjarak sekitar 3.5 km, sambil menelusuri jalan-jalan kota Casablanca yang ramai dan sedikit tua. Meski suasanaya tidak begitu rapih, disini kami merasa aman berjalan kaki menelusuri pasar, ruko,  dan kadang melewati ruas jalan yang relatif sepi untuk pertama kalinya.

IMG_0106

Dari banyak kekhasan masyarakat di sini, salah satunya adalah banyaknya orang duduk santai di toko kopi sambil ngobrol dengan teman mereka atau sendirian dengan secangkir kecil kopi hitam kental (espresso). Saya beberapa kali mencoba kopinya, dan saya suka sekali.

Kami sempat mampir menikmati jajanan pasar di pinggir jalan, sambil mengobrol dengan satu ibu yang membantu menjelaskan jenis dan harga jajanan. Kami juga membeli makan malam di salah satu warung makanan lokal. Dengan uang sekitar Rp150 ribu, kami membawa pulang dua kantong plastik besar roti, nasi kuning, kebab, ayam panggang berbumbu lokal. Makan malam yang lebih dari cukup untuk kami bertiga.

25 Desember 2019, Casablanca, Morocco

Berikut adalah gambar-gambar lain yang diambil menggunakan kamera handphone biasa akan suasana pada saat itu.

 

Dedaunan

Saat ini kita berada di dalam hutan yang tenang. Di sini, tidak ada angin,  dedaun an diam tak bergerak. Ketika angin bertiup, daun bergerak dan melambai.

Pikiran adalah sama dengan daun tersebut. Ketika bersentuhan dengan kesan batin, iapun juga akan bergoyang sesuai dengan hakekat dari kesan batin tersebut. Dan semakin kita kurang mengerti Dharma, semakin pikiran akan terus-menerus mengejar kesan batin. Ketika merasakan kebahagiam, pikiran larut dalam kebahagiaan. Ketika merasakan duka, pikiran larut dalam penderitaan. Pikiran akan berada dalam gerak yang berketerusan.

Ajahn Chah – Wat Nong Pah Pong

Sebatang Pohon di Hutan

Kumpulan kiasan-kiasan Ajahn Chah

81628726_1699504213564676_6624924948852899840_o.jpg

 

Sumber:

 

Barcelona, Spanyol – 07 Januari 2020