Perenungan di Usia 55 Tahun

Semalam saya ‘dikerjain’ dengan satu acara kejutan ulang tahunku. Semula aku kira hanya makan malam keluarga bertiga dengan isteri dan putri kami di sebuah restoran Asia. Ternyata ada ‘persekongkolan’ antara istriku dengan berapa teman dekat tanpa sepengetahuanku. Saat kami sampai di restauran, ketika menuju ke meja, aku sekilas aku melihat salah satu teman di situ, dan saya pikir wah.. kebetulan sekali. Tapi saat aku menyapu pandangan ke sekelilingnya, aku dapati kok banyak yang dikenal. Untuk sesaat, aku masih agak bingung, hingga mereka mulai menyanyikan lagu ‘Happy Birthday‘.

Aku sempat terharu. Aku merasa sangat beruntung memiliki keluarga yang menyayangi dan banyak teman baik di sekelilingku. Saat ini, kami sangat beruntung bermukim di Australia yang relatif sangat aman terhadap pandemi Covid 19, khususnya di Perth, Australia Barat. Meski barusan ada lockdown, sekarang sudah dilonggarkan. Kami menikmati makan malam dan bercerita banyak.

Sementara di akhir-akhir ini di Indonesia, mungkin hampir semua kita menerima kabar dukacita dari orang-orang yang kita tahu atau yang dekat dengan kita, secara beruntun… Dulu kita dengar hanya sekedar dari berita – itu tidak banyak mempengaruhi emosi kita. Tapi sekarang, kemalangan ini lebih dekat dan terasa sangat nyata. Semoga semua ketidakberuntungan ini cepat berlalu. Pada akhirnya, inipun akan berlalu.

Di masa kecilku di Kampung Lumut yang bersahaja, ulang tahun bukanlah suatu yang lazim dirayakan dengan satu pesta. Yang ada hanyalah ibuku merebus beberapa telur di pagi hari untuk dibagikan bersama adik-adikku dan ditambah masakan yang lebih ‘mewah’ dari biasanya untuk makan malam keluarga. Masakan yang lebih ‘mewah’ itu biasanya dengan lauk ayam dari ternak sendiri. Tidak ada kue tar ataupun acara tiup lilin, apalagi mendapat kado ulang tahun. Kesederhanaan masa kecilku di kampung sedikit banyak terlukis dalam tulisan ini: https://letting-go.blog/2020/05/17/beberapa-sahabat-masa-kecilku/ dan https://letting-go.blog/2019/11/25/sekilas-masa-kecilku-di-kampung-pangkal-niur/)

Mungkin oleh karena itu, aku tidak pernah merasa merayakan ulang tahun itu suatu keharusan untuk dirayakan. Namun kehadiran teman-teman baik sangat berarti. Dan secara pribadi, hari ulang tahun mungkin adalah momen yang baik untuk sedikit merenung.

— 0 —

Sekarang aku sudah berusia 55 tahun. Dalam tradisi Tionghoa sudah dihitung berusia 56 tahun karena dihitung sejak dalam kandungan. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Usia ini mengingatkanku pada ayahku yang wafat di tahun 1994 pada usia yang sama dengan usiaku sekarang. Usia yang terasa masih ‘sangat’ muda. Aku mungkin bias karena aku berada diusia ini sekarang. Satu tahun sebelumnya di tahun 1993, adik laki-lakiku pada usianya yang 20 tahun pergi meninggalkan kami, saat aku baru menyelesaikan studi dan mulai bekerja di tahun kedua sebagai pekerja tambang di Kalimantan Timur. Sebagai upaya mendoakan mendiang ayah dan mendiang adikku, aku sempat menerjemahkan satu buku kecil ‘Why Religious Tolerance’ karya mendiang Dr. Sri K Dhammananda – seorang biarawan sekaligus cendekiawan Buddhis (https://letting-go.blog/2018/06/19/mengapa-umat-beragama-bertoleransi-why-religious-tolerance/).

Setelah aku menamatkan SMA di tahun 1985, sempat ada jeda 1 tahun sebelum melanjutkan ke perguruan tinggi untuk jurusan pendidikan Keguruan di bidang studi Matematika di Universitas Sriwijaya di Palembang, dan baru tahun berikutnya (1987) aku mengambil studi teknik pertambangan di universitas yang sama.

Profesi sebagai pekerja tambang membawa aku berkesempatan bekerja dan berkunjung ke banyak tempat di Indonesia, Laos, Australia, Amerika, dan Ghana, Afrika. Seperti lazimnya dunia pertambangan, lapangan pekerjaanku sebagian besar ada di daerah terpencil di tengah hutan jauh dari keramaian. Hampir seluruh pengalaman kerjaku di pertambangan emas dan tembaga, dan hanya ditahun-tahun awal bekerja di pertambangan batubara (https://letting-go.blog/2020/10/18/sekilas-siklus-tambang-emas/).

Di Indonesia sendiri penugasan pertamaku di Kalimantan Timur, kemudian di Sulawesi Utara, dan terakhir di Sumbawa sebelum mengambil kesempatan bekerja sebagai tenaga kerja asing selama 3 tahun di satu tambang emas dan tembaga di belantara Laos di dekat perbatasan dengan Vietnam yang terkenal dengan Jalur Ho Chi Minh (Ho Chi Minh Tail). Jalur Ho Chi Minh adalah rute pasokan militer yang membentang dari Vietnam Utara melalui Laos dan Kamboja ke Vietnam Selatan selama Perang Vietnam. Jalur ini dibombardir oleh Angkatan Udara Amerika dalam operasi militer rahasia pada kurun maktu tahun 1965 hingga 1972, yang meninggalkan banyak bom-bom yang tidak sempat meledak (UXO – unexploded ordinance) – yang harus dijinakkan dan dibersihkan dalam kegiatan penambangan.

Aku banyak melihat kehidupan masyarakat lingkar tambang yang sangat sederhana kalau tidak mau dikatakan miskin, dan bagaimana suatu industri pertambangan berkontribusi membuka keterpencilan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat setempat.

Setelah itu, aku berkesempatan bekerja di salah satu tambang emas terbesar di dunia di Australia Barat lebih dari 10 tahun sebelum menerima penugasan ke Ghana, Afrika selama 2 tahun. Di tengah kesibukan pekerjaan yang sangat padat, aku dan istri sempat mengunjungi beberapa tempat diantaranya adalah Museum Istana Manhyia (Manhyia Palace Museum) dan peninggalan kastil perbudakan di Elmina (https://letting-go.blog/2019/09/15/kastil-elmina-saksi-sejarah-kelam-perbudakan/).

Sayang, masa tinggal kami di Accra, ibukota Ghana hanya Sekitar setahun dan harus kembali ke Perth di akhir Mei 2020 dan bekerja dari rumah karena pandemi Covid 19.

Di akhir penugasan Afrika, aku mendapat kesempatan untuk memilih lanjutan penugasan di Perth atau mengambil pesangon – pilihan yang ditawarkan sebagai bagian dari penugasan expatriat. Dengan segala pertimbangan, aku memilih yang kedua di akhir Maret 2021. Aku merasa beruntung mendapatkan kesempatan ini diwaktu yang tepat.

Ini kali pertama mendapat kesempatan untuk berhenti bekerja saat ada di puncak karir setelah 29 tahun bekerja terus menerus dengan intensitas tinggi berkelana dari satu tambang ke tambang lain. Meski banyak pertimbangan dan perenungan dalam mengambil keputusan ini, aku tidak merasa terlalu sulit mengambil keputusan ini.

Keinginan mengambil jeda ini adalah untuk menurunkan intensitas kegiatan untuk beristirahat, meluangkan waktu melihat prioritas akan apa yang ingin dilakukan ke depannya, dan mengerjakan hal-hal yang ingin aku kerjakan tetapi tidak punya waktu untuk mengerjakannya. Baru-baru ini, bersama teman-teman, kami melakukan perayaan Peh Cun / Bachang festival yang meliputi pameran dan bazaar makanan di pagi dan siang hari, dan makan malam dengan pertunjukan budaya peranakan yang dihadiri oleh 200 tamu (https://www.facebook.com/media/set/?vanity=fiophotography&set=a.1670929403116501), kegiatan serupa kami selenggarakan untuk Imlek 2017 (https://www.facebook.com/media/set/?vanity=imlek15meh&set=a.1733798326931873 and https://www.facebook.com/media/set/?vanity=imlek15meh&set=a.1734000586911647).

Teman-teman sempat mengingatkan bahwa aku mungkin akan segera bosan atau mengalami ‘post-power syndrome‘ sejenis kehilangan semangat hidup atau jati-diri karena berperasaan bukan siapa-siapa lagi. Saya coba untuk menyadarinya, tapi terus-terang aku tidak merasa mengalami kedua hal ini. Aku malah khawatir akan terlalu menikmati ‘Do Nothing – tidak melakukan apa-apa’ ini.

Aku harus bilang bahwa aku gembira atas kenyataan bahwa aku tidak merasakan sindrom-sindrom yang lazim dialami oleh banyak orang saat tidak lagi bekerja atau kehilangan pekerjaannya. Aku beruntung punya kesempatan untuk memilih di waktu yang tepat pada kondisi yang cukup menguntungkan.

Aku rasa hal yang juga sangat membantu adalah mulai tumbuhnya kesadaran untuk melepas, merasa inipun sudah cukuplah, dan bahwa tidak merasa perlu untuk menjadi siapa-siapa lagi – I am nobody.

Masih terlalu dini untuk memastikannya, aku kemungkinan akan kembali ke dunia kerja, tetapi dengan dorongan dan harapan yang mungkin sangat berbeda.

Perth, 10 Juli 2021

ABG Xmas Belly Challenge 2021

Tidak terasa, saya bisa aktif berolahraga jalan selama 24 jam menempuh jarak sekitar 120 km dalam 3 minggu terakhir ini, lebih dari 1 jam rata-rata per-hari. Ini gara-gara ikut tantangan berolahraga bersama teman-teman Gang ABG (Anak Baru Gocap – baca: orang tua usia diatas 50 tahun). Ini tidak lazim karena saya belum pernah berjalan selama dan sejauh itu sebelumnya, dengan rutin hampir setiap hari.

Saya tidak meminati olahraga apapun. Saat kecil dan remaja, diwaktu teman-teman sebaya bermain basket, olahraga paling populer di kampung, saya lebih banyak berdiam diri dan bersekolah. Mungkin ‘tulang’ saya tidak bagus… Di sekolah menengah dulu, pelajaran olahraga menjadi momok terutama saat pengambilan nilai praktek, seperti lompat tinggi, lompat jauh, tolak peluru, lari jarak pendek, dll. Saya sebenarnya suka berenang karena sering mandi di kali atau kolong bekas tambang timah tidak jauh dari rumah. Tapi tidak ada pengambilan nilai untuk berenang karena di sekolah tidak ada kolam renangnya. Lagian kalau ada belum tentu nilai saya bisa bagus kerena saya hanya lancar berenang di kali/kolong bukan di kolam renang, dengan gaya bebas yang sebebas-bebasnya.

Teman-teman ABG sebenarnya adalah komunitas teman-teman Katolik. Dimana anggota kehormatannya adalah Romo Hari Suparwito SJ, seorang pastur dari ordo Societas Jesu, yang mengambil studi doktoral (S3) di Perth, yang sekarang berada ke Indonesia, dan juga ikut tantangan olahraga ini dengan kayuhan sepedanya yang bisa sampai 4 – 5 jam sehari. Hanya saya satu-satunya non-katolik di dalam group. Sepertinya saya adalah domba yang tersesat di jalan yang benar.

Tantangan berolahraga ini diprakarsai oleh Hasan dan Feby yang memang pelari dan pemain bulu tangkis. Tantangan diberi nama ABG Xmas Belly Challenge 2021, tanggal 4 – 24 Januari. Cita-citanya: togetherness and teamwork to encourage others to be more active and healthy – kebersamaan dan kerja team untuk menyemangati yang lain agar lebih aktif dan sehat. Cita-cita yang mulia…

Tantangan diukur dengan jumlah waktu berolahraga yang direkam dengan Stava. Jenis olahraga bisa dari jalan/hiking, lari, sepeda, treadmill, yang akan dihitung waktunya. Uniknya, sistim penilaian diantara anggota satu team dibuat tidak berimbang. Anggota team yang paling sedikit waktunya akan mendapat bobot 75% dalam penghitungan nilai, sementara dua anggota lainnya hanya berbobot 25%. Tujuannya agar anggota yang aktif bisa mendorong (dalam arti yang sebenarnya…) anggota yang kurang aktif.

Sistim ini berhasil membuat orang-orang yang kurang aktif seperti saya untuk turun gunung (nggak ingat kalau dulu pernah naik gunung…), kalau tidak mau di-encourage (baca: ‘diomelin’) oleh anggota team yang kebetulan emak-emak, salah-salah bisa klar hidup loe…. Dari teman-teman di ABG yang berminat, terbentuklah 6 team dengan masing-masing beranggotakan 3 orang. Team saya adalah Linda and Inda. Linda adalah pelari dengan motto ‘listen to my feet’ dan ‘tiada hari tanpa lari‘, sementara Inda yang dikenal ‘endurance‘-nya kalau jalan bisa lama, panjang, dan sering. Saya hanya mengimbanginya saja, agar tidak ada perbedaan waktu yang lebar, sehingga nilai bisa optimal. Maka lengkaplah kedigdayaan team kami…

Lucas yang tinggal di Kota Kinabalu, Malaysia ikut dalam tantangan ini, dan dengan rajin sekali menyiarkan hasil perhitungan nilai sementara, sehari bisa 2 kali diperbaharui, Ini nambah seru persaingan, terutama pada minggu terakhir, minggu ke 3. Saling mengejar, menyemangati, dan mengolok menjadikan group whatsapp meriah.

Penutupan acara dilakukan alam acara jalan bersama di tanggal 26 January, bertepatan dengan Australian Day, berjalan/berlari didaerah Deep Water Point Reserve, Mt Pleasant, sepanjang loop 7 km. Wajah-wajah ceria dan tanpa beban tampak sekali menghiasi wajah setiap orang, mungkin karena setelah 3 minggu cukup tegang…

Setelah ngopi dan sarapan di Dome, semua berkumpul. Sayang, Vivien harus pulang duluan. Vivien masuk ke dalam team di minggu ke tiga mewakili/menggantikan Hengki yang tidak bisa meneruskan tantangan ini karena kesibukan dan kondisi kaki.

Berikut ini pengumuman hasil akhir ABG Xmas Belly Challenge yang tidak boleh diganggu-gugat, oleh Hasan:

Team 2 (Linda/Lim/Inda) dengan konsistensinya keluar sebagai juara, memimpin dari awal. Surpisingly, waktu kumulatif hampir dikejar oleh Team 5 (Gatot/Ming/Nany) di minggu ke-3. Team 6 (Agnes/Beth/Imel) juga membuat kejutan dengan merangsek ke posisi 3, the power of ibuk2. Sementara Team 3 (Lucas/Christine/Andri) harus merelakan podium. Team 4 (now Feby/Tina/Vien) berhasil mendongkrak posisi buncit di minggu 1 & 2 sehingga Team 1 (Romo/Ir/Elsa) harus puas di posisi juru kunci.

Hasil resmi hitungan akhir ABG Xmas Belly Challenge, sumber: WAG ABG 25 Jan 2021

Hore.. team kami juara beregu! Disamping juara team, ada 2 juara perorangan yang yang dianugrahkan, yaitu untuk kemajuan yang konsisten dari minggu ke minggu, juaranya adalah Nany yang meningkatan jam nya dari 4 jam ke 7 jam dan 13 di minggu terakhir. Beberapa yang lainnya seperti Christine dan Feby sangat meningkat jamnya namun tidak konsisten dari minggu ke minggu. Penghargaan perorangan lainnya adalah untuk Elisabeth yang baru datang dari luar negeri (Indonesia) yang tetap bersemangat mengikuti tantangan ini dari kamar karantinanya di hotel selama 2 minggu.

Beberapa teman tidak ikut tantangan ini karena berbagai kesibukan, diantaranya Hendarmin dan Ling-Ling. Mereka ikut menyemangati kegiatan ini lewat penyediaan voucher Tim’s Thai, restaurant masakan Thailand milik mereka.

kumpul bersama berakhirnya ABG Xmas Belly Challenge – Australian Day 26 January 2021

Kami berbagi cerita dan pengalaman selama mengeluti tantangan selama 3 minggu ini. Beragam cerita mengalir, dari yang kocak hingga yang serius, dari menceritakan pengalaman hingga curhatan. Hasan, Feby, dan Gatot yang sudah mahir berlari berbagi pangalaman dan ilmu tentang hal-hal yang perlu dilakukan jika ingin meningkatkan intensitas latihan cardio-nya. Tak kurang cerita tentang perjuangan ‘mengatasi’ kemalasan sendiri. Ternyata setelah dijalani, bisa juga. Ada pepatah bijak, thinking about it is hard, doing it is easy – memikirkannya berat, mengerjakannya mudah.

Semua tampak ceria dan bahagia… Katanya, kebahagiaan selalu ada tepat di sini, di saat kini, jangan lagi dicari kemana-mana, hanya perlu disadari…

I have arrived

I am home

My destination is in each step

Thich Nhat Hanh

— 0 —

Disamping olahraga sendiri-sendiri, juga acara jalan barengan setiap minggu, biasanya Sabtu, kadang Minggu, mulai jam 6 pagi. Irianto adalah kepala regunya yang menentukan jam berkumpul dan merencanakan rute, termasuk melihat kalau ada tidak tersedianya WC umum, dll. Tina membantu mencarikan tempat ngumpul untuk ngopi yang nyaman setelah jalan. Satu kali kami pernah mengambil rute di sekeliling di biara Bodhinyana monastery dan Jhana Grove Meditation Centre-nya Ajahn Brahm di Serpentine.

Kami hanya ingin menikmati hal-hal yang sederhana seperti keindahan alam dan udara bersih yang tersedia oleh alam di Australia Barat ini lewat taman-taman dan jalur-jalur hiking yang begitu banyak dan beragam. Pasangan yang rutin berjalan pagi ini adalah Irianto & Inda, Agung & Tina, Gatot & Agnes, dan Christine & saya. Saya dan Christine sebenarnya baru bergabung sejak 2 bulan terakhir. Motto team ini adalah ‘low expectation‘ atau tidak berharap banyak. Berjalan hanya sekedar menikmati jalan-jalan, tidak ada target tertentu yang harus dicapai atau dikejar, kadang jalan jauh kadang dekat. Kalau rutenya nyasar yah balik lagi, sering terjadi karena jalan di hutan – meski sudah dipandu oleh applikasi AllTrail ber GPS.

Selain alam dan udara segar, saya juga sangat menikmati obrolan kami sepanjang perjalanan dan saat ngopi/sarapan. Topik yang beragam dan kadang tidak lazim, mulai dari pengetahuan fisika, home assistant, bisnis, artificial intelegence, hingga spiritualitas. Obrolan tentang fisika kwantum, sistim smart home dengan monitor dan kontrol jarak jauh, ide dan pembangunan platform pemasaran online untuk jaringan bisnis atau restoran, hingga akademi kebahagiaan – tentang faktor-faktor untuk menjadi atau merasakan kebahagiaan.

Latar belakang kami memang berbeda-beda, untuk itu topik obrolan juga bercampur-aduk. Gatot dan saya adalah kelas pekerja di perminyakan dan pertambangan. Irianto adalah pengajar di Murdoch University, Perth, yang juga mantan kepala sekolah sekolah menengah Santo Aloysius di Bandung, sekaligus guru mata pelajaran fisika. Sedangkan Agung adalah salah satu founder jaringan restoran seafood D’Cost di Indonesia, yang terkenal dengan inovasi bisnisnya.

Agung dengan minatnya di IT (information technology) dan AI (artificial intelegence) membantu teman-teman yang berminat di home assistant (HAss.IO) untuk membuat sendiri jaringan smart home yang relatif murah. Saya juga ikut tapi belum bergerak kemana-mana alias masih berjalan di tempat. Saya punya Rasberry Pi dan beberapa perangkat dasar untuk memulai. Saya tertarik dengan home assistant karena dulu suka dengan prakarya elektronik sewaktu di SMA, dan merasa bisa dijadikan mainan yang bisa dinikmati di hari tua agar tidak cepat pikun karena melibatkan banyak perencanaan, kreatifitas, termasuk scripting/programming. Lagian biayanya terbilang murah.

Nama-nama Albert Einstein, Stephen Hawkins, Thomas Alfa Edison, Nicolas Tesla, Elon Musk berseliweran saat ngobrol tentang fisika dan teknologi. Nama dan bukunya Anthony de Mello (Way to Love), Ajahn Brahm (Cacing dan Kotoran Kesayangannya – Opening the Door of Your Heart), dan Eckhart Tolle (The Power of Now) menjadi obrolan yang mencerahkan.

Akhir-akhir ini, jalan pagi mingguan ini cukup diminati, menarik lebih banyak peserta baru, Nany & Chandra, Ratinda, dan Elisabeth. Kelihatannya Nani berhasil meng-encourage (mengenai artinya, silakan mengacu ke Paragraf 6 di atas) Chandra untuk bangun sekitar jam 5 pagi di akhir pekan untuk berjalan lebih dari 7km. The power of emak-emak.

Agnes menjadi fotografer kami dalam perjalanan. Tanpa Agnes, bisa dipastikan tidak banyak dokumentasi dan tidak ada foto-foto kami yang beredar di media sosial. Pernah muncul dalam obrolan kami tentang bagaimana tanggapan dari anak-anak kami melihat tingkah polah atau foto-foto narcis orang tua mereka. Sangat mungkin mereka risih…

Saya sendiri suka mengambil foto-foto dengan ponsel sepanjang perjalanan karena keindahan dan keunikan alam. Meskipun saya tahu itu bukan cara terbaik untuk menikmati keindahan alam. But, I can’t resist. Tapi setidaknya saya berusaha tidak menjadi obsesif, hanya sekedarnya saja. Tidak sampai dibela-belain menghabiskan waktu untuk bisa mengambil suatu foto dari sudut, frame, dan komposisi yang ‘sempurna’, atau ditambah waktu untuk mengolahnya menjadi foto yang kelihatan lebih indah (dari aslinya), terus baru dipandangi. Bukankah akan lebih baik kita menghabiskan waktu untuk menikmati pemandangan pada saat ada tepat di depan mata.

Ada satu cerita Zen tentang seorang Guru Zen yang mengajak salah satu muridnya setiap kali dia pergi ke kaki gunung untuk menikmati pemandangan di senja hari. Mereka hanya boleh menikmati pemandangan dalam keheningan, tanpa kata-kata. Satu hari, murid yang diajak oleh Guru Zen ini tidak bisa menahan meluapkan emosinya melihat keindahan alam luar biasa yang ada di depan matanya sehingga dia bergumam: “alangkah indahnya…” Sejak itu dia tidak pernah lagi diajak oleh gurunya. Saat kita melukiskan suatu keindahan dengan kata-kata atau membatinkannya dalam pikiran, kita tidak lagi sedang menikmati keindahan itu tetapi memperhatikan kata-kata dan pikiran kita. Katanya, kata-kata atau pikiran yang menggambarkan keindahan itu bukanlah keindahan itu sendiri …

Peringatan: perlu dicatat bahwa gambar-gambar di atas ini tidak lebih dari kumpulan jutaan titik-titik noda (pixel) beraneka-warna, yang muncul pada gadget anda, tertangkap oleh mata, diproyeksikan oleh retina ke pusat syaraf penglihatan, diteruskan ke syaraf di otak, kemudian pikiran mempersepsikannya sesuai dengan pengkondisian pikiran itu sendiri, yang kemudian mungkin dipersepsikan sebagai sesuatu yang indah dan menyenangkan…

Terima kasih atas persahabatan dari teman-teman ABG. Semoga kita semua saling mendukung untuk hidup yang lebih sehat agar dapat menikmati dan mempertahankan kesehatan ini selama mungkin.

This too will pass… inipun akan berlalu…

Happy Australian Day – Aussie Aussie Aussie, Oi Oi Oi

Perth, 26 Januari 2021

Catatan Strava: https://www.strava.com/athletes/61343169

Pak Tjiptadinata dan Bu Roselina yang Saya Kenal

Saya mengenal Pak Tjiptadinata dan Bu Roselina belum lama, sekitar tahun 2017, di satu acara kegiatan masyarakat  Indonesia di Perth, Australia Barat. Perkenalan ini berlanjut dengan kegiatan bersama dimana Pak Tjipta (panggilan saya untuk beliau) dan Bu Roselina menyelenggarakan sejenis kegiatan sosial memperkenalkan Reiki (bio-energy) kepada masyarakat Indonesia di Perth. Beliau berdua adalah grand master Reiki yang mendirikan Waskita Reiki Foundation di Indonesia. Seingat saya, kami masih bertemu beberapa kali dan makan malam di satu rumah makan, sebelum saya pindah kerja ke Ghana, Afrika Barat, di awal tahun 2019. Sesekali kami masih berhubungan lewat Whatsapp. Saya dan isteri kembali ke Perth dari Ghana pada pertengahan 2020. Sejak itu, saya bekerja dari rumah karena selama pandemi Covid-19 ini.

Beberapa hari lalu, salah satu teman saya tertarik dengan suatu teknik jalan sehat yang katanya diajarkan oleh seseorang di Perth. Ternyata itu adalah anak sulung dari Pak Tjipta yang saya kenal. Ketika saya hubungi, Pak Tjipta dan Bu Roselina bersedia meluangkan waktu untuk bertemu dengan kami. Kamipun mengatur acara jalan pagi kami untuk diadakan tidak jauh dari tempat kediaman Pak Tjipta. Bersama teman-teman, kami punya acara rutin jalan pagi bersama di akhir pekan.

Formasi pejalan dan pelari ABG (Anak Baru Gocap) dan Pak Tjiptadinanta dan Bu Roselina – 17 Januari 2021

Pagi ini, hari Minggu, 17 Januari 2021, kami bertemu dan ngopi bareng dengan Pak Tjipta dan Bu Roselina yang usai dari gereja, di salah satu kedai kopi di utara Perth. Semua teman-teman baru pertama kali bertemu dengan Pak Tjipta dan Bu Roselina. Namun ternyata kami bisa bercerita, bercanda tawa, bertukar pikiran dengan bebas sambil menikmati sarapan. Perbedaan usia diantara kami tidak menjadi penghalang atau pembatas untuk bercerita bebas. Saya dan teman-teman lebih kurang adalah seangkatan dengan anak Pak Tjipta dan Bu Roselina. Teman-teman banyak menanyakan prinsip bio-energy dan pola jalan sehat yang diajarkan. Disamping itu, kami juga bercerita tentang permasalahan kehidupan secara umum, bagaimana menjalani pola hidup sehat agar lebih bisa menikmati hidup dan berbahagia, dan juga kesempatan untuk melihat kehidupan ini dari sisi kelucuannya.

Ada tiga jenis orang yang tidak mempunyai masalah dalam kehidupan ini, orang yang sudah mati, orang yang pikun, dan orang yang gila.

Effendi Tjiptadinata

Pak Tjipta yang sudah paripurna dalam mengarungi badai kehidupan memberi ‘wejangan’ kepada kami yang muda-muda ini (mau nya…) bahwa ada tiga jenis orang yang tidak mempunyai masalah dalam kehidupan ini, orang yang sudah mati, orang yang pikun, dan orang yang gila. Kelihatannya kami semua sepakat untuk memilih tetap punya masalah dalam hidup ini… Bagaimanapun juga, mentertawakan diri sendiri adalah salah satu cara sehat dalam menjalani kehidupan ini.

Sarapan dan ngobrol seru bersama di Cafe Elixir, Wanneroo – 21 Januari 2021

Yang saya kagumi dari Pak Tjipta dan Bu Roselina adalah ketulusan untuk berbagi dan perhatian pada sesama (caring). Beliau bisa bergaul dengan banyak kalangan dan lapisan masyarakat, dan dikenal luas khususnya di dunia praktisi Reiki. Satu yang tidak bisa saya lupakan adalah perhatian dari Pak Tjipta dan Bu Roselina kepada adik saya penyandang kanker di tahun 2018. Pada saat itu masih awal perkenalan kami, tapi tanpa keraguan beliau berdua menawarkan untuk membantu melakukan penyaluran energi jarak jauh untuk adik saya. Demikian juga, saat beliau berdua kebetulan berkunjung ke Jakarta, beliau berdua menyempatkan diri mampir dan bertemu adik saya untuk membantu yang mereka bisa. Meski saya tidaklah begitu mengerti tentang bio-energy ini, tapi saya menyakini bahwa ketulusan dan kepedulian (caring) adalah daya penyembuh.

Pak Tjipta and Bu Roselina sekarang sama-sama berumur 77 tahun. Bulan Januari 2021 ini adalah ulang tahun perkawinan yang ke 56 tahun. Suatu berkah yang disyukuri bisa menikmati kesehatan prima pada usia ini. Pemeriksaan kesehatan mereka terakhir masih sangat baik, sehingga Pak Tjipta masih diberi izin mengemudi. Batas umum usia untuk mengemudi di Australia adalah 75 tahun. Sekarang, kegiatan beliau berdua adalah berkumpul keluarga dan bertemu dengan orang-orang seperti pagi ini, jalan-jalan berdua dengan mobil Nissan SUVnya menikmati hidup. Beliau berdua sedang menunggu kelahiran cicit pertama.

Pak Tjiptadinata dan Bu Roselina, Selamat Ulang Tahun Perkawinan ke 56. Semoga senantiasa sehat dan bahagia…

Lim Eka Setiawan

Perth, Australia Barat

17 Januari 2021